Konsep Dasar tentang Kewarganegaraan
A.
Pengertian Warga Negara
Warga Negara diartikan dengan orang-orang sebagai
bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur Negara. Selain itu,
warga negara adalah orang-orang yang menurut hukum atau secara resmi merupakan
anggota dari suatu negara tertentu[1].
Istilah ini dahulu biasa disebut hamba atau kawula Negara. Istilah warga Negara
lebih sesuai dengan dengan kedudukannya sebagai orang merdeka dibandingkan
dengan istilah hamba atau kawula Negara, karena warga Negara mengandung arti
peserta, anggota atau warga dari suatu Negara, yakni peserta dari suatu
persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas dasar tanggung jawab
bersama dan untuk kepentingan bersama. Untuk itu, setiap warga Negara mempunyai
persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga Negara memiliki kepastian hak,
privasi, dan tanggungjawab.
Sejalan dengan definisi diatas, AS Hikam pun
mendefinisikan bahwa warga Negara yang merupakan terjemahan dari citizenship adalah
adalah anggota dari sebuah komunitas yang membentuk Negara itu sendiri. Istilah
ini menurutnya lebih baik ketimbang istilah kawula Negara, karena kawula Negara
betul-betul berati objek yang dalam bahasa inggris (object) berati orang yang
dimiliki dan mengabdi kepada pemiliknya.
Secara singkat, Koerniatmanto S., mendefinisikan
warga Negara dengan anggota Negara. Sebagai anggota Negara, seorang warga
Negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap terhadap negaranya. Ia
mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap
negaranya.
Dalam konteks Indonesia, istilah warga Negara
(sesuai dengan UUD 1945 pasal 26) dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan
bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga Negara. Dalam penjelasan
UUD 1945 pasal 26 ini, dinyatakan bahwa orang-orang bangsa lain, misalnya orang
peranakan belanda, peranakan cina, peranakan arab, dan lain-lain yang bertempat
tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap
setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga Negara.
Selain itu, sesuai dengan pasal 1 UU No. 22/1958
dinyatakan bahwa warga Negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang
berdasarkan perundang-undangan dan/ atau perjanjian-perjanjian dan/ atau
peraturan-peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi
warga Negara Republik Indonesia.
Orang yang berada di suatu wilayah negara dapat dibedakan menjadi dua yaitu
:
- Penduduk
Penduduk adalah orang-orang yang
bertempat tinggal di suatu wilayah negara dalam kurun waktu tertentu.[2]
Penduduk dalam suatu negara dapat dipilah lagi menjadi dua yaitu warga negara dan orang asing. Orang asing
adalah orang-orang yang untuk sementara atau tetap bertempat tinggal di negara
tertentu, tetapi tidak berkedudukan sebagai warga negara. Mereka adalah warga
negara dari negara lain yang dengan izin pemerintah setempat menetap di negara
yang bersangkutan.
- Bukan Penduduk
Bukan penduduk adalah orang yang
hanya tinggal sementara waktu saja di suatu wilayah negara.[3]
Contohnya orang Australia yang berada di Bali untuk berwisata selama beberapa
waktu tertentu bukanlah penduduk Indonesia, sedangkan orang Jerman yang karena
tugasnya harus bertempat tinggal atau menetap di Jakarta adalah penduduk
Indonesia.
Di dalam suatu negara terdapat
sejumlah orang yang berstatus sebagai warga negara sekaligus sebagai penduduk,
dan sejumlah penduduk yang berstatus bukan sebagai warga negara (orang asing).
Perbedaan status atau kedudukan
sebagai penduduk dan bukan penduduk, juga penduduk warga negara dan penduduk
bukan warga negara menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban. Kebanyakan negara
menentukan bahwa hanya mereka yang yang berstatus sebagai penduduk sajalah yang
boleh bekerja di negara yang bersangkutan, sedangkan bagi mereka yang berstatus
bukan penduduk tidak boleh untuk melakukan pekerjaan apapun. Demikian juga di
Indonesia misalnya, hanya warga negara yang boleh memilih atau dipilih dalam
pemilihan umum. Sedangkan untuk orang asing tidak diperbolehkan melakukan
hal-hal yang seperti itu.
B. Asas
Kewarganegaraan
Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa warga Negara
merupakan anggota sebuah Negara yang mempunyai tanggung jawab dan hubungan
timbal balik terhadap negaranya. Seseorang yang diakui sebagai warga Negara
dalam suatu Negara haruslah ditentukan berdasarkan ketentuan yang telah
disepakati dalam Negara tersebut. Ketentuan itu menjadi asas atau pedoman untuk
menentukan status kewarganegaraan seseorang. Setiap Negara mempunyai kebebasan
dan kewenangan untuk menentukan asas kewarganegaraan seseorang.
Dalam menerapkan asas kewarganegaraan ini, dikenal
dengan 2 pedoman, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas
kewarganegaraan berdasarkan perkawinan. Dari sisi kelahiran, ada 2 asas
kewarganegaraan yang sering dijumpai, yaitu ius soli (tempat
lahir) dan ius sanguinis (keturunan). Sedangkan dari sisi
perkawinan kenal pula asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
- Dari Sisi Kelahiran
Pada umumnya, penentuan kewarganegaraan berdasarkan
pada kelahiran seseorang (sebagaimana disebut di atas) dikenal dengan 2 asas
kewarganegaraan, yaitu ius soli dan ius sanguinis.
Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa latin. Ius berati hukum,
dalil atau pedoman, soli berasal dari kata solum yang berarti negeri,
tanah, atau daerah dan sanguinis yang berati darah. Dengan demikian, ius
soli berarti pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tempat atau daerah
kelahiran, sedangnkan ius sanguinis adalah pedoman
kewarganegaraan berdasarkan daerah atau keturunan.
Sebagai contoh, jika sebuah Negara menganut asas ius
soli, maka seseorang yang dilahirkan di Negara tersebut, mendapatkan hak
sebagai warganegara. Begitu pula dengan asas ius sanguinis, maka
seseorang yang lahir dari orangtua yang memiliki kewarganegaraan, Indonesia
misalnya, maka anak tersebut berhak mendapat status kewarganegaraan
orangtuanya, yakni kewarganegaraan Indonesia.
Pada awalnya, asas kewarganegaraan berdasarkan
kelahiran ini hanya satu, yakni ius soli saja. Hal ini didasarkan
pada anggapan bahwa karena seseorang lahir di suatu wilayah Negara, maka
otomatis dan logis ia menjadi warga negara tersebut. Akan tetapi dengan semakin
tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan asas lain yang tidak hanya
berpatokan pada tempat kelahiran saja. Selain itu, kebutuhan terhadap asas lain
juga berdasarkan realitas empirik bahwa ada orangtua yang memiliki status
kewarganegaraan berbeda. Hal ini akan bermasalah jika kemudian orangtua
tersebut melahirkan anak di tempat salah satu orangtuanya (misalnya ibunya).
Jika tetap menganut asas ius soli, maka si anak hanya akan
mendapat status kewarganegaraan ibunya saja, sementara ia tidak berhak atas
status kewarganegaraan bapaknya. Atas dasar itulah, maka asas ius sanguinis
dimunculkan, sehingga si anak dapat memiliki status kewarganegaraan bapaknya.
- Dari Sisi Perkawinan
Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari sudut
kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari sisi perkawinan
yang mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas kesatuan
hukum berdasarkan pada paradigma bahwa suami-istri ataupun ikatan keluarga
merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat, dan tidak
terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, suami-istri ataupun
keluarga yang baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat.
Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam
keluarga atau suami-istri, maka semuanya harus tunduk pada hukum yang sama.
Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas
dasar hukum yang sama tersebut, meniscayakan adanya kewarganegaraan yang sama,
sehingga masing-masing tidak terdapat perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan
dan kesejahteraan keluarga.
Sedangkan dalam asas persamaan derajat, ditentukan
bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan
masing-masing pihak.[4]
Baik suami maupun istri tetap berkewarganegaraan asal, atau dengan kata lain,
sekalipun sudah menjadi suami istri, mereka tetap memiliki status
kewarganegaraan sendiri. Sama halnya ketika mereka belum diikatkan menjadi
suami istri.
Asas ini dapat menghindari terjadinya penyelundupan
hukum. Misalnya, seseorang yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh
status kewarganegaraan suatu Negara dengan cara atau berpura-pura melakukan
pernikahan dengan perempuan di Negara tersebut. Setelah melalui perkawinan dan
orang tersebut mendapatkan kewarganegaraan yang diinginkannya, maka selanjutnya
ia menceraikan isterinya. Untuk menghindari penyelundupan hukum semacam ini,
banyak Negara yang menggunakan asas persamaan derajat dalam peraturan kewarganegaraannya.
Disamping asas umum, ada beberapa asas khusus yang menjadi dasar penyusunan
Undang-undang Kewarganegaraan Indonesia, yaitu[5]
:
- Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.
- Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap warga negara Indonesia dalam keadaan apapun baik didalam ataupun diluar negri.
- Asas persamaan didalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan bahwa setiap warga negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama didalam hukum dan pemerintahan.
- Asas kebenaran substantif adalah prosedur kewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
- Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender.
- Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang dalam segala hal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya.
- Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka.
- Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya.
C. Unsur
Unsur yang Menentukan Kewarganegaraan
- Unsur Darah Keturunan (Ius Sanguinis)
Kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya
menentukan kewarganegaraan seseorang, artinya kalau orang dilahirkan dari
orangtua yang berkewarganegaraan Indonesia, ia dengan sendirinya juga warga
Negara Indonesia.
Prinsip ini adalah prinsip asli yang telah berlaku
sejak dahulu, yang diantaranya terbukti dalam sistem kesukuan, dimana anak dari
anggota suatu suku dengan sendirinya dianggap sebagai anggota suku itu.
Sekarang prinsip ini berlaku diantaranya di Inggris, Amerika, Perancis, Jepang
dan juga Indonesia.
- Unsur Daerah Tempat Kelahiran (Ius Soli)
Daerah tempat seseorang dilahirkan menentukan
kewarganegaraan. Misalnya, kalau orang dilahirkan di dalam daerah hukum
Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi warga Negara Indonesia. Terkecuali
anggota-anggota korps diplomatik dan anggota tentara asing yang masih dalam
ikatan dinas. Disamping dan bersama-sama dengan prinsip ius sanguinis,
prinsip ius soli ini juga berlaku juga di Amerika, Inggris,
Perancis, dan juga Indonesia. Tetapi di jepang, prinsip ius soli
ini tidak berlaku. Karena seseorang yang tidak dapat membuktikan bahwa
orangtuanya berkebangsaan jepang, ia tidak dapat diakui sebagai warga Negara
Jepang.
- Unsur Pewarganegaraan (Naturalisasi)
Walaupun tidak dapat memenuhi prinsip ius sanguinis
ataupun ius soli, orang dapat juga memperoleh kewarganegaraan
dengan jalan pewarganegaraan atau naturalisasi. Syarat-syarat dan prosedur
pewarganegaraan ini di berbagai Negara sedikit banyak dapat berlainan, menurut
kebutuhan yang dibawakan oleh kondisi dan situasi Negara masing-masing.
Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif da nada
pula yang pasif. Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak
opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warga Negara dari suatu
Negara. Sedangkan dalam pewarganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau
diwarganegarakan oleh suatu Negara atau tidak mau diberi atau dijadikan warga
Negara suatu Negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan hak repudiasi,
yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut.
D. Problem
Status Kewarganegaraan
Membicarakan status kewarganegaraan seseorang dalam
sebuah Negara, maka akan dibahas beberapa persoalan yang berkenaan dengan
seseorang yang dinyatakan sebagai warga Negara dan bukan warga Negara dalam
suatu Negara. Jika diamati dan dianalisis, di antara penduduk sebuah Negara,
ada diantara mereka yang bukan warga Negara (orang asing) di Negara tersebut.
Dalam hal ini, dikenal dengan apatride, bipatride, dan multipatride.[6]
Apatride merupakan istilah untuk orang-orang yang
tidak mempunyai status kewarganegaraan. Sedangkan bipatride merupakan istilah
yang digunakan untuk orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap
atau dengan istilah lain dikenal dengan dwi kewarganegaraan. Sementara yang
dimaksud dengan multipatride adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan
status kewarganegaraan seseorang yang memiliki dua atau lebih status
kewarganegaraan.
Kasus orang-orang yang tidak memiliki
kewarganegaraan merupakan sesuatu yang mempersulit orang tersebut dalam konteks
menjadi penduduk pada suatu Negara. Mereka akan dianggap sebagai orang asing,
yang tentunya akan berlaku ketentuan-ketentuan peraturan atau
perundang-undangan bagi orang asing, yang selain segala sesuatu kegiatannya
akan terbatasi, juga setiap tahunnya diharuskan membayar sejumlah uang
pendaftaran sebagai orang asing.
Kasus kewarganegaraan dengan kelompok bipatride,
dalam realita empiriknya, merupakan kelompok status hukum yang tidak baik,
karena dapat mengacaukan keadaan kependudukan diantara 2 negara. Karena itulah
tiap Negara dalam menghadapi masalah bipatride dengan tegas mengharuskan
orang-orang yang terlibat untuk secara tegas memilih salah satu diantara 2
kewarganegaraannya.
Kondisi seseorang dengan status berdwikewarganegaraan,
sering terjadi pada penduduk yang tinggal di daerah perbatasan diantara dua
Negara. Dalam hal ini, diperlukan peraturan atau ketentuan-ketentuan yang pasti
tentang perbatasan serta wilayah territorial, sehingga penduduk di daerah itu
dapat meyakinkan dirinya termasuk kedalam kewarganegaraan mana diantara dua
Negara tersebut.
E. Karakteristik
Warga Negara Yang Demokrat
Untuk membangun suatu tatanan masyarakat yang
demokratis dan berkeadaban, maka setiap warga Negara haruslah memiliki karakter
atau jiwa yang demokratis pula. Ada beberapa karakteristik bagi warga Negara
yang disebut sebagai democrat, yakni antara lain sebagai berikut[7]:
- Rasa Hormat dan Tanggung Jawab
Sebagai warga Negara yang demokratis, hendaknya
memiliki rasa hormat terhadap sesama warga Negara terutama dalam konteks adanya
pluralitas masyarakat Indonesia, yang terdiri dari berbagai etnis, suku, ras,
keyakinan, agama, dan ideologi politik. Selain itu, sebagai warga Negara yang
demokrat, seorang warga Negara juga dituntut untuk turut bertanggung jawab
menjaga keharmonisan hubungan antar etnis serta keteraturan dan ketertiban
Negara yang berdiri diatas pluralitas tersebut.
- Bersikap Kritis
Warga Negara yang demokrat hendaknya selalu bersikap
kritis, baik terhadap kenyataan empiris (realitas sosial, budaya, dan politik)
maupun terhadap kenyataan supra-empiris (agama, mitologi, kepercayaan). Sikap
kritis juga harus ditunjukan pada diri sendiri. Sikap kritis pada diri sendiri
itu tentu disertai sikap kritis terhadap pendapat yang berbeda. Tentu saja
sikap kritis ini harus didukung oleh sikap yang
bertanggung jawab terhadap yang dikritisi.
- Membuka Diskusi dan Dialog
Perbedaan pendapat dan pandangan serta perilaku
merupakan realitas empirik yang pasti terjadi di tengah komunitas warga Negara,
apalagi ditengah komunitas masyarakat yang plural dan multi etnik. Untuk
meminimalisir konflik yang ditimbulkan dari perbedaan tersebut, maka membuka
ruang untuk berdiskusi dan berdialog merupakan salah satu solusi yang bisa
digunakan. Oleh karenanya, sikap membuka diri untuk dialog dan diskusi
merupakan salah satu ciri sikap warga Negara yang demokrat.
- Bersikap Terbuka
Sikap terbuka merupakan bentuk penghargaan terhadap
kebebasan sesama manusia, termasuk rasa menghargai terhadap hal-hal yang tidak
biasa atau baru serta pada hal-hal yang mungkin asing. Sikap terbuka yang
didasarkan atas kesadaran akan pluralism da keterbatasan diri akan melahirkan
kemampuan untuk menahan diri dan tidak secepatnya menjatuhkan penilaian dan
pilihan.
- Rasional
Bagi warga Negara yang demokrat, memiliki kemampuan
untuk mengambil keputusan secara bebas dan rasional adalah sesuatu hal yang
akan mengantarkan sikap dan keputusan yang diambil secara tidak rasional akan
membawa implikasi emosional dan cenderung egois. Masalah-masalah yang terjadi
di lingkungan warga Negara, baik persoalan politik, sosial, budaya, dan
sebagainya, sebaiknya dilakukan dengan keputusan keputusan yang rasional.
- Adil
Sebagai warga Negara yang demokrat, tidak ada tujuan
baik yang patut diwujudkan dengan cara-cara yang tidak adil. Penggunaan
cara-cara yang tidak adil adalah bentuk pelanggaran hak asasi dari orang yang
diperlakukan tidak adil. Dengan semangat keadilan, maka tujuan-tujuan bersama
bukanlah suatu yang didiktekan tetapi ditawarkan. Mayoritas suara bukanlah
diatur tetapi diperoleh.
- Jujur
Memiliki sikap dan sifat yang jujur bagi warga
Negara merupakan sesuatu yang niscaya. Kejujuran merupakan kunci bagi
terciptanya keselarasan dan keharmonisan hubungan antar warga Negara. Sikap
jujur bisa diterapkan di segala sektor. Baik politik, sosial, dan sebagainya.
Kejujuran politik adalah bahwa kesejahteraan warga
Negara merupakan tujuan yang ingin dicapai, yaitu kesejahteraan dari masyarakat
yang memilih para politisi. Ketidak jujuran politik adalah seorang politisi mencari
keuntungan bagi dirinya sendiri atau mencari keuntungan bagi partainya. Karena
partai itu penting bagi kedudukannya.
Beberapa karakteristik warga Negara yang demokrat
tersebut, merupakan sikap dan sifat yangs seharusnya melekat pada seorang warga
Negara. Hal ini akan menampilkan sosok warga Negara yang otonom, yakni mampu
mempengaruhi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal
secara mandiri. Sebagai warga Negara yang otonom, ia mempunyai karakteristik
lanjutan sebagai berikut:
a. Memiliki
kemandirian. Mandiri berarti tidak mudah dipengaruhi atau dimobilisasi, teguh
pendirian, dan bersikap kritis pada segenap keputusan publik.
b. Memiliki
tanggung jawab pribadi, politik, dan ekonomi sebagai warga Negara, khususnya di
lingkungan masyarakatnya yang terkecil seperti RT, RW, Desa, dan seterusnya.
Atau juga di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi.
c. Menghargai
martabat manusia dan kehormatan pribadi. Menghargai berarti menghormati hak-hak
asasi dan privasi pribadi orang per orang tanpa membedakan ras, warna kulit,
golongan ataupun warga Negara yang lain.
d. Berpartisipasi
dalam urusan kemasyarakatan dengan pikiran dan sikap yang santun. Warga Negara
yang otonom secara efektif mampu mempengaruhi dan berpartisipasi dalam
proses-proses pengambilan kebijakan pada level sosial yang paling kecil dan
lokal, misalnya dalam rapat kepanitiaan, pertemuan rukun warga, dan termasuk
mengawasi kinerja dan kebijakan parlemen dan pemerintah.
e. Mendorong
berfungsinya demokrasi konstitusional yang sehat. Tidak ada demokrasi tanpa
aturan hukum dan konstitusi. Tanpa konstitusi, demokrasi akan menjadi anarki.
Karena itu, warga Negara yang otonom harus melakukan tiga hal untuk mewujudkan
demokrasi konstitusional, yaitu:
·
Menciptakan kultur taat hukum yang sehat
dan aktif (culture of law).
·
Ikut mendorong proses pembuatan hukum
yang aspiratif (process of law making).
·
Mendukung pembuatan materi-materi hukum
yang responsif (content of law).
·
Ikut menciptakan aparat penegak hukum
yang jujur dan bertanggung jawab (structure of law).
F. Cara
Bukti Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia
Pada umumnya, ada 2 kelompok warga Negara dalam
suatu Negara, yakni warga Negara yang memperoleh status kewarganegaraannya
melalui stelsel pasif atau dikenal juga dengan warga Negara by operation of law
dan warga Negara yang memperoleh status kewarganegaraannya melalui stesel aktif
atau dikenal dengan by registration.
Dalam penjelasan umum undang- undang No. 62/1958
bahwa ada 7 cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia, yaitu (1) karena
kelahiran, (2) karena pengangkatan (3) karena dikabulkannya permohonan (4)
karena pewarganegaraan (5) karena perkawinan (6) karena turut ayah dan ibu,
serta (7) karena pernyataan.
Untuk memperoleh status kewarganegaraan Indonesia,
diperlukan bukti-bukti sebagai berikut (berdasarkan Undang-Undang No. 62/1958) :
- Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena kelahiran adalah akta kelahiran.
- Surat bukti keewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena pengangkatan adalah Kutipan Pernyataan Sah Buku Catatan Pengangkatan Anak Asing dari Peraturan Pemerintah No. 67/JB.3/2/25, butir 6, tanggal 5 Januari 1959.
- Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena dikabulkannya permohonan adalah Petikan Keputusan Presiden tentang permohonan tersebut (tanpa pengucapan sumpah dan janji setia).
- Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena pewarganegaraan adalah Petikan Keputusan Presiden tentang pewarganegaraan tersebut yang diberikan setelah pemohon mengangkat sumpah dan janji setia.
- Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena pernyataan adalah sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JB.3/166/22, tanggal 30 September 1958 tentang Memperoleh/ Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan Pernyataan.
G. Hak
dan Kewajiban Warga Negara
Dalam pengertian warga Negara secara umum,
dinyatakan bahwa warga Negara merupakan anggota Negara yang mempunyai kedudukan
khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang
bersifat timbal balik terhadap negaranya. Berdasarkan pada pengertian tersebut,
maka adanya hak dan kewajiban warga Negara terhadap negaranya merupakan sesuatu
yang niscaya ada.
Dalam konteks Indonesia, hak warga Negara terhadap
negaranya telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan
lainnya yang merupakan derivasi dari hak-hak umum yang digariskan dalam UUD
1945. Diantara hak-hak warga Negara yang dijamin dalam UUD adalah Hak Asasi
Manusia yang rumusan lengkapnya tertuang dalam pasal 28 UUD Perubahan Kedua.
Dalam pasal tersebut dimuat hak-hak asasi yang melekat dalam setiap individu
warga Negara seperti hak kebebasan beragama dan beribadat sesuai dengan
kepercayaannya, bebas untuk berserikat dan berkumpul (pasal 28E), hak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, hak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja, hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, hak atas status
kewarganegaraan (pasal 28F), dan hak-hak asasi lainnya terutang dalam pasal
tersebut. Sedangkan contoh kewajiban yang melekat bagi setiap warga Negara
antara lain kewajiban membayar pajak sebagai kontrak utama antara Negara dengan
wajib membela tanah air (pasal 27), membela pertahanan dan keamanan Negara
(pasal 29), menghormati hak asasi orang lain dan memahami pembatasan yang
terutang dalam dalam peraturan (pasal 28), dan berbagai kewajiban lainnya dalam
undang undang. Prinsip utama dalam penentuan hak dan kewajiban warga Negara
adalah terlibatnya warga (langsung atau perwakilan) dalam setiap perumusan hak
dan kewajiban tersebut sehingga warga sadar dan menganggap hak dan kewajiban tersebut
sebagai bagian dari kesepakatan mereka yang dibuat sendiri.
[1]
Dwiyatmi, Sri Harini. dkk. Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hal. 186
[2]
Ibid., hal. 186
[3] Ibid., hal. 186
[4]
Arskal Salim dan A. Ubaidillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat
Madani, (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press, 2000), hal. 75-76
[5]
Sri Harini Dwiyatmi,dkk., Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hal. 199-200
[6] Heri Herdiawanto dan Jumanta
Hamdayama, Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwarganegara, (Jakarta: Erlangga,
2010) hal. 60
[7] Arskal Salim dan A. Ubaidillah, Demokrasi,
Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta : UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Press, 2000), hal.70-80
Komentar
Posting Komentar