Hadis tentang Akhlak



A.    Redaksi Hadis
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص. م. كَانَ يَقُوْلُ اِنَّ  مِنْ خِيَارُكُمْ اَحْسُنكُمْ
اَخْلاَقًا. رواه البخاري

B.     Terjemahan Hadis
“Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah bersabda: Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang paling baik akhlaknya[1].” (HR. Bukhari)

C.    Pengertian Akhlak
Defenisi akhlak: 
صِفَةٌ رَاسِخَةٌ فِى النَّفْسِ تَصْدُرُ عَنْهَا اْلاَفْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ مِنْ غَيْرِ تَكَلَّفِ
Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang bisa menumbuhkan (mendorong) suatu perbuatan dengan mudah tanpa paksaan atau tanpa pertimbangan[2]. Contoh sifat dermawan, dengan mudah suka memberi memberi tanpa dipaksa, sifat penyantun akan membuat orang penyabar serta pemaaf terhadap kesalahan orang, sifat bijak akan selalu membuat orang meletakkan sesuatu dengan pertimbangan maslahat.

Defenisi lain yang dirumuskan ulama: “Kehendak yang telah menjadi adat[3]الْعادَةُ فِى اْلاِرَادةِ seperti orang yang akan senantiasa ingin menghadapi musuh bila terjadi perang, maka orang itu bersifat sajaah (pemberani). (Abd. Aziz Al-Khuli, tt.: 127).
Sejalan dengan defenisi di atas Ibnu Miskawaih (1994: 56) menerangkan bahwa karakter (khuluq) merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa berpikir atau dipertimbangkan secara mendalam. Keadaan ini ada dua jenis/ macam; yang pertama, alamiah dan bertolak dari watak. Misalnya pada orang yang gampang sekali marah karena hal yang kecil. Atau yang dapat menghadapi insiden yang paling sepele. Juga pada orang yang terkesiap berdebar-debar disebabkan oleh suara yang amat lemah yang menerpa gendang telinganya, atau ketakutan lantaran mendengar suatu berita atau tertawa berlebih-lebihan hanya karena suatu hal yang tak terlalu memperhatikan yang telah menimpanya; yang kedua, tercipta (terbentuk) melalui kebiasaan dan latihan. Pada mulanya keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian melalui praktik terus-menerus menjadi karakter. Lebih jauh Ibnu Miskawaih (1994: 59) menerangkan bahwa tingkatan manusia dalam menerima tatanan moral yang baik yang kami namakan akhlak (karakter) ini, yang suka kepadanya banyak sekali. Kita bisa menyaksikan perbedaan-perbedaan ini khususnya pada anak-anak. Karena karakter mereka muncul sejak awal pertumbuhan mereka. Anak-anak tidak menutupinya dengan sengaja dan sadar, seperti yang dilakukan orang dewasa. Bukankan kita pernah memperhatikan proses perkembangan karakter anak kecil? Karakter itu? Bahkan kita lihat keengganan mereka terhadap perbaikan karakter itu. Anda sering lihat sikap mereka melalui dari yang keras, sampai yang malu-malu.
Selain itu kita menyaksikan sendiri ada diantara mereka yang baik, kikir, lembut, keras kepala, dengki, atau sebaliknya? Atau bahkan ada yang karakter-karakternya saling kontradiksi, yang dari itu akhirnya Anda bisa mengetahui tingkatan-tingkatan manusia dalam menerima karakter yang mulia? Dari situ kita bisa mengerti bahwa ternyata mereka tidak sama tingkatannya. Diantara mereka ada yang tanggap dan tidak tanggap, ada yang mudah dan lunak, ada yang keras dan sulit, ada yang baik dan yang buruk. Dan ada yang berada pada posisi tengah diantara dua kubu ini. Kalau tabiat-tabiat ini diabaikan dan tidak disiplinkan dan koreksi, maka ia bakal tumbuh dan berkembang mengikuti tabiatnya, dan selama hidupnya, kondisinya tidak akan berubah, dia memuaskan apa yang dianggap cocok menurut selera alamiahnya, entah marah, senang, jahat, tamak, atau tabiat rendah lainnya.

D.    Pembinaan Akhlak
Syariat agama merupakan faktor yang penting untuk meluruskan karakter remaja, yang membiasakan mereka untuk melakukan perbuatan yang baik, sekaligus mempersiapkan diri mereka untuk menerima kearifan, mengupayakan kebijakan, dan mencapai kebahagiaan melalui berpikir dan penalaran yang akurat. Kewajiban orang tualah untuk mendidik mereka agar mentaati syariat ini agar berbuat baik, melalui nasehat atau dipukul kalau perlu, atau hardik atau diberi janji yang menyenangkan atau diancam hukuman yang menakutkan hingga jika mereka telah terbiasa dengan perilaku ini, lalu kondisi ini terus berlangsung hingga waktu yang relatif lama maka mereka akan melihat hasil dari perilaku mereka dan akan mengetahui jalan kebijakan dan sampailah mereka pada tujuan dengan cara yang kami kemukakan. Sesungguhnya Allah akan memberi pertolongan dan menuntun keberhasilan dan Dia cukup bagi kita.
Nabi SAW mengajarkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Abu Daud:
“Serulah anak-anakmu untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah jika dia membangkang (meninggalkan shalat), jika mereka telah berusia sepuluh tahun serta pisahkan tempat tidurnya.” [4]
Sekalipun anak yang berumur tujuh atau sepuluh tahun itu belum diwajibkan shalat, karena belum baligh dan belum memahami tujuan dan konsekuensinya mengerjakan shalat, namun dengan tujuan “PEMBIASAAN” anak dibimbing untuk mengerjakan shalat, agar kelak setelah dewasa tidak terasa berat melaksanakannya.
Pembiasaan tersebut sesuai pula dengan perkembangan jiwa anak. Dalam psikologi perkembangan disebutkan bahwa periodesasi manusia pada dasarnya dapat dibagi menjadi lima tahapan. Pada tahapan kedua adalah tahapan pendidikan jasmani dan latihan panca indera (2.0-12.0 tahun). Pada tahapan ini, akan mulai memiliki potensi-potensi biologis, pedagogis, dan psikologis. Oleh karena itu, pada tahapan ini mulai diperlukan adanya pembinaan, pelatihan, dan bimbingan, mengajarkan dan pendidikan yang disesuaikan dengan bakat (Muhaimin, 1993: 178).
Dalam masyarakat liberal, moral diperkenalkan lewat proses klarifikasi, penjelasan agar terjadi pencerahan pada subyek. Seberapa jauh suatu moral diterima oleh anak, secara bebas anak dibiarkan memutuskan sendiri. Moral kemanusiaan yang mungkin belum dapat diterima seorang anak biarlah tumbuh moralnya lewat diskusi dengan teman tentang alasan-alasan sesuatu moral dapat diterima atau tidak, sedangkan dengan teknik making inferences anak dibiarkan berdiskusi sesama teman tentang konsekuensi bila suatu moral dilaksanakan dan bila tidak (Noeng Muhajir, 1999: 1964). Dengan demikian dalam masyarakat liberal, peran, akal yang menentukan, sedang peran pembiasaan tidak ada sama sekali dalam pembinaan moral.
Abdul Aziz Al-Khuli (tt.: 126) menerangkan bahwa akhlak itu bermacam-macam, ada yang termasuk akhlak mulia dan ada yang tercela. Macam-macam akhlak mulia sebagai berikut: jujur, cerdik, penolong, optimis, rendah hati, teguh pendirian, tinggi cita-cita, pemaaf, manis muka, kasih sayang, bijak, pemberani, sopan, pemelihara diri, lemah lembut, penyabar, wara’, punya rasa malu, dermawan, suci, memegang rahasia, sederhana, jiwa sosial, dan lain-lain. Macam-macam akhlak tercela: bodoh, dungu, pendusta, jahil, penjahat, kurang hati-hati, dendam, tidak pemalu, dengki, jahat perangai, ta’ajub, penakut, lemah cita-cita, megah diri, tamak, pencaci, suka berbuat salah, tidak memegang rahasia, nyeleweng, dan lain-lain.
Seorang muslim seyogyanyalah pribadinya dihiasai dengan akhlak-akhlak mulia, dan berusaha menjauhi akhlak-akhlak yang tercela atau rendah karena orang yang akhlaknya baik, apalagi yang tinggi (Ahmad Mubarok, 2000: 60) dapat dipastikan ya memiliki tingkatan kesehatan mental yang tinggi, sebaliknya orang yang akhlaknya rendah cenderung mudah terkena gangguan kejiwaan karena jalan pikiran yang tidak lurus dan cara hidup yang menyalahi kelaziman masyarakat akan selalu menimbulkan konflik-konflik interest yang pada gilirannya akan melahirkan konflik batin.
Pada tahap pertengahan orang yang berakhlak rendah masih bisa menikmati selera rendah, tetapi pada tahap dimana perbuatan buruk dan jahat telah saling tumpang tindih, maka ia bagikan orang yang terkena komplikasi dari berbagai penyakit.


[1] Muhammad bin Ali Jamaah, Hadis-Hadis Pilihan Seputar Agama dan Akhlak diterjemahkan oleh Abu  Umamah Arif Hidayatullah, (Madinah: Universitas Islam Madinah dengan IslamHouse.com, 2013), hal. 38.
[2] Abu Bakar Jabir al-Jaziri, Minhaj al-Muslim, (Madinah: Dar ‘Umar bin Khattab, 1976), hal. 154
[3] Ahmad Amin, Kitab ِِAl-Akhlaq, (Kairo: Dar al-Mishriyah, 1929), hal. 5-6.
[4] Mohammad Al Munajjed, Anak Melalaikan Shalat, Bagaimana Menyikapinya? diakses melalui https://islamqa.info/id/152628 pada 19 Oktober 2016 pukul 03.55 WIB.

Hasil gambar untuk akhlak

DAFTAR PUSTAKA


Al-Jaziri, Abu Bakar Jabir. 1976. Minhaj al-Muslim. Madinah: Dar ‘Umar bin Khattab
Al-Khuli, Abdul Aziz. TT. Al-Adabun Nabawi. Beirut: Darul Fikri
Amin, Ahmad. 1929. Kitab ِِAl-Akhlaq. Kairo: Dar al-Mishriyah
Jamaah, Muhammad bin Ali. 2013. Hadis-Hadis Pilihan Seputar Agama dan Akhlak diterjemahkan oleh Abu  Umamah Arif Hidayatullah. Madinah: Universitas Islam Madinah dengan IslamHouse.com
Madhal, M. Husen, dkk. 2008. Hadis BKI. Yogyakarta: Percetakan Amanah
Majid, Husaini Abdul. 1985. Syarah Riyadus Shalihin Diterjemahkan Oleh Muammal Hamidi. Surabaya: Pustaka Islam
Miskawaih, Ibnu. 1994. Menuju Kesempurnaan Akhlak Diterjemahkan Oleh Hilmi Hidayat. Bandung: Mizan 
Sodik, Abror, dkk. 2016. Hadis Dakwah. Yogyakarta: Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Mohammad Al Munajjed, Anak Melalaikan Shalat, Bagaimana Menyikapinya? diakses melalui https://islamqa.info/id/152628 pada 19 Oktober 2016 pukul 03.55 WIB.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengkaji Tradisi Sekaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perspektif Islam

Kontestasi Makna Religius dan Budaya dalam Pelaksanaan Ritual Tabuik di Sumatera Barat

Dari Dalam Diri: Membangun Harmoni dalam Hubungan Internal Agama dan Spiritualitas