Sejarah Bimbingan Karir di Dunia dan di Indonesia
A. Sejarah Bimbingan Karir di Dunia
Cikal bakal profesi konseling dari segi
penanganan terhadap masalah-masalah pendidikan dan vokasional diungkap berbagai
literatur, bahwa secara kelembagaan konseling mulai ada pada tahun 1896, yaitu
sejak Lightner Witmer membentuk sebuah klinik yang disebutnya sebagai Psychological Counseling Clinic di
University of Pennsylvania[1]. Witmer
menekankan pada studi dan treatment
kesukaran belajar pada anak-anak. Pada permulaan 1920-an, salah seorang
muridnya yang bernama Morris Viteles membuka klinik bimbingan vokasional dalam
lingkungan umum kliniknya. Kontribusi Viteles meliputi apa yang dikenal sebagai
pendekatan klinis dalam penilaian vokasional dan penggunaan metode psikografik
dalam analisis pekerjaan untuk menentukan syarat-syarat psikologis dari
okupasi-okupasi[2].
Dua tahun berikutnya, Jess B. Davis mulai bekerja
sebagai konselor pada Central High School
di Detroit. Davis bertindak sebagai konselor di lembaga pendidikan itu
bertujuan membantu siswa yang mengalami masalah-masalah pendidikan dan
vokasional. Pada tahun 1898, Jessie B. Davis mendirikan Educational Carreer Conna Control di Detroit. Banyak ahli yang
mengembangkan teori-teori psikologi dan konseling. Diantaranya yang termasuk
salah satunya turut mengembangkan teori-teori konseling adalah Eli Weaver[3]. Pada
tahun 1906, Eli Waever mempublikasikan sebuah pamflet yang berjudul Choosing a Career.
Berikut ini merupakan perkembangan bimbingan
karir di dunia pendidikan Amerika Serikat.
1. Era Perintisan: 1908-1913
Pada tahun 1908, Frank Pearson
menidirikan sebuah lembaga yang bernama Vocational
Bureau di Boston[4].
Lembaga ini didirikan untuk membantu pemuda dalam memilih, mempersiapkan dan
memasuki dunia kerja. Bersamaan dengan usahanya pada lembaga ini Pearson
sekaligus mengembangkan konsep bimbingan dan konseling vokasional yang dikenal
dengan istilah Vocational Guidance.
Pada awalnya penggunaan istilah Vocational
Guidance lebih merujuk pada usaha membantu individu dalam memilih dan
mempersiapkan suatu pekerjaan, termasuk di dalamnya berupaya mempersiapkan
kemampuan yang diperlukan untuk memasuki suatu pekerjaan. Berkat kerja kerasnya
ini, Pearson oleh sebagian kalangan disebut sebagai inovator konsep dan teknik
konseling vokasional.
Setahun kemudian yaitu pada
tahun 1909, Pearson menerbitkan sebuah buku yang berjudul Choosing a Vocation Guidance, baik di lingkungan sekolah maupun di
luar sekolah[5].
Buku ini merupakan buku pertama di Amerika Serikat untuk topik semacam ini
sekaligus dasar klasik untuk bidang studi konseling sendiri. Buku tersebut
terbagi menjadi tiga wilayah utama yaitu investigasi pribadi, investigasi
industri, dan investigasi organisasi dan bidang kerja[6]. Pearson
juga menjelaskan bahwa dalam memilih pekerjaan itu harus diperhatikan tiga
faktor terpenting, yaitu:
a.
Pengertian yang jelas tentang dirinya sendiri seperti bakat kemampuan,
minat, ambisi, keuntungan, dan hambatan yang dimiliki.
b.
Pengetahuan tentang persyaratan jabatan dan kondisi untuk keberhasilan,
keuntungan dan kerugian, kompensasi, kesempatan dan prospek dalam suatu
jabatan.
c.
Penalaran yang benar tentang hubungan dari kedua kelompok fakta tersebut
diatas[7].
Parsons menyarankan kalau untuk
memulai sebuah investigasi pribadi, klien pertama-tama harus mempelajari
dirinya sendiri secara ekstensif dan intensif dengan menjawab sejumlah
pertanyaan yang diajukan oleh seorang
konselor. Menurut Parsons pendekatan ini akan memberikan petunjuk dan gambaran
bagi konselor mengenai kelemahan yang dimiliki oleh klien itu sendiri.
Parsons juga menyarankan subyek
itu melihat dirinya persis sama seperti orang lain melihatnya, dan memberikan
klien rekomendasi tentang metode yang bisa digunakan untuk memperbaiki diri dan
meningkatkan potensi diri[8]. Parsons
juga menjelaskan kebutuhan vital untuk melatih dan melengkapi konselor
pekerjaan. Dimana dilakukan pelatihan yang diselesaikan dalam waktu singkat
supaya seorang konselor itu mengerti dan memahami berbagai latar belakang
pekerjaan dan kedewasaan dalam melaksanakan tugas ke depannya.
Pada tahun 1911, Vocational Guidance News Letter
diterbitkan oleh Vocation Bureau dan
disunting langsung oleh Frederick J. Allen yang merupakan Jurnal Amerika pertama
yang berkenaan dengan bimbingan vokasional, merupakan pendahulu dari Vocational Guidance Magazine, Occpations[9].
Pada tahun 1912, Hugo
Munstarberg menerbitkan Psychology and
Industrial Efficiency di Jerman yang merupakan suatu peristiwa penting dalam
penerapan metode psikologi eksperimen pada studi tentang pilihan vokasional dan
prestasi kerja. Edisi Amerika terbit pada tahun 1913 dan melanjutkan penelitian
tentang psikologi vokasional di Harvard
University[10].
Pada tahun 1913, fledgling guidance movement yang berarti
gerakan bimbingan anak muda yang berpengalaman dalam bekerja diwadahi dengan
organisasi yang bernama National
Vocational Guidance Association dengan menerbitkan jurnal pertamanya yang
dikenal dengan nama Vocational Guidance[11].
Enam puluh tahun kemudian ciri kegiatan yang sama dengan tersebut bermunculan
dengan dipertegas dengan nama career
education and guidance movement sehingga untuk membedakan dengan gerakan
sebelumnya yaitu vocational guidance.
2. Era Perang Dunia I: 1914-1934
Di perempatan pertama abad XX,
ada dua perkembangan signifikan lain dimana ilmu psikologi mempengaruhi dalam
gerakan bimbingan dan konseling di sekolah yaitu pengenalan dan pengembangan
tes psikologis yang diberikan secara kelompok dan gerakan kesehatan mental[12].
Pada tahun 1915, dibuka jurusan
psikologi terapan pada Carnegie Institute
of Technology dibawah pimpinan Walter V. Bingham yang melaksanakan latihan
dan penelitian dalam seleksi personel dan manajemen, prestasi okupasional,
keahlian berdagang, dan bimbingan vokasional.
Pada tahun 1918, James Burt
Miner mengembangkan kuisionr minat yang pertama kali dibuat di Carnegie Institute of Technology. Beberapa
tahun kemudian, Miner, Moore, Cowdery dan Max Freyd memberikan kontribusi
penting kepada penelitian Edward K. Strong Jr. sehingga menerbitkan Strong Vocational Interest Blank pada
tahun 1927.
Kemudian pada tahun 1920-an
beberapa SMA melihat keberhasilan gerakan bimbingan yang menggunakan tes
standar untuk bidang kerja yang cocok bagi mereka nantinya. Pada tahun 1925,
Harry D. Kitson seorang pionir dalam latihan konselor vokasional, mula-mula di Indiana University, kemudian berkembang
ke Teachers College dan Columbia University sehingga menerbitkan
buku yang berjudul The Psychology of
Vocational Adjustment dimana memandang bimbingan dan konseling karir itu
suatu bidang khusus yang harus diajarkan oleh para profesional terlatih dan
dilakukan juga oleh para profesional terlatih pula[13].
Bahkan muncul konsep magang
sejak dekade 1930-an yang kemudian secara antusias sekolah mengadopsi sistem
tersebut yang menjelaskan konseling itu sangat dibutuhkan. Pada masa ini
istilah konseling belum terlalu dikenal yang sama labelnya dengan bimbingan
yang memberikan bantuan tentang jenjang pendidikan dan pilihan karir mana yang
terbaik buat mereka per individu[14].
Pada tahun 1931, The Minnesota Employment Stabilization
Research Institute dibawah pimpinan
Dolald G. Paterson dan rekan-rekannya dari University
of Minnesota meneliti faktor psikologis dalam pekerjaan dan pengangguran
yang berkesimpulan pada prinsipnya teknik layanan bimbingan dan seleksi
karyawan harus lebih baik sehingga membantu menyehatkan dunia usaha dan membina
tenaga kerja agar lebih stabil lagi.
3. Era Perang Dunia II: 1935-1950
Meski di dekade 1930-an
masyarakat Amerika Serikat disibukkan dengan kebijakan mewaspadai perkembangan
militer Jerman dan potensi ancaman Hitler bagi perdamaian dunia, namun gerakan
bimbingan terus berkembang luas dengan membahas berbagai topik populer
sampai-sampai kampus juga mengadopsi sistem tersebut. Pada saat ini muncul
pendekatan baru dalam bimbingan yaitu penyampaian bimbingan berupa konseling
kelompok dengan tokoh seperti Carl Rogers yang menjelaskan adanya interaksi
yang lebih banyak dengan klien itu sendiri.
Pada tahun 1939, The Dictionary of Occupational Titles
Edisi pertama terbit dan menjadi rujukan para konselor vokasional dan karyawan
personel dalam pendidikan, industri, layanan sosial, dan rumah sakit.
Pada tahun 1942, Carl R. Rogers
menerbitkan buku Counseling and
Psychotherapy yang menjelaskan bahwa penerimaan diri (self acceptance) dan pemahaman diri (self understanding) sebagai tujuan dari bimbingan karir itu
sendiri. Menurut teori ini, konseling karir bukan bagi khusus tetapi sub
spesialisasi dalam psikoterapi yang membawa komunikasi yang lebih dekat dengan
psikologi dan bidang kekonselingan.
4. Era Perang Dingin: 1950-1980
Pada tahun 1951, Donald E.
Super meluncurkan The Career Patters
Study yang menjelaskan pembebasan bimbingan dan konseling karir dari konsep
pengambilan keputusan yang statik dan single
choiche at a point in time yang menempatkan studi perilaku karir dalam
konteks perkembangan manusia.
Pada masa ini dikenal dengan National Defense Education Act yaitu
September 1958 dimana merupakan satu tonggak penting dalam pendidikan di
Amerika karena monumen kesuksesan gerakan bimbingan demi memaksimalkan fungsi
pendidikan dan proses dalam bimbingan tersebut.
Di tahun 1960-an, terbit Statement
of Policy for Secondary School Counselors dari Asosiasi Konselor Sekolah
dimana tidak cukup memahami dinamika anak muda saja tetapi bagaimana semua
generasi dewasa berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan cepat teknologi dan
sistem dunia[15].
Pada tahun 1964, terbitlah
publikasi The National Vocational
Guidance Association yang berjudul Man
in a World at Work yang disunting oleh Henry Borow yang menggambarkan
dimulainya membangun kembali bimbingan dan konseling karir yang telah
ketinggalan jauh dari psikologi vokasional sejak tahun 1950-an. Pada tahun
1966, beberapa konselor karir yang berorientasi behavioral menggemborkan
katakan “revolusi dalam konseling”. Tokohnua Krumblotz mencoba teknik baru
dalam pengambilan keputusan karir, termasuk counselor
modelling, goal setting, dan reinforcement.
Pada tahun 1973, National Commission on The Reform of
Secondary Education menerbitkan laporan yang merekomendasikan pemfungsian
konselor SMP untuk memfokuskan bimbingan kepada arah penempatana pendidikan
sesuai dengan karir terbaik yang bisa atau ingin diraih nantinya. Pada masa ini
juga, muncul instrumen yang bernama Career
Maturity Invertory dan kemudian direvisi pada tahun 1978 sebagai suatu
model hierarkis dari kematangan karir yang didasarkan pada isi dan proses
pilihan karir yang sebelumnya.
5. Era Globalisasi: 1980-sekarang
Pada masa ini muncul berbagai permasalahan
sosial tertama terjadi perubahan dramatis yang signifikan di dunia kerja dimana
pasangan yang semuanya berkarir sudah tampak menjadi norma umum. Kemudian tahun
1986, sebuah laporan Keeping The Options
Open menjelaskan sepenuhnya program bimbingan dan konseling sekolah
penekanannya untuk menyediakan pendampingan karir. Di akhir tahun 1980-an
hingga awal tahun 1990-an, khususnya konseling karir dikembangkan ke arah baru.
Ini mencakup penjangkauan terhadap jasa bagi orang miskin, tunawisma, jasa penempatan
pekerja kelas menengah dan eksekutif senior.
Komputer dan teknologi juga
menyertai dan berpengaruh terhadap lembaga pendidikan di semua jenjang yang
dimulai sejak tahun 1990-an. Kemudian program konseling sekolah juga sudah
menggunakan website dan komputer untuk tujuan bimbingan karir, pengaksesan
informasi tempat kerja dan peluang-peluangnya. Bahkan juga membuka layanan
konseling online dan jarak jauh[16].
B. Sejarah Bimbingan Karir di Indonesia
Ditinjau dari segi historis perkembangan
bimbingan karir di Indonesia, sebenarnya tidak bisa terlepas dari perkembangan
ilmu bimbingan dan konseling. Sejarah pelayanan bimbingan sebagai usaha
profesional di Indonesia tidak sepanjang sejarah pelayanan bimbingan di Amerika
Serikat dimana pelayanan ini sejak awal dipusatkan di beraneka lembaga
pendidikan sekolah, terutama di jenjang pendidikan menengah[17].
Secara formal, pelayanan bimbingan mulai diintrodusir pada awal tahun 1960-an
dan mendapat dorongan dari berbagai faktor dalam kehidupan masyarakat.
Menurut uraian dalam buku karangan Andi Mappiare,
Pengantar Bimbingan dan Konseling di
Sekolah, dapat ditunjukkan dua gerakan dalam sistem pendidikan Nasional
yang mengandung benih-benih pelayanan bimbingan, yaitu asas-asas Perguruan
Nasional Taman Siswa di tahun 1922, yang menandakan dasar kebebasan bagi setiap
orang untuk mengatur dirinya sendiri serta keharusan peserta didik yang
berusaha atas kekuatannya sendiri, dan pandangan Mohammad Safii yang mendirikan
Sekolah Kerja pada tahun 1926, yang menandakan perlunya inisiatif perseorangan
dan rasa tanggung jawab serta kelayakan memberikan kesempatan kepada anak didik
untuk mengembangkan suatu keterampilan pekerjaan yang cocok baginya. Setelah
proklamasi kemerdekaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu mendirikan
Sekolah Guru Bawah, yang pimpinannya dipercayakan kepada Mohammad Safii. Disitu
para guru diilhami ideal mendampingi siswa di sekolah dalam mempersiapkan diri
untuk kelak memegang suatu pekerjaan. Dibuka juga Kantor Penempatan Kerja, yang
memberikan pelayanan kepada mereka yang mencari suatu pekerjaan.
Titik tolak perluasan pelayanan bimbingan sebagai
usaha terencana dan terorganisir yang meliputi bimbingan pendidikan dan bukan
hanya kebutuhan akan bimbingan jabatan disadari pertama kali oleh staf dosen di
Fakultas-Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan pejabat di lingkungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada akhir tahun 1950-an. Pada awal tahun
1960-an, setelah mereka menyaksikan sejenis program bimbingan di sejumlah
sekolah di Amerika Serikat, mulailah terdorong untuk melaksanakan kegiatan
sejenis program pelayanan bimbingan itu demi peningkatan mutu sekolah[18].
Kemudian, ide tentang pelayanan bimbingan di sekolah ini dicanangkan oleh para
ahli pendidikan dengan kemudian memikirkan cara-cara mengintegrasikan Bimbingan
dan Konseling dalam struktur berbagai lembaga pendidikan, terutama yang
terdapat pada jenjang pendidikan menengah. Misalnya, dalam Konferensi FKIP
seluruh Indonesia pada tahun 1960 di Malang, dibahas dasar-dasar pelaksanaan
usaha bimbingan di lingkungan sekolah sebagai penunjang pendidikan di
Indonesia. Disamping itu diputuskan bahwa kurikulum FKIP akan diperluas dengan
bidang studi Bimbingan dan Konseling.
Pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 1962
dikeluarkan intruksi-intruksi tentang perlunya pelayanan bimbingan di sekolah
menengah oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Instruksi itu berkaitan
dengan adanya perubahan sistem pendidikan di SMA, yang waktu itu dikenal dengan
nama “SMA Gaya Baru”. Sejak saat itu penjurusan di SMA tidak lagi dilaksanakan
di kelas I, melainkan mulai kelas II. Dengan perubahan inilah dirasakan adanya
kebutuhan untuk menyalurkan para siswa ke arah jurusan yang tepat bagi dirinya
secara perorangan, sehingga kebutuhan bimbingan karir itu mendesak[19]. Dimana
pelayanan bimbingan diharapkan bermanfaat bagi siswa yang harus memilih di
antara jurusan Ilmu Pasti, Ilmu Alam, Ilmu Sosial atau Ilmu Budaya. Sementara
itu, pelaksanaan bimbingan di SMA masih mengalami banyak hambatan, yang
bersumber pada kurang pahamnya banyak kepala sekolah serta para guru tentang
fungsi dari pelayanan bimbingan di sekolah, dan kurangnya akan persediaan
tenaga bimbingan di sekolah yang sungguh-sungguh ahli. Kekurangan akan
tenaga-tenanga ahli dengan lambat laun dapat teratasi dengan dibukanya jurusan
Bimbingan dan Konseling pada FIP di beberapa IKIP pada awal tahun 1970-an[20].
Namun walau sudah ada tenaga ahli tetapi masih mengalami hambatan dimana masih
belum merupakan tradisi sehingga dianggap sebagai sesuatu yang serba asing oleh
para guru, kepala sekolah, dan para siswa. Hal ini menyebabkan terjadi kesalah
pahaman antara pihak guru dan siswa, keragu-raguan dan salah tingkah dari pihak
tenaga bimbingan, serta kepincangan dalam aneka tugas yang dipercayakan kepada
tenaga pembimbing sehingga pelaksanaan pelayanan bimbingan kurang menentukan
dalam hal penentuan jurusan tersebut.
Selama periode tahun 1970-an mulai dilaksanakan 8
Proyek Perintis Sekolah Pembangunan dan Kurikulum 1975 untuk SMP dan SMA serta
Kurikulum 1976 untuk SPG. Dalam acuan kurikulum untuk beraneka sekolah
pendidikan menengah itu ditunjukkan dampak positif dari pelayanan bimbingan,
yang bertujuan agar siswa dapat mengembangkan diri, mengembangkan pengetahuan
tentang dunia kerja serta tanggung jawab dalam memilih lapangan kerja tertentu,
serta mewujudkan penghargaan tentang kepentingan dan harga diri orang lain.
Misalnya, dalam kurikulum SMP/ SMA 1975 terdapat buku Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan. Buku pedoman ini sampai hampir 20
tahun menjadi pegangan bagi tenaga-tenaga bimbingan. Sementara itu Badan
Pengembangan Pendidikan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menyelenggarakan
beberapa lokakarya bimbingan. Di pihak lembaga pendidikan guru pada jenjang
perguruan tinggi juga diselenggarakan lokakarya dan pertemuan konvensi yang
bertaraf nasional, untuk memantapkan dasar-dasar pelayanan bimbingan di sekolah
dan menyusun satuan acuan operasional bagi pelaksanaan di lapangan. Misalkan
mengadakan Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang pada tahun 1975 yang
mendirikan Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) dan menghasilkan suatu
Kode Etik Jabatan bagi Konselor Sekolah. Sementara itu, sejumlah tenaga
pendidikan konselor sekolah di FIP IKIP menggabungkan diri pada The Association of Psychological and
Educational Counselors of Asia (APECA) di Manila pada tahun 1976, dan sejak
saat itu menyenggarakan konferensi-seminar yang bertaraf internasional setiap
dua tahun sekali.
Pada tahun 1981 dikukuhkan Kurikulum Inti Program
Studi Bimbingan dan Konseling pada Strata I dan D3. Selain itu, sejumlah
perguruan tinggi sudah membuka biro konsultasi atau pusat bimbingan di kampus
unyuk menampung mahasiswa-mahasiswi yang membutuhkan bantuan psikologis dalam
menghadapi berbagai tantangan hidup dewasa ini.
Mulai dasawarsa 1980-an terbitan buku-buku yang
membahas pelayanan bimbingan pada institusi atau lembaga pendidikan bertambah
banyak. Selain itu, terbitlah pedoman-pedoman dari berbagai instansi pengelola
pendidikan yang merupakan pembaharuan dan perluasan terhadap pedoman terdahulu,
misalnya Pedoman Pendidikan Guru oleh
Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis pada tahun 1981, dan Kurikulum: Pedoman Bimbingan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, pada tahun 1986.
Kalau di tahun-tahun sebelumnya pelayanan
bimbingan terutama terfokus pada beraneka kesulitan yang dialami oleh siswa
selama belajar di SMA, sekarang ini fokus diarahkan ke masa sesudah pendidikan
di SMA selesai, sehingga pelayanan bimbingan lebih bermakna sebagai penunjang
pada persiapan siswa-siswi bagi masa depannya (studi di perguruan tinggi dan
kemudian membangun suatu karir di masyarakat)[21].
Pergesaran fokus ini nampaknya dalam perumusan tentang tujuan bimbingan karir,
yaitu agar membantu siswa dalam memahami diri sendiri, dalam memahami
lingkungan hidupnya, dan dalam mengembangkan rencana masa depannya. Kelima buku
paket Bimbingan Karir di SMA yang sudah terbit pada tahun 1982, menampakkan
fokus yang sama dengan hal tersebut. Artinya pada pemberlakuan Kurikulum 1984
ini, bimbingan dan konseling berwujud dalam bentuk bimbingan karir[22].
Akhir dasawarsa 1980-an menyaksikan lahirkan
UUSPN No. 21 Tahun 1989 yang menyebutkan bahwa Pendidikan Dasar bagi jenjang
pendidikan yang berlangsung selama enam tahun di SD dan tiga tahun di SMP[23].
Kemudian disusul dengan terbitnya PP Nomor 28 Tahun 1990. Dalam UUSPN No. 21
Tahun 1989 disebutkan bahwa usaha pelayanan bimbingan terpusat pada pemberian
bantuan kepada siswa-siswi agar mencapai perkembangan secara optimal yang
terutama berkaitan dengan tugas perkembangan karir yaitu membentuk jati diri
dalam pengembangan karir dan merencanakan karir di masa depan. Sementara itu,
juga ada pembakuan Kurikulum Taman Kanak-Kanak tahun 1976 setelah pembakuan
Kurikulum Sekolah Dasar pada tahun 1975 dengan mengembangkan pelayanan
bimbingan di jenjang pendidikan tersebut.
Sejak diberlakukannya Kurikulum 1994, sebutan
untuk guru BP berubah menjadi Guru Pembimbing yang diperkuat dengan Surat
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 025/0/1995. Perundang-undangan
semakin memperkuat posisi bimbingan dan konseling dengan dikeluarkan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
menjelaskan konselor itu adalah pendidik artinya bimbingan dan konseling
merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari pendidikan.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 menetapkan
layanan bimbingan dan konseling sebagai suatu pengembangan diri yang didalamnya
terdapat kompetensi peserta didik yang harus dikembangkan untuk mewujudkan self actualization dan capacity development[24].
Setelah itu, pada tahun 2014, terbitlah dua Permendikbud yang mengokohkan
posisi bimbingan dan konseling khususnya bimbingan karir yaitu Permendikbud
Nomor 64 Tahun 2014 tentang Peminatan dan Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014
tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Kedua
peraturan tersebut untuk menyukseskan pelaksanaan Kurikulum 2013. Di dalam
peraturan itu dijelaskan bahwa peran utama seorang konselor itu adalah
memberikan rekomendasi pada peserta didik untuk memilih tiga mata pelajaran
dari empat mata pelajaran yang tersedia pada masing-masing kelompok peminatan.
Selain itu, konselor bertugas memberikan rekomendasi kepada peserta didik yang
menginginkan perpindahan kelompok peminatan akademik serta memberikan
rekomendasi bagi peserta didik yang akan melanjutkan ke SMA atau SMK, dan untuk
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu ke perguruan tinggi[25].
[2] Mohammad
Thayeb Manrihu, Pengantar Bimbingan dan
Konseling Karier, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 3
[6] Robert L.
Gibson dan Marrianne H. Mitchell, Bimbingan
dan Konseling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 8
[7] Cinde Arum
Asmarani, dkk., Sejarah Bimbingan Karir [Makalah],
(Magelang: Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pengetahuan Universitas Muhammadiyah Magelang, 2014), hal. 4
[8] Prayitno dan
Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan
Konseling, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), hal. 110
[9] Mohammad
Thayeb Manrihu, Pengantar Bimbingan dan
Konseling Karier, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 3
[11] Robert L.
Gibson dan Marrianne H. Mitchell, Bimbingan
dan Konseling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 11
[13] Mohammad
Thayeb Manrihu, Pengantar Bimbingan dan
Konseling Karier, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 5
[14] Robert L.
Gibson dan Marrianne H. Mitchell, Bimbingan
dan Konseling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 14
[15] Robert L.
Gibson dan Marrianne H. Mitchell, Bimbingan
dan Konseling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 19
[16] Robert L.
Gibson dan Marrianne H. Mitchell, Bimbingan
dan Konseling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 23-24
[17] W.S. Winkel,
Bimbingan dan Konseling di Institusi
Pendidikan, (Yogyakarta: PT Grasindo, 1997), hal. 86-87
[18] W.S. Winkel,
Bimbingan dan Konseling di Institusi
Pendidikan, (Yogyakarta: PT Grasindo, 1997), hal. 87
[20] W.S. Winkel,
Bimbingan dan Konseling di Institusi
Pendidikan, (Yogyakarta: PT Grasindo, 1997), hal. 88-89
[21] W.S. Winkel,
Bimbingan dan Konseling di Institusi
Pendidikan, (Yogyakarta: PT Grasindo, 1997), hal. 89-90
[22] Mochamad
Nursalim, Pengembangan Profesi Bimbingan
dan Konseling, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2015), hal. 45
[23] W.S. Winkel,
Bimbingan dan Konseling di Institusi
Pendidikan, (Yogyakarta: PT Grasindo, 1997), hal. 92-93
[24] Mochamad
Nursalim, Pengembangan Profesi Bimbingan
dan Konseling, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2015), hal. 46
[25] Mochamad
Nursalim, Pengembangan Profesi Bimbingan
dan Konseling, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2015), hal. 46-47
Komentar
Posting Komentar