Antara Pancasila dan Khilafah: Alasan di Balik Pelarangan HTI di Indonesia
Di Indonesia, Pancasila berfungsi sebagai dasar ideologi sekaligus panduan kehidupan berbangsa dan bernegara. Lahir sebagai hasil konsensus yang mencerminkan keragaman dan semangat persatuan, Pancasila mengedepankan nilai-nilai universal seperti kemanusiaan, keadilan, dan pengakuan terhadap pluralitas. Namun, dalam konteks dinamika politik dan sosial yang terus berubah, ideologi alternatif seperti khilafah kembali mencuat, menimbulkan perdebatan signifikan mengenai keberadaan dan pengaruhnya terhadap stabilitas negara. Dalam situasi ini, Hizb ut-Tahrir Indonesia (HTI) muncul sebagai salah satu aktor yang mempromosikan khilafah sebagai solusi fundamental terhadap isu-isu yang dihadapi umat Islam dan masyarakat Indonesia secara luas.
Larangan kegiatan HTI di Indonesia oleh pemerintah pada tahun 2017 memberikan gambaran tentang ketegangan antara penerapan nilai-nilai Pancasila dan ideologi khilafah yang ditawarkan oleh kelompok ini. Pihak pemerintah berargumen bahwa ideologi khilafah berpotensi merusak konsensus kebangsaan dan mengancam satuan dan integritas Republik Indonesia. Dalam perspektif ini, Pancasila diamati sebagai penyangga utama dalam menjaga harmoni sosial di tengah-tengah keragaman etnis dan agama. Dengan demikian, penting untuk mengeksplorasi lebih dalam mengenai alasan di balik pelarangan HTI, termasuk di dalamnya analisis aspek hukum, sosio-kultural, dan politik, yang menjadi titik temu sekaligus perpecahan antara nilai-nilai Pancasila dan ideologi khilafah.
Pelarangan ini bukan sekadar langkah represif terhadap suatu organisasi, melainkan merupakan sikap defensif dalam melindungi ideologi negara yang telah teruji dalam menghadapi tantangan internal dan eksternal. Tampaknya, perseteruan antara Pancasila dan khilafah mencerminkan pertarungan ideologis yang mendalam dalam masyarakat Indonesia. Diharapkan, dengan memahami konteks dan argumen yang melatarbelakangi pelarangan tersebut, pembaca dapat memperoleh wawasan yang lebih utuh tentang isu ini, serta pentingnya penguatan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan kohesif dalam mengatasi berbagai dilema yang dihadapi bangsa.
Dampak dari pelarangan HTI tidak hanya dirasakan oleh anggota dan pendukungnya, tetapi juga meluas ke arena politik dan sosial masyarakat. Di satu sisi, keputusan ini menimbulkan dukungan luas dari segmen-segmen masyarakat yang mengedepankan moderasi dan keberagaman, terutama di kalangan mereka yang berpegang pada Pancasila. Pihak yang mendukung pelarangan berargumen bahwa langkah ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam menjaga stabilitas nasional dan melindungi nilai-nilai luhur bangsa. Namun di sisi lain, pelarangan ini juga menimbulkan protes dari pendukung HTI dan sejumlah organisasi lainnya yang menilai tindakan tersebut melanggar hak asasi manusia serta kebebasan berpendapat. Reaksi ini menunjukkan adanya ketegangan antara konsep kebebasan berorganisasi dan tanggung jawab pemerintah untuk menjaga keamanan serta keteraturan sosial, yang sekaligus mencerminkan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan keseimbangan antara demokrasi dan keamanan di Indonesia.
Pada akhirnya, pelarangan HTI di Indonesia mencerminkan upaya negara dalam mengelola isu-isu ideologis yang dapat memicu disintegrasi sosial. Kebijakan tersebut juga menyoroti tantangan fundamental yang dihadapi negara dalam menjaga komitmennya terhadap Pancasila sebagai identitas yang menyatukan bangsa, seraya berupaya untuk mencegah penyebaran ide-ide yang berpotensi merugikan kesatuan dan keharmonisan masyarakat. Keseimbangan antara kebebasan sipil dan keamanan nasional menjadi semakin penting, dan pelarangan HTI menjadi salah satu dari sekian banyak langkah yang diambil untuk mempertahankan Pancasila sebagai fondasi ideologi negara yang harus dijaga dari pengaruh-pengaruh yang dianggap ekstrem.
Pelarangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah memunculkan argumen yang beragam, baik dari pendukung maupun penentangnya. Di pihak pro, argumen utama adalah bahwa pelarangan ini dianggap sebagai langkah yang diperlukan untuk menjaga keutuhan ideologi negara, yaitu Pancasila. Pendukung pelarangan berpendapat bahwa HTI, melalui tujuan akhirnya untuk mendirikan negara Islam berdasarkan khilafah, dapat merongrong integritas negara dan sistem demokrasi yang telah dibangun. Dalam konteks ini, banyak yang menekankan bahwa gerakan ini tidak hanya berpotensi menciptakan ketidakstabilan sosial tetapi juga dapat memicu konflik antar kelompok masyarakat yang memiliki ideologi berbeda. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa HTI dapat memanfaatkan kebebasan berpendapat untuk menyebarkan intoleransi dan radikalisasi di kalangan generasi muda. Pelarangan, dalam pandangan ini, dianggap sebagai peluasan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi masyarakat dari ide-ide ekstrem yang dapat merugikan.
Di sisi lain, argumen kontra terhadap pelarangan HTI mengangkat isu kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia. Para penentang berargumen bahwa tindakan pelarangan ini mencerminkan pengekangan terhadap kebebasan berekspresi dan perbedaan pendapat, yang seharusnya dilindungi dalam sebuah negara demokratis. Mereka mencatat bahwa, meskipun HTI memiliki visi yang berbeda mengenai sistem pemerintahan, organisai tersebut tidak secara langsung terlibat dalam kekerasan atau tindakan ilegal yang dapat membahayakan keamanan negara. Dari sudut pandang ini, pelarangan tidak hanya mengabaikan hak-hak individu tetapi juga berpotensi menimbulkan stigma dan pengucilan kepada mereka yang berbeda pandangan. Banyak yang berpendapat bahwa pendekatan yang lebih inklusif, yang melibatkan dialog dan pengawasan ketat terhadap tindakan nyata yang merugikan, lebih efektif dalam mencegah radikalisasi, dibandingkan dengan langkah pelarangan yang dianggap memicu ketegangan dan perpecahan.
Dalam konteks perdebatan antara Pancasila dan Khilafah, pelarangan Hizb ut-Tahrir Indonesia (HTI) menjadi momen penting yang mencerminkan dinamika kebijakan negara dalam menjaga persatuan dan keutuhan bangsa. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai ideologi, tetapi juga sebagai fondasi yang mengatur kerukunan berbangsa dan bernegara. Konsep ini menekankan pada nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan toleransi yang menjadi kebutuhan utama di masyarakat yang beragam. Dalam hal ini, pelarangan HTI dapat dipandang sebagai respons terhadap ancaman yang dirasakan oleh banyak pihak terhadap eksistensi nilai-nilai tersebut yang sering kali disalahartikan oleh kelompok-kelompok ideologis radikal yang menekankan penegakan hukum syariah secara eksklusif.
Hayatul Khairul Rahmat
Mahasiswa PJJ S2 PAI UIN SSC
Tugas MK Metodologi Pengembangan Keberagamaan
Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag.
Komentar
Posting Komentar