Sains Tanpa Etika, Agama Tanpa Aksi: Mewujudkan Kemaslahatan melalui Kolaborasi Dua Pilar

 Era modern ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengubah hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Namun, kemajuan sains yang luar biasa ini tak jarang menimbulkan dilema etis ketika tidak diimbangi dengan nilai-nilai moral. Di sisi lain, agama yang selama ini menjadi sumber nilai dan etika terkadang terjebak dalam retorika dan kehilangan relevansi karena kurangnya implementasi dalam tataran praksis. Maka muncul suatu pertanyaan mendasar: dapatkah sains dan agama berkolaborasi untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia di era modern?

Ilmu pengetahuan, pada dasarnya, bersifat netral. Ia merupakan alat yang bergantung pada bagaimana dan untuk apa digunakan. Namun, ketika sains bergerak tanpa arahan nilai, maka ia dapat menimbulkan kerusakan yang masif. Contoh paling mencolok adalah pengembangan senjata pemusnah massal seperti bom nuklir. Didorong oleh logika teknologis dan kekuasaan, penemuan ilmiah semacam ini telah menimbulkan ancaman bagi kelangsungan hidup umat manusia. Demikian pula dengan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran oleh industri berbasis teknologi tinggi yang memicu krisis ekologi global. Dalam dunia kedokteran, manipulasi genetika dan eksperimen biologis juga menimbulkan kontroversi etis. Kloning, rekayasa DNA, dan teknologi kecerdasan buatan (AI) menghadirkan pertanyaan filosofis dan moral yang belum semua dijawab. Dalam konteks inilah, muncul kebutuhan mendesak untuk menghadirkan etika sebagai pengarah bagi penggunaan ilmu pengetahuan agar tetap berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.

Sebaliknya, agama yang seharusnya menjadi fondasi etika dan pedoman hidup justru sering kehilangan daya transformasinya ketika tidak diaktualisasikan dalam tindakan nyata. Agama yang hanya dipahami sebatas ritual atau doktrin tanpa keterlibatan aktif dalam isu-isu kemanusiaan, sosial, dan ekologis, akan kehilangan relevansi di tengah masyarakat modern yang membutuhkan jawaban konkret atas berbagai tantangan hidup. Agama yang teralienasi dari dinamika sosial cenderung melahirkan eksklusivisme, fanatisme, bahkan ekstremisme. Padahal, inti ajaran agama adalah membawa rahmat, keadilan, dan kemaslahatan bagi seluruh makhluk. Dalam Islam, konsep maqāṣid al-sharī‘ah menekankan pentingnya menjaga lima aspek kehidupan: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Prinsip ini menegaskan bahwa agama semestinya aktif dalam memastikan kesejahteraan manusia dalam berbagai aspek kehidupan.

Menghadirkan sains dan agama sebagai dua pilar yang saling menguatkan adalah langkah strategis untuk menciptakan masyarakat yang seimbang secara spiritual dan rasional. Sains membutuhkan arah moral agar tidak menjadi alat destruktif, sementara agama membutuhkan data dan realitas ilmiah agar tidak terjebak dalam romantisme utopis. Sinergi keduanya dapat menghasilkan solusi holistik terhadap persoalan global seperti krisis iklim, ketimpangan sosial, konflik antarumat, dan degradasi moral. Contoh konkret dari kolaborasi ini dapat ditemukan dalam pendekatan eco-theology yang menggabungkan ilmu lingkungan dengan spiritualitas ekologis. Gereja Katolik, melalui ensiklik Laudato Si’ oleh Paus Fransiskus, menyerukan kepada umat manusia untuk menjaga bumi sebagai “rumah bersama” dengan mendasarkan tindakan pada ilmu lingkungan dan ajaran etis. Dalam konteks Islam, para sarjana seperti Fritjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr telah menyerukan rekonsiliasi antara sains modern dan spiritualitas Islam dalam rangka menyelamatkan kemanusiaan dari krisis nilai.

Selain itu, dalam penanggulangan bencana, pendekatan interdisipliner antara ilmu kebencanaan dan nilai-nilai keagamaan terbukti efektif dalam membangun ketangguhan masyarakat. Kearifan lokal yang berakar dari nilai-nilai spiritual sering kali menjadi dasar dalam merespons bencana secara kolektif, sebagaimana terlihat dalam tradisi masyarakat di Aceh dan Jepang yang menggabungkan ilmu pengetahuan dengan ritual keagamaan dan kultural.

Salah satu kunci penting dalam menjembatani sains dan agama adalah pendidikan. Kurikulum yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai moral dan spiritual akan menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana secara etis. Pendidikan interdisipliner perlu diperkuat, di mana mata pelajaran sains tidak terlepas dari dimensi etika, dan studi keagamaan tidak kehilangan relevansi ilmiah. Universitas dan lembaga penelitian perlu menciptakan ruang dialog antara ilmuwan dan teolog agar terjadi pertukaran gagasan yang konstruktif. Misalnya, dalam isu bioteknologi, diskusi antara ahli genetika dan pemuka agama dapat menghasilkan panduan etik yang kontekstual dan bijaksana. Kolaborasi ini juga penting dalam kebijakan publik, di mana pemerintah bisa mengintegrasikan pandangan moral agama dan hasil riset ilmiah dalam merumuskan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.

Di era modern yang penuh tantangan, membangun kemaslahatan umat manusia tidak dapat dilakukan dengan mengandalkan salah satu pilar saja. Sains tanpa etika akan kehilangan arah dan berpotensi merusak, sementara agama tanpa aksi akan kehilangan makna dan relevansi. Oleh karena itu, kolaborasi antara sains dan agama menjadi keharusan. Integrasi ini tidak berarti menghilangkan batasan antara keduanya, tetapi justru menciptakan ruang dialog yang saling menghormati dan memperkaya. Kemaslahatan sejati lahir dari keberanian untuk berpikir ilmiah tanpa meninggalkan nilai-nilai moral, dan dari keimanan yang tidak abai terhadap realitas sosial dan ekologis. Dunia modern membutuhkan manusia-manusia yang mampu menjadi jembatan antara rasionalitas dan spiritualitas, antara laboratorium dan tempat ibadah, antara eksperimen dan kasih sayang. Hanya dengan sinergi dua pilar ini, kita dapat membangun masa depan yang adil, damai, dan berkelanjutan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengkaji Tradisi Sekaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perspektif Islam

Kontestasi Makna Religius dan Budaya dalam Pelaksanaan Ritual Tabuik di Sumatera Barat

Dari Dalam Diri: Membangun Harmoni dalam Hubungan Internal Agama dan Spiritualitas