Kamis, 17 Desember 2015

Mengkaji Tradisi Sekaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perspektif Islam
Mengkaji Tradisi Sekaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perspektif Islam



A.    Asal Usul Sekaten
Sekaten adalah suatu tradisi yang telah ada sejak zaman kerajaan Demak. Sultan Agung sebagai raja Demak memprakarsai perayaan sekaten dan sampai saat ini masih dilestarikan di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Dalam tradisi kerajaan Demak, upacara sekaten diselenggarakan sebagai usaha untuk memperluas serta memperdalam rasa jiwa ke-Islaman bagi segenap masyarakat Jawa. Usaha ini dilaksanakan oleh para wali yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga.[1]
Para wali memahami dan yakin bahwa rakyat menggemari bunyi gamelan. Sunan Giri, salah seorang dari Wali Sanga, memahami teknik pembuatan gamelan. Beliau lalu membuat seperangkat gamelan yang dinamakan Kiai Sekati. Selain membuat gamelan, Sunan Giri juga menciptakan gending untuk alat penyebaran agama Islam. Gamelan Kiai Sekati itu setiap tahun dibunyikan untuk memeriahkan peringatan hari lahir Nabi Muhammad s.a.w.
Mengenai nama sekaten ada beberapa pendapat, antara lain:
1.      Sekaten berasal dari kata sekati, yaitu gamelan keramat dari Keraton Yogyakarta yang terdiri atas dua jenis gamelan, Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga. Adapun di Keraton Surakarta, dua gamelan itu bernama, Kiai Gunturmadu dan Kiai Guntursari. Mengenai kisah gamelan yang tersimpan di Keraton Kesultanan Yogyakarta, ia diyakini sebagai hasil karya cipta Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja ketiga Mataram Islam. Gamelan ini hanya ditabuh khusus pada peringatan Maulid, hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w setiap tahunnya. Gamelan ini ditabuh sejak tanggal 5 Mulud (Rabiul Awal) sampai dengan tanggal 11 Mulud (Rabiul Awal). Gamelan tersebut dibunyikan secara terus menerus selama seminggu untuk mengiringi gending hasil dari cipta para wali. Jadi, dinamakan sekaten sebagai dirangkaian acaranya ditabuh gamelan pusaka keraton yang bernama Kiai Sekati.[2]
2.      Ada yang mengatakan sekaten berasal dari kata suka dan ati yang jika digabungkan menjadi sekaten, yang berarti senang hati. Hal ini mengandung pengertian bahwa masyarakat Jawa sangat senang hatinya menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. pada tanggal 12 Rabiul Awal. Sebagai ungkapan kecintaan mereka kepadanya, mereka kemudian mengadakan acara sedekah berupa hasil bumi, makanan, dan pakaian.[3]
3.      Sekaten berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat. Pengertian ini didasarkan pada sejarah sekaten yang diadakan oleh Wali Sanga yang bertujuan untuk menarik orang Jawa agar masuk Islam. Mereka yang datang ke acara sekaten kemudian dengan sukarela mengungkapkan kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam.[4]
4.      Sekaten berasal dari kata Sakhataini yang berarti menanamkan dua hal, yaitu beribadah kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya dan berbudi baik dalam kehidupan keseharian kepada sesama manusia. Juga menghilangkan dua perkara buruk, yaitu menghilangkan semua watak kehewanan dan nafsu setan. Bagai manusia, dengan menyadari secara mendalam makna beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia, ia akan menjadi manusia yang dalam kehidupannya pasrah pada takdir Allah, ikhlas menjalani kehidupan, dan menghormati sesama manusia. Tidak berbuat kerusakan dan keresahan dalam masyarakat.[5]
Menurut  Ahmad Kamaludiningrat, tradisi sekaten ini terbentuk berdasarkan pendekatan budaya yang dilakukan oleh para wali.[6] Sunan Kalijaga melihat bahwa dengan melalui pendekatan budaya, maka, kegiatan dakwah akan dengan mudah dilakukan di tengah-tengah masyarakat Jawa saat itu. Sebelumnya, Sultan Agung sebagai raja Demak menitahkan kepada masyarakatnya agar meninggalkan kebiasaan hidupnya berkaiatan dengan sistem kepercayaan animisme serta dinamisme yang bertentangan dengan akidah Islam. Tentu titah tersebut akhirnya membuat masyarakatnya resah dan gelisah, karena sudah terbiasa menjalani kehidupan yang diwariskan oleh nenek moyangnya.
Akhirnya, timbullah inisiatif dari wali sanga untuk merancang strategi agar masyarakat tetap bisa menjalani kebiasaan hidupnya, namun dalam setiap aktivitasnya disisipi oleh ajaran-ajaran ke-Islaman. Misalnya tradisi selamatan yang dihubungkan dengan sadaqah, ujub atau penyerahan tersebut yang ditujukan kepada roh nenek moyang, diganti untuk memperingati hari kelahiran Nabi dan para wali. Kemudian, puji-pujian kepada selain Allah SWT, diganti tahlil. Para wali menetapkan perubahan ini pada tahun 1463, pada muktamar yang kedua di Demak, menurut Kitab Kanzul Ulum karya Ibnu Bathutah.[7]
Cara yang bijaksana yang dilakukan para wali dalam menyebarkan Islam bisa diterima oleh masyarakat. Karena unsur budaya lokal tidak dihilangkan, justru tetap dipertahankan dengan ditambah ajaran-ajaran ke-Islaman. Kembali pada asal usul sekaten, Ahmad  Kamaludiningrat menceritakan secara singkat bahwa Islam bisa diterima karena melalui pendekatan budaya. Sunan Kalijaga saat itun melihat, hal yang disukai oleh masyarakat Jawa saat itu adalah bunyi-bunyian gamelan. Kemudian, dibuatlah gamelan oleh Sunan Giri yang pandai dalam hal membuat gamelan.
Setelah gamelan selesai dibuat, dibawalah gamelan tersebut menuju halaman Masjid Demak untuk dibunyikan. Tentunya ini telah berdasarkan musyawarah antara para wali sebelumnya berkaitan dengan tempat pemukulan di halaman masjid.[8] Pemukulan gamelan tersebut diiringi oleh gending-gending atau lagu yang diciptakan oleh para wali. Setelah dibunyikan semakin keras dan nyaring, masyarakat yang datang semakin banyak dan merasa senang. Dan pada saat itulah kesempatan bagi Sunan Kalijaga untuk berdakwah.
Kemudian, Sunan Kalijaga berdiri di ambang gerbang masjid sambil menguraikan tentang keutamaan agama Islam disertai tentang kesamaannya dengan agama Budha, tanpa mencela sama sekali terhadap agama Budha. Banyak masyarakat yang tertarik, lalu mendekati halaman masjid.[9] Akhirnya, masyarakat tertarik dengan Islam, kemudian masyarakat berbondong-bondong masuk Islam secara sukarela dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Itulah sebabnya, ada pengertian yang menyebutkan bahwa sekaten berasal dari kata syahadat karena banyak orang yang masuk Islam secara sukarela dengan mengucapkan syahadat.

B.     Sejarah Sekaten
Sekaten diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang lahir pada tanggal 12 Maulud atau Mulud dalam bulan ketiga tahun Jawa. Sekaten meliputi Sekaten Sepisan (Sekaten Pembuka) dan ditutup dengan Garebeg di halaman Masjid Gedhe Yogyakarta atau sering disebut sebagai Masjid Gedhe Kauman.[10]
Sekaten dimulai dari zaman Kerajaan Demak, yaitu kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berdiri setelah Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Raja Demak yang pertama adalah Raden Patah yang bergelar Sultan Bintara. Sebagai Raja Islam, Raden Patah selalu berupaya untuk menyiarkan Agama Islam ke seluruh pelosok negeri. Namun, masyarakat kebanyakan sudah melekat dengan ajaran Hindu sehingga Raden Patah berupaya untuk mengajak masyarakat untuk masuk Islam dan meyakini akan kebenaran Agama Islam.
Raden Patah pun mengadakan pertemuan dengan para Wali Songo, diantaranya adalah Sunan Ampel, Sunan Gresik, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat dan Sunan Gunung Jati. Pertemuan antar Raden Patah dan Wali Songo tersebut membahas tentang bagaimana  menyebarkan ajaran Islam dimulai dari tanah Jawa. Dari pertemuan tersebut Sunan Kalijaga memiliki usul tentang cara penyebaran Agama Islam agar diterima oleh masyarakat yang sejak dahulu sudah memeluk Agama Hindu. Sunan Kalijaga mengusulkan agar masyarakat dibiarkan tetap melaksanakan adat atau Agama Hindu, namun dilakukan beberapa perubahan agar sesuai dengan syari’at ajaran Islam contohnya keramaian, dalam agama Hindu keramaian mempunyai maksud menghormati kepada para dewa. Keramaian kemudian digantikan dengan menghormati Hari Raya Islam. Karena orang Jawa menyukai seni musik, maka penghormatan terhadap Hari Raya Islam diberikan unsur musik seperti menabuh gamelan. Salah satunya yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad s.a.w. Di dalam masjid diadakan tabuh gamelan agar orang-orang tertarik. Jika sudah berkumpul kemudian diberikan pelajaran tentang agama Islam. Selain itu, Sunan Kalijaga mengusulkan agar masyarakat dibiarkan tetap melaksanakan adat atau Agama Hindu, namun dilakukan beberapa perubahan agar sesuai dengan syari’at ajaran Islam contohnya seperti:
a.      Semedi
Semedi dalam agama Hindu mempunyai maksud memuja kepada dewa-dewa. Karena Agama Islam tidak mengenal dewa, maka hal ini digantikan dengan memuja Allah SWT dengan melakukan shalat yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
b.      Sesaji
Sesaji menurut Agama Hindu mempunyai maksud memberi makanan kepada dewa-dewa dan jin. Agar sesuai dengan syari’at Islam yang sudah tertulis dalam al-Quran, maka digantikan dengan zakat fitrah kepada fakir miskin.
Untuk keperluan itu, para Wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamakan Kiai Sekati. Usul dari Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh Wali Sanga dan Raden Patah, yaitu memperingati kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. tanggal 12 Mulud dengan unsur gamelan. Ternyata banyak masyarakat yang tertarik untuk dating ke masjid dan melihat gamelan. Selain rakyat, para bupati juga datang ke kerajaan untuk memberikan penghormatan kepada raja. Mereka datang beberapa hari sebelum tanggal 12 Mulud dan membuat rumah tenda di alun-alun untuk bermalam. Bupati menghadap raja beserta para rakyatnya mengiring raja kemasjid. Karena hal tersebut, maka muncul kata Garebeg yang berasal dari kata Anggrubyung yang berarti menggiring atau berkerumun.[11]
Orang-orang yang datang ke halaman masjid pun diminta untuk mendengarkan pidato tentang ajaran Islam. Pidato itu berisi tentang dasar ajaran Islam seperti bunyi kalimat syahadat serta maksud dan tujuan kalimat tersebut. Kalimat syahadat merupakan kalimat yang dibaca seseorang ketika masuk Islam dan juga untuk mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat syahadat juga ditulis di pintu gerbang masjid. Tradisi ini terus dilestarikan oleh raja yang memerintah pada masa berikutnya hingga masa Kerajaan Mataram.
Pada zaman Kerajaan Mataram hingga pindah ke Yogyakarta dan Surakarta, sekaten ini diadakan untuk kepentingan politik dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar kesetiaan para bupati yang ada di wilayah kerajaan. Saat perayaan sekaten, bupati harus datang dengan menyerahkan upeti dan memperlihatkan rasa hormatnya kepada raja. Apabila bupati berhalangan hadir maka harus diwakilkan oleh pihak kerajaan. Apabila bupati yang berhalangan hadir tidak diwakilkan maka hal tersebut dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap raja.
Pada masa Kerajaan Mataram, selain untuk tujuan memperingati kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. dan kepentingan politik kerajaan, sekaten diadakan untuk menunjukkan bahwa raja yang berkuasa masih memiliki hubungan dengan Nabi Muhammad s.a.w. Selain itu, sekaten juga memiliki peran dalam ekonomi karena dengan adanya perkembangan zaman, sekaten kemudian dimanfaatkan dalam sektor perdagangan. Sekaten dijadikan sebagai lahan untuk berdagang oleh masyarakat selain untuk mendengarkan gamelan.[12]

C.    Pelaksanaan Upacara Sekaten
Upacara sekaten dimulai saat kerajaan Islam bergeser ke Mataram dan ketika kerajaan Islam Mataram terbagi dua (Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta), perayaan sekaten tetap digelar secara rutin tiap tahun sebagai warisan budaya Islam. Perayaan sekaten yang terus berkembang dari tahun ke tahun pada dasarnya terdapat tiga pokok inti yang antara lain: Pertama, dibunyikannya dua perangkat gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Gunturmadu) di Kagungan Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta selama 7 hari berturut-turut, kecuali Kamis malam sampai Jumat siang; Kedua, peringatan hari lahir Nabi Muhammad s.a.w pada tanggal 11 Mulud malam, bertempat di serambi Kagungan Dalem Masjid Agung, dengan bacaan riwayat Nabi Muhammad s.a.w. oleh Abdi Dalem Kasultanan, para kerabat, pejabat, dan rakyat, dan ketiga, pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berupa Hajad Dalem Gunungan dalam upacara Garebeg sebagai upacara puncak sekaten.
Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi dalem (punggawa keraton) bersama-sama dengan dua macam gamelan jawa, Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendopo Ponconiti menuju masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal prajurit kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua macam gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan samapai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam terakhir gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam keraton.
Acara puncak peringatan sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis di hari lahir Nabi Muhammad s.a.w.) mulai jam 08.00 pagi. Dengan dikawal oleh 10 macam (bedogo/ kompi) prajurit Kraton yaitu Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawitomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis. Sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuran akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan pagelaran menuju masjid Agung. Setelah dido’akan gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah atau ladang agar agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana atau malapetaka.
Dua hari sebelum acara Grebeg Muludan, suatu upacara Tumplak Wajik diadakan dihalaman Istana Magangan pada jam 16.00 sore. Upacara ini berupa klotekan atau permainan lagu dengan kentongan, lumpang untuk menumbuk padi, dan semacamnya yang menandai awal dari pembuatan gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan.
Puncak perayaan sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud (Rabiul Awal) saat sore hari, ditandai dengan dikeluarkannya gamelan Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Gunturmadu di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas menjaga gamelan pusaka tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung. Tepat pada pukul 24.00 WIB, gamelan sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan dikawal kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng Kyai Gunturmadu ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman masjid tersebut, gamelan sekaten dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut-turut, kecuali pada malam Jum’at hingga selesai sholat Jum’at siang harinya.
Tepat pada tanggal 11 Maulud (Rabiul Awal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad s.a.w bertempat di Masjid Agung. Perayaan Maulid Nabi ini ditandai dengan pembacaan naskah riwayat Maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut selesai pada pukul 24.00 WIB, dan setelah semua selesai, perangkat gamelan sekaten diboyong kembali dari halaman Masjid Agung menuju ke Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa upacara sekaten telah berakhir.
Sekaten adalah warisan budaya Islam yang tidak sebatas seremonial. Ada banyak nilai yang terkandung di dalamnya, dari mulai keteladanan nabi dan keagungan ajarannya yang harus kita jadikan acuan hidup, hingga menjaga eksistensi budaya Islam yang tumbuh berdampingan dengan kebudayaan.

D.    Sekaten sebagai Sarana Dakwah Islam
Salah satu sarana dakwah para Wali Sanga dalam mengembangkan islam di Tanah Jawa ini adalah dengan sekaten. Sekaten bukan saja upacara yang berlangsung dalm waktu yang singkat, tetapi sekaten melalui beberapa ritual yang tertata rapi dan penuh makna. Sekaten yang seharusnya menjadi sarana dakwah bernafaskan religi, sejarah, dan kultur kini seakan hanya menjadi pelengkap saja dan tiada lagi menjadi prioritas. Hal ini menjadikan suatu fenomena yang ironis terkait dengan tujuan awal para Wali Sanga dan leluhur penggagas terlaksananya sekaten sebagai upacara adat ajang penyebaran agama Islam.
Jika kita sedang menyaksikan upacara sekaten, ada baiknya jika kita juga menyempatkan diri untuk menelaah makna dan nilai-nilai religi, sejarah, dan kebudayaan yang tersirat dalam setiap ritualnya.
1.      Nilai Religi
Didalam salah satu ritual sekaten ada sesi pembacaan riwayat Nabi Muhammad s.a.w. sebagai salah satu utusan Allah yang diperntahkan sebagai rahmatan lil ‘alamin yang memiliki kepribadian dan akhlak yang mulia, sehingga upacara tradisional ini sangat berperan dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur. Tradisi ini pun dimulai sebagai upacara religius keislaman yang bercorak kejawen dengan segala hikmah dan berkah.

2.      Nilai Sejarah
Dilihat dari sejarahnya sekaten tidak bisa terlepas dari peran para wali sanga sebagai penyebar agama Islam di Pulau Jawa yang menjadikan sekaten suatu sarana dakwah Islam dan berkaitan dengan keberadaan sultan sebagai ahli waris dari Kerajaan Mataram sebagai pencetus awal diadakannya sekaten. Sehingga yang harus dilakukan untuk merealisasikan nilai-nilai sejarah adalah dengan tetap memaknai sekaten sebagai media dakwah dan menerapkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari

3.      Nilai Budaya
Nilai sekaten sangat relevan dengan kebudayaan, karena sekaten merupakan percampuran antara kebudayaan Jawa, Hindu-Budha, dan Islam. Dimana kebudayaan Jawa sangat gemar sekali menyelipkan makna tersirat dalam bentuk simbol atau lambang pada setiap kejadian penting, dan kebudayaan Hindu-Budha yang peribadatannya sangat erat dengan ritual-ritual. Hal inilah yang menjadi inspirasi para Wali Sanga dalam mengemas ajaran Islam dalam budaya Jawa, Hindu dan Budha yang terangkai dalam upacara adat sekaten. Di dalam sekaten ada yang disebut gunungan yang mempunyai arti lambang kemakmuran, digunakan sirih yang mengeluarkan warna merah yang berarti diharapkan bisa menyadarkan manusia akan dirinya, nginang memiliki makna dapat membuat awet muda, dan telur merah sebagai lambang dari kehidupan.

E.     Kajian Pelaksanaan Sekaten Saat Ini
Pengkajian Islam di Jawa memiliki karakteristik yang unik. Semenjak perkembangannya, di bawah arahan Walisongo, Islam selalu diliputi oleh Mitologi Jawa. Untuk itu, memahami Islam Jawa yang paling penting dilakukan pertama kali adalah kajian atas Jawa Pra-Islam secara independen dan mendalam karena Jawa memiliki orisinilitas budayanya tersendiri. Kajian keislaman dijawa tanpa menguasai Jawa hanya akan menghasilkan Studi Islam yang tercabut dari akarnya.
Sekaten, yang saat ini sedang dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta merupakan sebuah rangkaian kegiatan perayaan Maulid Nabi Muhammad s.a.w. yang diselenggarakan oleh Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta dan masyarakat. Berbagai bentuk acara dan kegiatan dilangsungkan dalam perayaan sekaten yang beraneka ragam variasi dan macamnya seiring perubahan waktu mulai dari yang sifatnya ritual keagamaan hingga apresiasi seni tradisi lokal sampai pameran dan pasar malam. Kultur lokal dan kultur modern seakan melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.
Memandang sekaten, jangan hanya dalam bingkai perspektif agama atau dalam kacamata budaya lokal dan budaya Jawa belaka. Cara pandang yang demikian akan mengakibatkan distorsi yang cenderung memunculkan perdebatan yang tak kunjung berhenti. Perdebatan tersebut akan bermuara pada masalah tafsir terhadap agama dimensi normatif dan historis serta Islam sebagai das sein dan das sollen serta berujung pada perpecahan dan perselisihan pendapat bila perbedaan tersebut tidak dibingkai dalam upaya untuk memperoleh dan memperkuat jalinan ukhuwah islamiyah, wathoniyah, dan basyariah.
Perayaan sekaten dalam masyarakat Jawa khususnya masyarakat Kota Yogyakarta dan sekitarnya yang telah begitu mengakar kuat dan mentradisi tidak hanya di kalangan grass root (akar rumput) tapi juga masyarakat keseluruhan pada umumnya tidak dapat dipungkiri merupakan hasil dari “sinergisasi” dan “akulturasi” yaitu perpaduan kebudayaan, antara Islam sebagai agama sekaligus “budaya” dengan budaya lokal setempat. Uraian berikut ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perselisihan dan wacana yang sifatnya distortif dalam memandang perayaan Sekaten.
Hubungan dan kolaborasi antara, Islam sebagai “teks besar” atau “grand narrative” dengan budaya lokal tidak lagi dapat dipandang dalam frame penundukkan Islam menundukkan atau ditundukkan oleh budaya lokal, tetapi harus dipandang bahwa proses akulturasi tersebut malah semakin menunjukkan kekayaan atau keberagaman ekspresi budaya Islam setelah bersinggungan atau bertemu dengan bangunan budaya lokal. Islam tidak melulu dipandang dalam dimensi keuniversalitasannya, walaupun pada titik ini orang yang beragama Islam harus tetap berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang paripurna dan universal, tetapi juga bahasa dan sikap akomodatif “Islam” dalam menerima dan mengapresiasi budaya lokal. Di sisi lain, budaya lokal tidak pula melulu kita pandang sebagai bagian yang harus selalu mengalah kepada Islam, namun budaya lokal pasti mempunyai kacamata sendiri dalam membahasakan Islam menurut perspektifnya sendiri. Cara pandang yang seperti ini akan menghasilkan konstruksi pemahaman baru yang peranannya sangat signifikan dalam proses pembauran dan perpaduan antara dua unsur budaya yang berbeda sehingga menghasilkan akulturasi budaya yang mengakar di masyarakat tanpa menghilangkan substansi dari dua unsur budaya yang bertemu.
Perspektif lain yang ingin dihadirkan melalui perayaan sekaten adalah Islam telah mengalami pembacaan ulang dalam hal ini bukan bersifat merubah nilai atau ajaran substansial Islam  melalui kacamata pribumi atau lokalitas yang sudah pasti berbeda dengan Islam di tempat asalnya, Jazirah arab atau Timur Tengah. Dalam hal ini telah terjadi proses Pribumisasi Islam” dengan meminjam terminologi Gus Dur atau telah terjadi upaya membumikan Islam. Menurut Syafi’i Ma’arif terhadap nilai-nilai substansial dalam Islam. Sebuah proses bargaining budaya telah terjadi yang mengikutsertakan dua unsur budaya yang bertemu. Proses tawar-menawar ini melibatkan perilaku adaptasi dan akomodasi dengan semangat menciptakan tatanan budaya baru yang dapat diterima bersama.
Ada hikmah yang dapat kita tarik dari perayaan sekaten yang telah berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama tersebut, yakni adanya proses dialektika yang panjang dalam upaya mewujudkan “Pribumisasi Islam” atau upaya “membumikan Islam”. Proses Pribumisasi Islam” di tanah air, biasanya, seringkali atau malah harus” melibatkan budaya dan tradisi lokal yang ada, tentunya dengan pembacaan yang kritis dan pemaknaan yang lebih terbuka.
Bila hal ini dijadikan pelajaran dalam melihat dua corak keislaman di Indonesia, Islam Modernis dan Islam Tradisionalis, ini bukan bermaksud menyederhanakan, maka bukan penentuan benar atau salah yang digunakan dalam memahami dua corak tersebut, melainkan lebih pada nilai perjuangan yang tetap menjunjung budaya lokal dan tradisinya. Sikap kritis dan kearifan yang diliputi semangat keterbukaan untuk menerima perbedaan dan mengutamakan dialog dalam menyikapi perbedaan yang ada harus selalu menjadi prioritas pertama dan utama yang tak dapat ditawar-tawar lagi.
Melalui pembacaan atau sikap keberagaman seperti ini diharapkan bahwa hadirnya Islam dalam suatu masyarakat tidak serta merta menghilangkan tradisi dan budaya lokal yang ada. Kedatangan Islam di tengah-tengah tradisi dan budaya lokal, sebaliknya, malah harus dijadikan media bagi sebuah proses dialog antar budaya (cultural dialogue) untuk menemukan kebersamaan dalam menghadirkan masyarakat yang lebih inklusif-pluralis terhadap perbedaan yang ada. Hal ini terbukti lewat perayaan sekaten yang paling tidak telah mencerminkan proses di atas. Prinsip lain yang tidak boleh dilupakan dalam kehidupan keberagamaan adalah prinsip humanisme dalam konteks ini harus menyentuh prinsip humanitarianisme yang memandang manusia dan sejarah kemanusiaannya sebagai satu rangkaian proses menjadi (becoming to) yang memanusiakan manusia dan menjadikan agama (Islam dan juga agama-agama lainnya) mampu untuk menjawab segala problematika kehidupan manusia.
Apalagi di tengah kondisi bangsa yang saat ini mulai terlena oleh buaian kehidupan konsumeristik-konsumtif dan hedonistik yang telah meninggalkan aspek-aspek lokalitas atau local genius sebagai identitas kultural dan penanda paling signifikan bagi kita bila tetap ingin dianggap sebagai bangsa yang bermartabat.

F.     Kepercayaan Masyarakat Tentang Sekaten
Beberapa kepercayaan yang berkembang di kalangan masyarakat tentang budaya sekaten:
1.      Masyarakat Yogyakarta meyakini bahwa dengan mengikuti sekaten maka akan mendapat pahala dan dianugerahi awet muda.
2.      Pada hari pertama dalam sekaten, sebagai syarat, salah satu ritual yang dilakukan masyarakat adalah mengunyah daun sirih di halaman Masjid Gedhe. Oleh karena itu banyak masyarakat yang memanfaatkan hal ini untuk berjualan daun sirih dan ramuan-ramuan lainnya di halaman Masjid Gedhe.
3.      Untuk kalangan petani, sekaten dijadikan kesempatan untuk memohon agar panennya berhasil.
4.      Acara Garebeg merupakan acara yang dianggap sakral bagi para warga. Dengan dibawanya sebuah gunungan ke halaman Masjid Gedhe, banyak warga yang berebut mengambil makanan dari gunungan tersebut karena menganggap dapat membawa berkah.
5.      Gunungan pada acara Garebeg adalah sesaji yang dibentuk kerucut. Terbuat dari beras ketan, buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan. Gunungan ini dibawa dari Istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju Masjid Gedhe. Gunungan makanan inilah yang diperebutkan oleh para warga karena dipercaya dapat membawa berkah. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini dibawa pulang oleh mereka dan ditanam di sawah/ ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.
6.      Sebelum sekaten dilaksanakan, diadakan upacara dengan dua persiapan yaitu fisik dan spiritual. Persiapan fisik yaitu berupa peralatan dan perlengkapan upacara sekaten, seperti:
a.       Gamelan Sekaten yaitu benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kiai Sekati yang memiliki dua perangkat. Pertama, Kanjeng Kiai Nogowilogo. Kedua, Kanjeng Kiai Guntur Madu. Gamelan sekaten tersebut di buat oleh Sunan Bonang yang memiliki keahlian di bidang karawitan dan diyakini sebagai gamelan yang pertama kali dibuat. Alat pemukul gamelan tersebut terbuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau.
b.      Gendhing Sekaten yang merupakan serangakaian lagu gendhing, diantaranya yaitu Rambut pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem, Andhongandhong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet lima, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet nem, Muru Putih, Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet lima, Supiatun pathet barang dan Srundeng Gosong pelog pathet barang.
c.       Selain Gamelan Sekaten dan Gendhing Sekaten, perlengkapan-perlengkapan lainnya yaitu uang logam, Bunga Kanthil, busana seragam sekaten dan naskah riwayat Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa saat sebelum upacara sekaten. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk mengemban tugas sakral tersebut. Terutama para abdi dalem yang bertugas memukul Gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan siram jamas.

G.    Budaya Sekaten dalam Perspektif Islam
Sebagaimana pendapat Muhammadiyah dalam buku Tanya Jawab Agama, bahwa sekaten yang merupakan acara peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad itu tidak ada tuntunannya, baik yang berupa perbuatan, maupun perintah untuk mengadakannya. Sedangkan untuk dilakukan qiyas, tidak ada riwayat yang kuat untuk dijadikan asal pada qiyas. Jika tidak ada dasar dilakukan qiyas, maka dapat dilakukan ijtihad istishlahi, yaitu ijtihad yang didasarkan illah mashlahah.[13]
Ada beberapa hal yang perlu diingat pada penetapan hukum atas dasar kemaslahatan ini. Kemashlahatan itu harus benar-benar dapat menjaga lima hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Karena, ukuran kemashlahatan itu dapat berubah, maka berputar pada illahnya, dan ketentuannya ialah pada kemaslahatan yang dominan yakni dapat mendatangkan kebaikan dan menghindari kerusakan.
Prinsip ini pula yang diterapkan dalam menetapkan hukum sekaten. Karena tidak ada nash al-Qur’an maupun al-Hadis sebagai dasar hokum menyelenggarakan sekaten, maka sekaten yang merupakan acara untuk memperingati kelahiran Nabi saw tidaklah diharamkan dengan syarat acara yang diselenggarakan itu tidak ada unsur-unsur kesyirikan, tabdzir dan semua hal yang dilarang oleh syari’at Islam.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa kemashlahatan itu harus benar-benar yang dapat menjaga lima hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Namun, dalam prakteknya sekarang ini, sekaten sudah mengandung banyak kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang banyak menyalahi prinsip-prinsip Islam seperti aqidah dan ketauhidan. Berikut analisis kepercayaan masyarakat seputar sekaten yang menyalahi prinsip ajaran Islam:
1.      Masyarakat Yogyakarta meyakini bahwa dengan mengikuti sekaten maka akan mendapat pahala dan dianugerahi awet muda.
Pada hari pertama acara sekaten, sebagai syarat, salah satu ritual yang dilakukan masyarakat adalah mengunyah daun sirih di halaman Masjid Gedhe. Kesyirikan yang termuat dalam kepercayaan ini adalah meyakini bahwa ritual sekaten merupakan waktu sakral yang dapat mendatangkan kemaslahatan bagi orang-orang yang mengikutinya, seperti dapat awet muda dan mendapat pahala. Sedangkan Islam selalu mengajarkan pada umatnya untuk menyandarkan segala urusannya kepada Allah dan tidak mengkhususkan hari-hari tertentu yang tidak ada tuntunannya dalam al- Qur’an ataupun al-Hadis. Hal ini bertentangan dengan surat Fatir ayat 2,
مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٢)
Artinya : Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menganugrerahkan rahmat kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, yaitu para hambanya yang beriman dan bertaqwa. Bukan berarti orang-orang yang mengikuti acara sekaten itu pasti mendapat rahmat Allah dengan dianugerahi awet muda. Karena merupakan haq Allah untuk memberikan rahmat-Nya kepada siapa yang Ia kehendaki. Ancaman Allah sangat keras bagi orang yang melakukan kesyirikan, sebagaimana Allah berfirman dalam sura al-Ma’idah ayat 72.
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (٧٢)
Artinya: Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan bagi orang-orang zalim itu tidak ada penolong sama sekali.

2.      Untuk kalangan petani, sekaten dijadikan kesempatan untuk memohon agar panennya berhasil. Allah adalah pencipta segala alam semesta sebagaimana firman-Nya di dalam surat al-Baqarah ayat 21-22.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (٢١)الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٢٢)
Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orangorang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
Patutlah kita sebagai hamba hanya menyembah dan memohon kepada Allah dimana pun dan kapan pun, karena Allah adalah Dzat yang maha mengabulkan Do’a. Allah berfirman dalam surat al-Qashash ayat 68.
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (٦٨)
Artinya: Dan rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.
Manusia tidak diperbolehkan mengkhususkan hari untuk berdo’a karena dianggap hari yang mustajab untuk berdo’a. Kecuali ada ayat ataupun hadis yang menjadi dasar untuk mengkhususkan waktu-waktu tertentu karena dianggap waktu yang mustajab untuk berdo’a seperti waktu antara adzan dan iqamah. Maka perbuatan menghususkan hari diselenggarakannya sekaten untuk berdo’a agar panennya berhasil merupakan perbuatan bid’ah karena tidak ada satupun ayat al-Qur’an maupun al-Hadis yang menjelaskan bahwa hari kelahran Nabi merupakan waktu mustajab untuk berdo’a.

3.      Gamelan adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kiai Sekati yang memiliki dua perangkat yaitu Kanjeng Kiai Nogowilogo dan Kanjeng Kiai Guntur Madu.
Selain itu, terdapat perlengkapan-perlengkapan lainnya seperti uang logam, bunga kanthil, busana seragam sekaten yang diyakini sebagai benda-benda sakral yang dapat memberikan berkah bagi masyarakat.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip ketauhidan karena Allah melarang umat Islam mengharapkan berkah kepada pohon, batu, patung, dan sejenisnya. Begitu juga percaya bahwa benda-benda tertentu dapat memberi madharat (bahaya) pada manusia. Karena, hal ini termasuk perbuatan menyekutukan Allah.
Selain itu, tidak ada satu pun riwayat yang dinukil dari para sahabat bahwa mereka bertabarruk kepada orang selain Nabi, baik bertabarruk dengan jasad maupun dengan bekas-bekas peninggalan mereka. Tidak pernah sedikit pun Rasulullah mengajarkan hal tersebut. Para sahabat setelah wafatnya Nabi tidak ada seorang pun yang melakukan perbuatan tabarruk kepada orang setelah Nabi. Padahal sepeninggal beliau tidak ada manusia yang lebih mulia dari Abu Bakar Ash Shiddiq karena beliaulah pengganti Nabi. Namun para sahabat tidak pernah bertabarruk kepada Abu Bakar. Tidak pernah pula bertabarruk kepada Umar bin Khattab, Utsman bin Affan ataupun Ali bin Abi Thalib, padahal merekalah orang-orang yang paling mulia dari seluruh ummat.[14]

4.      Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk mengemban tugas sakral tersebut. Terutama para abdi dalem yang bertugas memukul Gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan siram jamas.
Banyak masyarakat Yogyakarta menganggap acara sekaten adalah ritual sakral yang tidak semua orang dapat mengemban tugas dalam pelaksanaan sekaten. Orang yang bertugas dalam acara sekaten atau abdi dalem juga harus melakukan serentetan ritual untuk mensucikan diri sebelum mengemban tugasnya dalam acara sekaten. Salah satu syarat para abdi dalem untuk mensucikan diri adalah dengan berpuasa.
Puasa adalah ibadah mahdloh (ibadah yang telah ditentukan rukun dan syaratnya). Ini telah masuk dalam masalah ta’abbudi (ibadah khusus atau lazim disebut ritual) tidak boleh mempergunakan ijtihad, tetapi harus mengikuti nash al-Qur’an atau as-Sunnah makbulah. Karena ibadah puasa dalam acara sekaten ini tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an maupun as- Sunnah padahal puasa merupakan amalan ta’abbudi, maka puasa para abdi dalem ini dapat dikategorikan sebagai bid’ah.
Dalam buku Tanya Jawab Agama disebutkan bahwa bid’ah adalah setiap amal ibadah yang dibuat tanpa adanya dalil dalam syara’ atau contoh dari Rasulullah yang membenarkannya. Berikut kriteria amalan yang termasuk bid’ah menurut Muhammadiyah:
a.       Bid’ah adalah suatu cara mengamalkan agama yang tidak berdasarkan tuntunan Rasul dan oleh pelakunya dianggap sebagai bagian dari agama.
b.      Bid’ah hanya ada sepanjang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan agama (aqidah dan ibadah) dan tidak menyangkut urusan duniawi.
c.       Sebagai kebalikan dari sunnah, maka bid’ah harus ditinggalkan dan seperti dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Majah berikut, bid’ah adalah sesat. Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan setiap bid’ah itu sesat.

5.      Gunungan sesaji berbentuk kerucut pada acara Garebeg yang Terbuat dari beras ketan, buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan. Setelah dido’akan Gunungan sesaji tersebut dibawa ke halaman Masjid Gedhe.
Banyak warga yang berebut mengambil makanan dari gunungan sesaji tersebut karena dianggap dapat membawa berkah. Bagian gunungan sesaji yang dianggap sakral ini dibawa pulang oleh mereka dan ditanam di sawah/ ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip ketauhidan karena Allah melarang umat Islam mengharapkan berkah kepada pohon, batu, patung, dan sejenisnya. Begitu juga percaya bahwa benda-benda tertentu dapat memberi madharat (bahaya) pada manusia. Karena, hal ini termasuk perbuatan menyekutukan Allah satu-satunya tempat bergantung. Nabi SAW bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi Allahu akbar. Itulah tradisi (orang-orang sebelum kamu). Dan demi Allah yang diriku hanya berada di tangan-Nya, kamu benar-benar telah mengatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa ‘buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan’. Musa menjawab: ‘Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengerti’. Pasti, kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu.

6.      Pasar malam dalam perayaan sekaten banyak mengandung kemungkaran seperti tari-tarian klosal, bercampur baurnya lelaki dan perempuan dan banyak kedurhakaan kepada Allah di dalamnya. Sekaten bukan acara kebaikan yang di ridlai oleh Allah, tapi kedurkaan yang di benci-Nya. Allah berfirman dalam surat at-Thalaq ayat 8.
وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ عَتَتْ عَنْ أَمْرِ رَبِّهَا وَرُسُلِهِ فَحَاسَبْنَاهَا حِسَابًا شَدِيدًا وَعَذَّبْنَاهَا عَذَابًا نُكْرًا (٨)
Artinya: Dan berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa kemashlahatan itu harus benar-benar yang dapat menjaga lima hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Namun dalam prakteknya sekarang ini, sekaten sudah mengandung banyak kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang menyalahi prinsip-prinsip Islam seperti aqidah dan ketauhidan.
Meskipun sekaten dapat dijadikan sarana untuk syi’ar Islam, tetapi dalam prakteknya, sekaten juga banyak mengandung unsur kesyirikan yang menjadikan sekaten sebagai satu kegiatan menyekutukan Allah. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan ini tidak lagi dapat digunakan untuk membenarkan budaya sekaten karena kegiatan ini jelas menyalahi prinsip ketauhidan dan aqidah.
Karena, ukuran kemashlahatan itu dapat berubah, maka berputar pada illahnya, dan ketentuannya ialah pada kemaslahatan yang dominan yakni dapat mendatangkan kebaikan dan menghindari kerusakan. Sedangkan kerusakan yang timbul akibat diadakannya sekaten itu lebih besar karena dapat mendekatkan masyarakat dengan kesyirikan dari pada manfaat yang didatangkannya seperti untuk syi’ar Islam. Disebutkan dalam kaidah fiqhiyah.
[15] درء المفاصد مقدم على جلب المصالح
Menghilangkan kerusakan itu lebih didahulukan daripada menarik manfaat.
Kaidah fiqhiyah ini menunjukan bahwa jika ada kerusakan dan manfaatberkumpul pada satu perkara, maka yang harus lebih diutamakan adalah menghilangkan kerusakan. Begitu pula dalam kegiatan sekaten, meskipun kegiatan ini dapat dijadikan sarana syi’ar Islam, kita harus tetap lebih memperhatikan dan menghilangkan kerusakan yang dapat ditimbulkan dari kegiatan sekaten.
Sekaten sebagai budaya lokal yang telah menjadi acara tahunan warga Kota Yogyakarta tentu sangat disayangkan jika harus ditiadakan karena adanya kepercayaan menyimpang masyarakat tentang sekaten. Budaya sekaten yang awalnya diadakan oleh para wali untuk memudahkan da’wah Islam perlu dimurnikan kembali sesuai niat awal para wali kita. Segala bentuk kesyirikan dan kepercayaan dalam acara sekaten yang menyimpang dari prinsip Islam harus dihilangkan dan diluruskan agar sekaten dapat berlangsung sesuai dengan syari’at Islam. Ketika sekaten telah murni dari kepercayaan mistis masyarakat, maka penetapan hukum berdasarkan illah maslahah dapat diterapkan lagi dalam sekaten. Hal ini dapat dilakukan karena sekaten dapat menjaga kemaslahatan seperti menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Namun hal ini dapat dilakukan ketika sekaten benar-benar telah bersih dari kepercayaankepercayaan mistis masyarakat maupun pihak kraton, tidak ada unsur tabdzir, ikhtilat (percampuran) antara lelaki dan perempuan, praktek penipuan dalam pasar malam sekaten, dan segala hal yang dilarang oleh syari’at Islam.


[1] Wali Sanga atau Wali Songo dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke- 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
[2] Ismail Yahya, dkk, Adat-Adat Jawa dalam Bulan-bulan Islam: Adakah Pertentangan? (Solo: Inti Medina, 2009), h. 44-45
[3] Ismail Yahya, dkk, Adat-Adat Jawa dalam Bulan-bulan Islam: Adakah Pertentangan? (Solo: Inti Medina, 2009), h. 45
[4] Ismail Yahya, dkk, Adat-Adat Jawa dalam Bulan-bulan Islam: Adakah Pertentangan? (Solo: Inti Medina, 2009), h. 45-46
[5] Ismail Yahya, dkk, Adat-Adat Jawa dalam Bulan-bulan Islam: Adakah Pertentangan? (Solo: Inti Medina, 2009), h. 46
[6] Wawancara Pribadi dengan Ahmad M. Kamaludiningrat, Yogyakarta, 8 Januari 2014. dikutip dari Sudirman, Tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya, (Jakarta: Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 59.
[7] Syariful Alim, Hakekat Tuhan dan Manusia: Perspektif Pujangga Muslim Jawa (Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2013), h. 3.
[8] Suyatmi, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 35.
[9] Suyatmi, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 36.
[10] B. Soelarto, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta , (Kanisius: Yogyakarta, 1995), h. 15.
[11] B. Soelarto, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta , (Kanisius : Yogyakarta, 1995), h. 15.
[12] Rizki Dian, Tradisi Sekatenan di Yogyakarta, diakses dari http://blog.ugm.ac.id/ 2010/11/15/tradisisekatenandiyogyakarta/html/ pada tanggal 19 November 2015 pukul 10.21 WIB
[13] Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih “Tanya Jawab Agama”, Suara Muhammadiyah, 1998, hlm. 271.
[14] Syaikh Nashir bin Abdirrahman, “Dilarang Bertabarruk Kepada Selain Nabi”, http://www.suaramedia.com/artikel/kumpulan-doa/38259-dilarang-tabarruk-pada-selainnabi-sekalipun-generasi-terbaik. html akses 26 Juli 2012
[15] Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ul Awwaliyah, (Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Futra, tt), hlm. 34

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna Veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat.

0 komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Phone :

+62 812 6892 8954

Address :

Solok Regency, West Sumatera,
Indonesia

Email :

hayatulkhairul@gmail.com