Sejarah Bimbingan Karir di Dunia dan di Indonesia




http://rajamainan.co.id/img/cms/92karir.jpg

A.    Sejarah Bimbingan Karir di Dunia
Cikal bakal profesi konseling dari segi penanganan terhadap masalah-masalah pendidikan dan vokasional diungkap berbagai literatur, bahwa secara kelembagaan konseling mulai ada pada tahun 1896, yaitu sejak Lightner Witmer membentuk sebuah klinik yang disebutnya sebagai Psychological Counseling Clinic di University of Pennsylvania[1]. Witmer menekankan pada studi dan treatment kesukaran belajar pada anak-anak. Pada permulaan 1920-an, salah seorang muridnya yang bernama Morris Viteles membuka klinik bimbingan vokasional dalam lingkungan umum kliniknya. Kontribusi Viteles meliputi apa yang dikenal sebagai pendekatan klinis dalam penilaian vokasional dan penggunaan metode psikografik dalam analisis pekerjaan untuk menentukan syarat-syarat psikologis dari okupasi-okupasi[2].
Dua tahun berikutnya, Jess B. Davis mulai bekerja sebagai konselor pada Central High School di Detroit. Davis bertindak sebagai konselor di lembaga pendidikan itu bertujuan membantu siswa yang mengalami masalah-masalah pendidikan dan vokasional. Pada tahun 1898, Jessie B. Davis mendirikan Educational Carreer Conna Control di Detroit. Banyak ahli yang mengembangkan teori-teori psikologi dan konseling. Diantaranya yang termasuk salah satunya turut mengembangkan teori-teori konseling adalah Eli Weaver[3]. Pada tahun 1906, Eli Waever mempublikasikan sebuah pamflet yang berjudul Choosing a Career.  

Berikut ini merupakan perkembangan bimbingan karir di dunia pendidikan Amerika Serikat.
1.      Era Perintisan: 1908-1913
Pada tahun 1908, Frank Pearson menidirikan sebuah lembaga yang bernama Vocational Bureau di Boston[4]. Lembaga ini didirikan untuk membantu pemuda dalam memilih, mempersiapkan dan memasuki dunia kerja. Bersamaan dengan usahanya pada lembaga ini Pearson sekaligus mengembangkan konsep bimbingan dan konseling vokasional yang dikenal dengan istilah Vocational Guidance. Pada awalnya penggunaan istilah Vocational Guidance lebih merujuk pada usaha membantu individu dalam memilih dan mempersiapkan suatu pekerjaan, termasuk di dalamnya berupaya mempersiapkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki suatu pekerjaan. Berkat kerja kerasnya ini, Pearson oleh sebagian kalangan disebut sebagai inovator konsep dan teknik konseling vokasional.
Setahun kemudian yaitu pada tahun 1909, Pearson menerbitkan sebuah buku yang berjudul Choosing a Vocation Guidance, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah[5]. Buku ini merupakan buku pertama di Amerika Serikat untuk topik semacam ini sekaligus dasar klasik untuk bidang studi konseling sendiri. Buku tersebut terbagi menjadi tiga wilayah utama yaitu investigasi pribadi, investigasi industri, dan investigasi organisasi dan bidang kerja[6]. Pearson juga menjelaskan bahwa dalam memilih pekerjaan itu harus diperhatikan tiga faktor terpenting, yaitu:
a.       Pengertian yang jelas tentang dirinya sendiri seperti bakat kemampuan, minat, ambisi, keuntungan, dan hambatan yang dimiliki.
b.      Pengetahuan tentang persyaratan jabatan dan kondisi untuk keberhasilan, keuntungan dan kerugian, kompensasi, kesempatan dan prospek dalam suatu jabatan.
c.       Penalaran yang benar tentang hubungan dari kedua kelompok fakta tersebut diatas[7].
Parsons menyarankan kalau untuk memulai sebuah investigasi pribadi, klien pertama-tama harus mempelajari dirinya sendiri secara ekstensif dan intensif dengan menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh  seorang konselor. Menurut Parsons pendekatan ini akan memberikan petunjuk dan gambaran bagi konselor mengenai kelemahan yang dimiliki oleh klien itu sendiri.
Parsons juga menyarankan subyek itu melihat dirinya persis sama seperti orang lain melihatnya, dan memberikan klien rekomendasi tentang metode yang bisa digunakan untuk memperbaiki diri dan meningkatkan potensi diri[8]. Parsons juga menjelaskan kebutuhan vital untuk melatih dan melengkapi konselor pekerjaan. Dimana dilakukan pelatihan yang diselesaikan dalam waktu singkat supaya seorang konselor itu mengerti dan memahami berbagai latar belakang pekerjaan dan kedewasaan dalam melaksanakan tugas ke depannya.
Pada tahun 1911, Vocational Guidance News Letter diterbitkan oleh Vocation Bureau dan disunting langsung oleh Frederick J. Allen yang merupakan Jurnal Amerika pertama yang berkenaan dengan bimbingan vokasional, merupakan pendahulu dari Vocational Guidance Magazine, Occpations[9].
Pada tahun 1912, Hugo Munstarberg menerbitkan Psychology and Industrial Efficiency di Jerman yang merupakan suatu peristiwa penting dalam penerapan metode psikologi eksperimen pada studi tentang pilihan vokasional dan prestasi kerja. Edisi Amerika terbit pada tahun 1913 dan melanjutkan penelitian tentang psikologi vokasional di Harvard University[10].
Pada tahun 1913, fledgling guidance movement yang berarti gerakan bimbingan anak muda yang berpengalaman dalam bekerja diwadahi dengan organisasi yang bernama National Vocational Guidance Association dengan menerbitkan jurnal pertamanya yang dikenal dengan nama Vocational Guidance[11]. Enam puluh tahun kemudian ciri kegiatan yang sama dengan tersebut bermunculan dengan dipertegas dengan nama career education and guidance movement sehingga untuk membedakan dengan gerakan sebelumnya yaitu vocational guidance.

2.      Era Perang Dunia I: 1914-1934
Di perempatan pertama abad XX, ada dua perkembangan signifikan lain dimana ilmu psikologi mempengaruhi dalam gerakan bimbingan dan konseling di sekolah yaitu pengenalan dan pengembangan tes psikologis yang diberikan secara kelompok dan gerakan kesehatan mental[12].
Pada tahun 1915, dibuka jurusan psikologi terapan pada Carnegie Institute of Technology dibawah pimpinan Walter V. Bingham yang melaksanakan latihan dan penelitian dalam seleksi personel dan manajemen, prestasi okupasional, keahlian berdagang, dan bimbingan vokasional.
Pada tahun 1918, James Burt Miner mengembangkan kuisionr minat yang pertama kali dibuat di Carnegie Institute of Technology. Beberapa tahun kemudian, Miner, Moore, Cowdery dan Max Freyd memberikan kontribusi penting kepada penelitian Edward K. Strong Jr. sehingga menerbitkan Strong Vocational Interest Blank pada tahun 1927.
Kemudian pada tahun 1920-an beberapa SMA melihat keberhasilan gerakan bimbingan yang menggunakan tes standar untuk bidang kerja yang cocok bagi mereka nantinya. Pada tahun 1925, Harry D. Kitson seorang pionir dalam latihan konselor vokasional, mula-mula di Indiana University, kemudian berkembang ke Teachers College dan Columbia University sehingga menerbitkan buku yang berjudul The Psychology of Vocational Adjustment dimana memandang bimbingan dan konseling karir itu suatu bidang khusus yang harus diajarkan oleh para profesional terlatih dan dilakukan juga oleh para profesional terlatih pula[13].
Bahkan muncul konsep magang sejak dekade 1930-an yang kemudian secara antusias sekolah mengadopsi sistem tersebut yang menjelaskan konseling itu sangat dibutuhkan. Pada masa ini istilah konseling belum terlalu dikenal yang sama labelnya dengan bimbingan yang memberikan bantuan tentang jenjang pendidikan dan pilihan karir mana yang terbaik buat mereka per individu[14].
Pada tahun 1931, The Minnesota Employment Stabilization Research Institute  dibawah pimpinan Dolald G. Paterson dan rekan-rekannya dari University of Minnesota meneliti faktor psikologis dalam pekerjaan dan pengangguran yang berkesimpulan pada prinsipnya teknik layanan bimbingan dan seleksi karyawan harus lebih baik sehingga membantu menyehatkan dunia usaha dan membina tenaga kerja agar lebih stabil lagi.

3.      Era Perang Dunia II: 1935-1950
Meski di dekade 1930-an masyarakat Amerika Serikat disibukkan dengan kebijakan mewaspadai perkembangan militer Jerman dan potensi ancaman Hitler bagi perdamaian dunia, namun gerakan bimbingan terus berkembang luas dengan membahas berbagai topik populer sampai-sampai kampus juga mengadopsi sistem tersebut. Pada saat ini muncul pendekatan baru dalam bimbingan yaitu penyampaian bimbingan berupa konseling kelompok dengan tokoh seperti Carl Rogers yang menjelaskan adanya interaksi yang lebih banyak dengan klien itu sendiri.
Pada tahun 1939, The Dictionary of Occupational Titles Edisi pertama terbit dan menjadi rujukan para konselor vokasional dan karyawan personel dalam pendidikan, industri, layanan sosial, dan rumah sakit.
Pada tahun 1942, Carl R. Rogers menerbitkan buku Counseling and Psychotherapy yang menjelaskan bahwa penerimaan diri (self acceptance) dan pemahaman diri (self understanding) sebagai tujuan dari bimbingan karir itu sendiri. Menurut teori ini, konseling karir bukan bagi khusus tetapi sub spesialisasi dalam psikoterapi yang membawa komunikasi yang lebih dekat dengan psikologi dan bidang kekonselingan.

4.      Era Perang Dingin: 1950-1980
Pada tahun 1951, Donald E. Super meluncurkan The Career Patters Study yang menjelaskan pembebasan bimbingan dan konseling karir dari konsep pengambilan keputusan yang statik dan single choiche at a point in time yang menempatkan studi perilaku karir dalam konteks perkembangan manusia.
Pada masa ini dikenal dengan National Defense Education Act yaitu September 1958 dimana merupakan satu tonggak penting dalam pendidikan di Amerika karena monumen kesuksesan gerakan bimbingan demi memaksimalkan fungsi pendidikan dan proses dalam bimbingan tersebut.  Di tahun 1960-an, terbit Statement of Policy for Secondary School Counselors dari Asosiasi Konselor Sekolah dimana tidak cukup memahami dinamika anak muda saja tetapi bagaimana semua generasi dewasa berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan cepat teknologi dan sistem dunia[15].
Pada tahun 1964, terbitlah publikasi The National Vocational Guidance Association yang berjudul Man in a World at Work yang disunting oleh Henry Borow yang menggambarkan dimulainya membangun kembali bimbingan dan konseling karir yang telah ketinggalan jauh dari psikologi vokasional sejak tahun 1950-an. Pada tahun 1966, beberapa konselor karir yang berorientasi behavioral menggemborkan katakan “revolusi dalam konseling”. Tokohnua Krumblotz mencoba teknik baru dalam pengambilan keputusan karir, termasuk counselor modelling, goal setting, dan reinforcement.
Pada tahun 1973, National Commission on The Reform of Secondary Education menerbitkan laporan yang merekomendasikan pemfungsian konselor SMP untuk memfokuskan bimbingan kepada arah penempatana pendidikan sesuai dengan karir terbaik yang bisa atau ingin diraih nantinya. Pada masa ini juga, muncul instrumen yang bernama Career Maturity Invertory dan kemudian direvisi pada tahun 1978 sebagai suatu model hierarkis dari kematangan karir yang didasarkan pada isi dan proses pilihan karir yang sebelumnya.

5.      Era Globalisasi: 1980-sekarang
Pada masa ini muncul berbagai permasalahan sosial tertama terjadi perubahan dramatis yang signifikan di dunia kerja dimana pasangan yang semuanya berkarir sudah tampak menjadi norma umum. Kemudian tahun 1986, sebuah laporan Keeping The Options Open menjelaskan sepenuhnya program bimbingan dan konseling sekolah penekanannya untuk menyediakan pendampingan karir. Di akhir tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an, khususnya konseling karir dikembangkan ke arah baru. Ini mencakup penjangkauan terhadap jasa bagi orang miskin, tunawisma, jasa penempatan pekerja kelas menengah dan eksekutif senior.
Komputer dan teknologi juga menyertai dan berpengaruh terhadap lembaga pendidikan di semua jenjang yang dimulai sejak tahun 1990-an. Kemudian program konseling sekolah juga sudah menggunakan website dan komputer untuk tujuan bimbingan karir, pengaksesan informasi tempat kerja dan peluang-peluangnya. Bahkan juga membuka layanan konseling online dan jarak jauh[16].

B.     Sejarah Bimbingan Karir di Indonesia
Ditinjau dari segi historis perkembangan bimbingan karir di Indonesia, sebenarnya tidak bisa terlepas dari perkembangan ilmu bimbingan dan konseling. Sejarah pelayanan bimbingan sebagai usaha profesional di Indonesia tidak sepanjang sejarah pelayanan bimbingan di Amerika Serikat dimana pelayanan ini sejak awal dipusatkan di beraneka lembaga pendidikan sekolah, terutama di jenjang pendidikan menengah[17]. Secara formal, pelayanan bimbingan mulai diintrodusir pada awal tahun 1960-an dan mendapat dorongan dari berbagai faktor dalam kehidupan masyarakat.
Menurut uraian dalam buku karangan Andi Mappiare, Pengantar Bimbingan dan Konseling di Sekolah, dapat ditunjukkan dua gerakan dalam sistem pendidikan Nasional yang mengandung benih-benih pelayanan bimbingan, yaitu asas-asas Perguruan Nasional Taman Siswa di tahun 1922, yang menandakan dasar kebebasan bagi setiap orang untuk mengatur dirinya sendiri serta keharusan peserta didik yang berusaha atas kekuatannya sendiri, dan pandangan Mohammad Safii yang mendirikan Sekolah Kerja pada tahun 1926, yang menandakan perlunya inisiatif perseorangan dan rasa tanggung jawab serta kelayakan memberikan kesempatan kepada anak didik untuk mengembangkan suatu keterampilan pekerjaan yang cocok baginya. Setelah proklamasi kemerdekaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu mendirikan Sekolah Guru Bawah, yang pimpinannya dipercayakan kepada Mohammad Safii. Disitu para guru diilhami ideal mendampingi siswa di sekolah dalam mempersiapkan diri untuk kelak memegang suatu pekerjaan. Dibuka juga Kantor Penempatan Kerja, yang memberikan pelayanan kepada mereka yang mencari suatu pekerjaan.
Titik tolak perluasan pelayanan bimbingan sebagai usaha terencana dan terorganisir yang meliputi bimbingan pendidikan dan bukan hanya kebutuhan akan bimbingan jabatan disadari pertama kali oleh staf dosen di Fakultas-Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan pejabat di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada akhir tahun 1950-an. Pada awal tahun 1960-an, setelah mereka menyaksikan sejenis program bimbingan di sejumlah sekolah di Amerika Serikat, mulailah terdorong untuk melaksanakan kegiatan sejenis program pelayanan bimbingan itu demi peningkatan mutu sekolah[18]. Kemudian, ide tentang pelayanan bimbingan di sekolah ini dicanangkan oleh para ahli pendidikan dengan kemudian memikirkan cara-cara mengintegrasikan Bimbingan dan Konseling dalam struktur berbagai lembaga pendidikan, terutama yang terdapat pada jenjang pendidikan menengah. Misalnya, dalam Konferensi FKIP seluruh Indonesia pada tahun 1960 di Malang, dibahas dasar-dasar pelaksanaan usaha bimbingan di lingkungan sekolah sebagai penunjang pendidikan di Indonesia. Disamping itu diputuskan bahwa kurikulum FKIP akan diperluas dengan bidang studi Bimbingan dan Konseling.
Pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 1962 dikeluarkan intruksi-intruksi tentang perlunya pelayanan bimbingan di sekolah menengah oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Instruksi itu berkaitan dengan adanya perubahan sistem pendidikan di SMA, yang waktu itu dikenal dengan nama “SMA Gaya Baru”. Sejak saat itu penjurusan di SMA tidak lagi dilaksanakan di kelas I, melainkan mulai kelas II. Dengan perubahan inilah dirasakan adanya kebutuhan untuk menyalurkan para siswa ke arah jurusan yang tepat bagi dirinya secara perorangan, sehingga kebutuhan bimbingan karir itu mendesak[19]. Dimana pelayanan bimbingan diharapkan bermanfaat bagi siswa yang harus memilih di antara jurusan Ilmu Pasti, Ilmu Alam, Ilmu Sosial atau Ilmu Budaya. Sementara itu, pelaksanaan bimbingan di SMA masih mengalami banyak hambatan, yang bersumber pada kurang pahamnya banyak kepala sekolah serta para guru tentang fungsi dari pelayanan bimbingan di sekolah, dan kurangnya akan persediaan tenaga bimbingan di sekolah yang sungguh-sungguh ahli. Kekurangan akan tenaga-tenanga ahli dengan lambat laun dapat teratasi dengan dibukanya jurusan Bimbingan dan Konseling pada FIP di beberapa IKIP pada awal tahun 1970-an[20]. Namun walau sudah ada tenaga ahli tetapi masih mengalami hambatan dimana masih belum merupakan tradisi sehingga dianggap sebagai sesuatu yang serba asing oleh para guru, kepala sekolah, dan para siswa. Hal ini menyebabkan terjadi kesalah pahaman antara pihak guru dan siswa, keragu-raguan dan salah tingkah dari pihak tenaga bimbingan, serta kepincangan dalam aneka tugas yang dipercayakan kepada tenaga pembimbing sehingga pelaksanaan pelayanan bimbingan kurang menentukan dalam hal penentuan jurusan tersebut.
Selama periode tahun 1970-an mulai dilaksanakan 8 Proyek Perintis Sekolah Pembangunan dan Kurikulum 1975 untuk SMP dan SMA serta Kurikulum 1976 untuk SPG. Dalam acuan kurikulum untuk beraneka sekolah pendidikan menengah itu ditunjukkan dampak positif dari pelayanan bimbingan, yang bertujuan agar siswa dapat mengembangkan diri, mengembangkan pengetahuan tentang dunia kerja serta tanggung jawab dalam memilih lapangan kerja tertentu, serta mewujudkan penghargaan tentang kepentingan dan harga diri orang lain. Misalnya, dalam kurikulum SMP/ SMA 1975 terdapat buku Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan. Buku pedoman ini sampai hampir 20 tahun menjadi pegangan bagi tenaga-tenaga bimbingan. Sementara itu Badan Pengembangan Pendidikan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menyelenggarakan beberapa lokakarya bimbingan. Di pihak lembaga pendidikan guru pada jenjang perguruan tinggi juga diselenggarakan lokakarya dan pertemuan konvensi yang bertaraf nasional, untuk memantapkan dasar-dasar pelayanan bimbingan di sekolah dan menyusun satuan acuan operasional bagi pelaksanaan di lapangan. Misalkan mengadakan Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang pada tahun 1975 yang mendirikan Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) dan menghasilkan suatu Kode Etik Jabatan bagi Konselor Sekolah. Sementara itu, sejumlah tenaga pendidikan konselor sekolah di FIP IKIP menggabungkan diri pada The Association of Psychological and Educational Counselors of Asia (APECA) di Manila pada tahun 1976, dan sejak saat itu menyenggarakan konferensi-seminar yang bertaraf internasional setiap dua tahun sekali.
Pada tahun 1981 dikukuhkan Kurikulum Inti Program Studi Bimbingan dan Konseling pada Strata I dan D3. Selain itu, sejumlah perguruan tinggi sudah membuka biro konsultasi atau pusat bimbingan di kampus unyuk menampung mahasiswa-mahasiswi yang membutuhkan bantuan psikologis dalam menghadapi berbagai tantangan hidup dewasa ini.
Mulai dasawarsa 1980-an terbitan buku-buku yang membahas pelayanan bimbingan pada institusi atau lembaga pendidikan bertambah banyak. Selain itu, terbitlah pedoman-pedoman dari berbagai instansi pengelola pendidikan yang merupakan pembaharuan dan perluasan terhadap pedoman terdahulu, misalnya Pedoman Pendidikan Guru oleh Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis pada tahun 1981, dan Kurikulum: Pedoman Bimbingan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 1986.
Kalau di tahun-tahun sebelumnya pelayanan bimbingan terutama terfokus pada beraneka kesulitan yang dialami oleh siswa selama belajar di SMA, sekarang ini fokus diarahkan ke masa sesudah pendidikan di SMA selesai, sehingga pelayanan bimbingan lebih bermakna sebagai penunjang pada persiapan siswa-siswi bagi masa depannya (studi di perguruan tinggi dan kemudian membangun suatu karir di masyarakat)[21]. Pergesaran fokus ini nampaknya dalam perumusan tentang tujuan bimbingan karir, yaitu agar membantu siswa dalam memahami diri sendiri, dalam memahami lingkungan hidupnya, dan dalam mengembangkan rencana masa depannya. Kelima buku paket Bimbingan Karir di SMA yang sudah terbit pada tahun 1982, menampakkan fokus yang sama dengan hal tersebut. Artinya pada pemberlakuan Kurikulum 1984 ini, bimbingan dan konseling berwujud dalam bentuk bimbingan karir[22].
Akhir dasawarsa 1980-an menyaksikan lahirkan UUSPN No. 21 Tahun 1989 yang menyebutkan bahwa Pendidikan Dasar bagi jenjang pendidikan yang berlangsung selama enam tahun di SD dan tiga tahun di SMP[23]. Kemudian disusul dengan terbitnya PP Nomor 28 Tahun 1990. Dalam UUSPN No. 21 Tahun 1989 disebutkan bahwa usaha pelayanan bimbingan terpusat pada pemberian bantuan kepada siswa-siswi agar mencapai perkembangan secara optimal yang terutama berkaitan dengan tugas perkembangan karir yaitu membentuk jati diri dalam pengembangan karir dan merencanakan karir di masa depan. Sementara itu, juga ada pembakuan Kurikulum Taman Kanak-Kanak tahun 1976 setelah pembakuan Kurikulum Sekolah Dasar pada tahun 1975 dengan mengembangkan pelayanan bimbingan di jenjang pendidikan tersebut.
Sejak diberlakukannya Kurikulum 1994, sebutan untuk guru BP berubah menjadi Guru Pembimbing yang diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 025/0/1995. Perundang-undangan semakin memperkuat posisi bimbingan dan konseling dengan dikeluarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan konselor itu adalah pendidik artinya bimbingan dan konseling merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari pendidikan.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 menetapkan layanan bimbingan dan konseling sebagai suatu pengembangan diri yang didalamnya terdapat kompetensi peserta didik yang harus dikembangkan untuk mewujudkan self actualization dan capacity development[24]. Setelah itu, pada tahun 2014, terbitlah dua Permendikbud yang mengokohkan posisi bimbingan dan konseling khususnya bimbingan karir yaitu Permendikbud Nomor 64 Tahun 2014 tentang Peminatan dan Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Kedua peraturan tersebut untuk menyukseskan pelaksanaan Kurikulum 2013. Di dalam peraturan itu dijelaskan bahwa peran utama seorang konselor itu adalah memberikan rekomendasi pada peserta didik untuk memilih tiga mata pelajaran dari empat mata pelajaran yang tersedia pada masing-masing kelompok peminatan. Selain itu, konselor bertugas memberikan rekomendasi kepada peserta didik yang menginginkan perpindahan kelompok peminatan akademik serta memberikan rekomendasi bagi peserta didik yang akan melanjutkan ke SMA atau SMK, dan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu ke perguruan tinggi[25].


[1] Latipun, Psikologi Konseling Edisi IV, (Malang: UMM Press, 2015), hal.17-18
[2] Mohammad Thayeb Manrihu, Pengantar Bimbingan dan Konseling Karier, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 3
[3] Latipun, Psikologi Konseling Edisi IV, (Malang: UMM Press, 2015), hal.18
[4] Latipun, Psikologi Konseling Edisi IV, (Malang: UMM Press, 2015), hal. 19
[5] Samsul Munir Amin, Bimbingan dan Konseling Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), hal. 31
[6] Robert L. Gibson dan Marrianne H. Mitchell, Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 8
[7] Cinde Arum Asmarani, dkk., Sejarah Bimbingan Karir [Makalah], (Magelang: Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Universitas Muhammadiyah Magelang, 2014), hal. 4
[8] Prayitno dan Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), hal. 110
[9] Mohammad Thayeb Manrihu, Pengantar Bimbingan dan Konseling Karier, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 3
[10] Ibid., hal. 4
[11] Robert L. Gibson dan Marrianne H. Mitchell, Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 11
[12] Ibid.,  hal. 12
[13] Mohammad Thayeb Manrihu, Pengantar Bimbingan dan Konseling Karier, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 5
[14] Robert L. Gibson dan Marrianne H. Mitchell, Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 14
[15] Robert L. Gibson dan Marrianne H. Mitchell, Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 19
[16] Robert L. Gibson dan Marrianne H. Mitchell, Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 23-24
[17] W.S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, (Yogyakarta: PT Grasindo, 1997), hal. 86-87
[18] W.S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, (Yogyakarta: PT Grasindo, 1997), hal. 87
[19] Samsul Munir Amin, Bimbingan dan Konseling Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), hal. 35
[20] W.S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, (Yogyakarta: PT Grasindo, 1997), hal. 88-89
[21] W.S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, (Yogyakarta: PT Grasindo, 1997), hal. 89-90
[22] Mochamad Nursalim, Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2015), hal. 45
[23] W.S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, (Yogyakarta: PT Grasindo, 1997), hal. 92-93
[24] Mochamad Nursalim, Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2015), hal. 46
[25] Mochamad Nursalim, Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2015), hal. 46-47

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengkaji Tradisi Sekaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perspektif Islam

Kontestasi Makna Religius dan Budaya dalam Pelaksanaan Ritual Tabuik di Sumatera Barat

Dari Dalam Diri: Membangun Harmoni dalam Hubungan Internal Agama dan Spiritualitas