Konseling Traumatik?
Konseling adalah
praktik yang dijalankan sesuai dengan seperangkat aturan atau pedoman yang
disusun oleh lembaga konseling profesioanl dan sesuai dengan kode etik,
nilai-nilai, pengalaman, pandangan, perasaan, dan kemampuan klien dalam
menentukan nasibnya sendiri (Geldard: 2004). Konseling merupakan suatu proses pemberian
bantuan (give helping) yang bersifat teraputik yang diarahkan untuk
mengubah sikap dan perilaku konseli, yang dilaksanakan secara person to
person yaitu antara konseli dan konselor dengan menggunakan teknik
wawancara sehingga diharapkan dapat mengentaskan permasalahan yang dialami oleh
konseli.
Trauma
berasal dari Bahasa Yunani yang dapat diartikan luka (Cerney, dalam Pickett,
1998). Kata trauma digunakan untuk menggambarkan kejadian atau situasi yang
dialami oleh korban. Kejadian atau pengalaman traumatik pun akan dihayati
secara berbeda-beda oleh setiap individu, sehingga setiap orang akan memiliki
reaksi yang berbda pula dalam menghadapi setiap peristiwa traumatik. Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang wajar
ketika seseorang mengalami ketakutan baik secara fisik maupun emosional sebagai
suatu reaksi stres atas kejadian traumatik tersebut. Kadang kala efek ini baru
terjadi setelah beberapa jam, hari, atau bahkan berminggu-minggu. Respon
individual pada umumnya yang terjadi adalah perasaan takut, tidak berdaya, atau
merasa ngeri. Demikian pula cara individu menghadapi krisis tersebut akan
bergantung pada pengalaman dan sejarah masa lalunya. Adapun indikator seseorang
mengalami trauma adalah dibayangi oleh peristiwa traumatis, berpikir negatif,
merasa tidak berdaya, emosional, mengisolasi diri, merasa harapan masa depan
rendah (Afnibar: 55).
Menurut
Prawirohardjo (2010) melihat trauma sebagai pengalaman yang tiba-tiba,
mengejutkan, dan meninggalkan bekas atau kesan yang mendalam pada jiwa
seseorang yang mengalaminya. Menurut Pickett (1998), ada dua simtom yang
dialami oleh individu yaitu (a) adanya ingatan terus-menerus tentang kejadian
atau peristiwa tersebut, dan (2) mengalami mati rasa atau berkurangnya respon
individu terhadap lingkungan. Kondisi ini selanjutnya akan mempengaruhi fungsi
adaptif individu dengan lingkungan. Hal inilah menjadikan seseorang trauma
yaitu muncul karena suatu peristiwa yang mengakibatkan terguncang jiwa
seseorang sehingga sulit untuk mengendalikan dirinya sendiri.
Sutirna (2013) menyebutkan konseling traumatik adalah upaya konselor untuk membantu klien yang mengalami trauma melalui proses hubungan pribadi sehingga klien dapat memahami diri sehubungan dengan masalah trauma yang dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaik mungkin. Tujuan konseling traumatik adalah untuk mengadakan perubahan perilaku pada klien sehignga memungkinkan hidupnya lebih produktif dan memuaskan, lebih menekankan pada pulihnya kembali klien pada keadaan sebelum trauma dan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang baru (Afnibar: 53). Secara lebih spesifik, Murro dan Kottman (dalam Juntika, 2005: 84) menjelaskan tujuan konseling traumatik adalah (a) berpikir realistis, bahwa trauma adalah bagian dari kehidupan; (b) memperoleh pengalaman tentang peristiwa dan situasi yang menimbulkan trauma; (c) memahami dan menerima perasaan yang berhubungan dengan trauma serta belajar keterampilan baru mengatasi trauma.
Konseling
traumatik sangat berbeda dengan konseling biasa dilakukan oleh konselor,
perbedaan ini terletak pada waktu, fokus, aktivitas, dan tujuan. Adapun
konseling traumatik memerlukan waktu yang lebih lama dari konseling biasa,
fokus pada trauma yang dirasakan sekarang, lebih banyak melibatkan orang banyak
dalam membantu konseli dan yang paling aktif berperan adalah konselor (Indah:
2011). Adapun proses konseling traumatik adalah proses tengah berlangsung dan
memberi makna bagi klien yang mengalami trauma dan memberi makna pula bagi
konselor yang membantu mengatasi trauma kliennya.
Sebagai mana
proses konseling pada umumnya, proses dalam strategi konseling traumatik juga
dibagi dalam tiga tahapan, yaitu tahap awal konseling, tahap pertengahan (tahap
kerja), dan tahap akhir konseling (Nurihsan, 2009). Berikut adalah penjelasan
dari strategi konseling traumatik:
Tahap awal konseling. Adapun pada tahap awal ini terjadi sejak konselor bertemu dengan konseli sehingga berjalanlah proses konseling dan menemukan defenisi masalah klien. Adapun yang dilakukan oleh konselor dalam proses konseling ini adalah sebagai berikut: (a) membangun hubungan konseling traumatik yang melibatkan klien yang mengalami trauma; (b) memperjelas dan mendefenisikan masalah trauma; (c) membuat penjajakan alternatif bantuan untuk mengatasi masalah trauma; dan (d) menegosiasikan kontrak.
Tahap pertengahan konseling. Berdasarkan kejelasan trauma klien yang disepakati pada tahap awal, kegiatan selanjutnya adalah mengkonfrontasikan pada: (a) penjelajahan trauma yang dialami klien; (b) bantuan apa yang akan diberikan berdasarkan penilaian kembali apa-apa yang telah dijelajahi tentang trauma klien.
Tahap akhir konseling. Pada tahap ini, konseling ditandai dengan beberapa hal berikut ini: (a) menurunnya kecemasan klien yang diketahui setelah konselor menanyakan keadaan kecemasannya; (b) adanya perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat, dan dinamik; (c) adanya tujuan hidup yang jelas di masa yang akan datang dengan program yang jelasp pula; (d) terjadinya perubahan sikap yang positif terhadap masalah yang dialaminya, dapat mengoreksi diri dan meniadakan sikap yang suka menyalahkan dunia luar seperti orang tua, teman, dan keadaan yang tidak menguntungkan.
0 komentar:
Posting Komentar