Minggu, 30 Desember 2018

Konseling Traumatik?
Konseling adalah praktik yang dijalankan sesuai dengan seperangkat aturan atau pedoman yang disusun oleh lembaga konseling profesioanl dan sesuai dengan kode etik, nilai-nilai, pengalaman, pandangan, perasaan, dan kemampuan klien dalam menentukan nasibnya sendiri (Geldard: 2004). Konseling merupakan suatu proses pemberian bantuan (give helping) yang bersifat teraputik yang diarahkan untuk mengubah sikap dan perilaku konseli, yang dilaksanakan secara person to person yaitu antara konseli dan konselor dengan menggunakan teknik wawancara sehingga diharapkan dapat mengentaskan permasalahan yang dialami oleh konseli.
Trauma berasal dari Bahasa Yunani yang dapat diartikan luka (Cerney, dalam Pickett, 1998). Kata trauma digunakan untuk menggambarkan kejadian atau situasi yang dialami oleh korban. Kejadian atau pengalaman traumatik pun akan dihayati secara berbeda-beda oleh setiap individu, sehingga setiap orang akan memiliki reaksi yang berbda pula dalam menghadapi setiap peristiwa traumatik. Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang wajar ketika seseorang mengalami ketakutan baik secara fisik maupun emosional sebagai suatu reaksi stres atas kejadian traumatik tersebut. Kadang kala efek ini baru terjadi setelah beberapa jam, hari, atau bahkan berminggu-minggu. Respon individual pada umumnya yang terjadi adalah perasaan takut, tidak berdaya, atau merasa ngeri. Demikian pula cara individu menghadapi krisis tersebut akan bergantung pada pengalaman dan sejarah masa lalunya. Adapun indikator seseorang mengalami trauma adalah dibayangi oleh peristiwa traumatis, berpikir negatif, merasa tidak berdaya, emosional, mengisolasi diri, merasa harapan masa depan rendah (Afnibar: 55).
Menurut Prawirohardjo (2010) melihat trauma sebagai pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan, dan meninggalkan bekas atau kesan yang mendalam pada jiwa seseorang yang mengalaminya. Menurut Pickett (1998), ada dua simtom yang dialami oleh individu yaitu (a) adanya ingatan terus-menerus tentang kejadian atau peristiwa tersebut, dan (2) mengalami mati rasa atau berkurangnya respon individu terhadap lingkungan. Kondisi ini selanjutnya akan mempengaruhi fungsi adaptif individu dengan lingkungan. Hal inilah menjadikan seseorang trauma yaitu muncul karena suatu peristiwa yang mengakibatkan terguncang jiwa seseorang sehingga sulit untuk mengendalikan dirinya sendiri.
Sutirna (2013) menyebutkan konseling traumatik adalah upaya konselor untuk membantu klien yang mengalami trauma melalui proses hubungan pribadi sehingga klien dapat memahami diri sehubungan dengan masalah trauma yang dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaik mungkin. Tujuan konseling traumatik adalah untuk mengadakan perubahan perilaku pada klien sehignga memungkinkan hidupnya lebih produktif dan memuaskan, lebih menekankan pada pulihnya kembali klien pada keadaan sebelum trauma dan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang baru (Afnibar: 53). Secara lebih spesifik, Murro dan Kottman (dalam Juntika, 2005: 84) menjelaskan tujuan konseling traumatik adalah (a) berpikir realistis, bahwa trauma adalah bagian dari kehidupan; (b) memperoleh pengalaman tentang peristiwa dan situasi yang menimbulkan trauma; (c) memahami dan menerima perasaan yang berhubungan dengan trauma serta belajar keterampilan baru mengatasi trauma.
Konseling traumatik sangat berbeda dengan konseling biasa dilakukan oleh konselor, perbedaan ini terletak pada waktu, fokus, aktivitas, dan tujuan. Adapun konseling traumatik memerlukan waktu yang lebih lama dari konseling biasa, fokus pada trauma yang dirasakan sekarang, lebih banyak melibatkan orang banyak dalam membantu konseli dan yang paling aktif berperan adalah konselor (Indah: 2011). Adapun proses konseling traumatik adalah proses tengah berlangsung dan memberi makna bagi klien yang mengalami trauma dan memberi makna pula bagi konselor yang membantu mengatasi trauma kliennya.
Sebagai mana proses konseling pada umumnya, proses dalam strategi konseling traumatik juga dibagi dalam tiga tahapan, yaitu tahap awal konseling, tahap pertengahan (tahap kerja), dan tahap akhir konseling (Nurihsan, 2009). Berikut adalah penjelasan dari strategi konseling traumatik:


  1. Tahap awal konseling. Adapun pada tahap awal ini terjadi sejak konselor bertemu dengan konseli sehingga berjalanlah proses konseling dan menemukan defenisi masalah klien. Adapun yang dilakukan oleh konselor dalam proses konseling ini adalah sebagai berikut: (a) membangun hubungan konseling traumatik yang melibatkan klien yang mengalami trauma; (b) memperjelas dan mendefenisikan masalah trauma; (c) membuat penjajakan alternatif bantuan untuk mengatasi masalah trauma; dan (d) menegosiasikan kontrak.
  2. Tahap pertengahan konseling. Berdasarkan kejelasan trauma klien yang disepakati pada tahap awal, kegiatan selanjutnya adalah mengkonfrontasikan pada: (a) penjelajahan trauma yang dialami klien; (b) bantuan apa yang akan diberikan berdasarkan penilaian kembali apa-apa yang telah dijelajahi tentang trauma klien. 
  3. Tahap akhir konseling. Pada tahap ini, konseling ditandai dengan beberapa hal berikut ini: (a) menurunnya kecemasan klien yang diketahui setelah konselor menanyakan keadaan kecemasannya; (b) adanya perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat, dan dinamik; (c) adanya tujuan hidup yang jelas di masa yang akan datang dengan program yang jelasp pula; (d) terjadinya perubahan sikap yang positif terhadap masalah yang dialaminya, dapat mengoreksi diri dan meniadakan sikap yang suka menyalahkan dunia luar seperti orang tua, teman, dan keadaan yang tidak menguntungkan.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna Veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat.

0 komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Phone :

+62 812 6892 8954

Address :

Solok Regency, West Sumatera,
Indonesia

Email :

hayatulkhairul@gmail.com