Etika dan Pengembangan Sikap Profesional dalam Konseling



A.    Etika Profesional dalam Konseling
Dari segi etimologi (asal kata), istilah etika berasal dari kata Latin “ethicus” dan dalam bahasa Yunani disebut “ethicos” yang berarti kebiasaan[1]. Dari segi terminologi (istilah) mengatakan etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia. Mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.
Etika merupakan cabang filsafat, sehingga etika adalah penyelidikan filosofis mengenai kewajiban-kewajiban manusia, dalam hal-hal yang baik dan buruk atau dalam pengertian lain tentang moral dan immoral[2].
Corey menjelaskan ada lima prinsip dasar mengenai etika yang merupakan bagian dari sebuah pemberian bantuan yang berfungsi untuk meningkatkan etika seorang konselor hingga menuju level profesional. Kelima prinsip dasar tersebut akan dijelaskan sebagai berikut[3].
1.      Otonomi
Prinsip ini menunjukkan kebebasan seorang untuk memilih seorang konselornya dalam menghadapi masalahnya dan promosi seorang konselor dengan menunjukkan keunikannya melalui metode konselingnya. Prinsip ini didasarkan kepada teori humanistik yang dipelopori oleh Carl Rogers. Dalam melihat dampak dari otonomi ini, konselor harus mempunyai keilmuan yang benar akan kliennya untuk memilih dan melakukan pemberian bantuan sesuai harapannya, dan seorang konselor profesional harus menunjukkan jalan yang terbaik dalam penyelesaian suatu masalah.
2.      Tidak Melanggar Kode Etik sebagai Seorang Konselor dan Klien
Seorang konselor profesional harus berusaha untuk menghindari resiko dari proses konseling yang dilakukan, baik masalah fisik, emosi, dan psikologis, atau tingkah laku yang berpotensi menyinggung diri klien. Konselor harus berhati-hati dalam memberikan bantuan (treatment) kepada seorang klien.
3.      Dengan Penuh Kasih Sayang
Prinsip ini menjelaskan bahwa melalui proses konseling mampu menghasilkan kondisi yang lebih baik bagi seorang klien. Secara alami, proses konseling profesional menghasilkan perubahan pada klien menggunakan pendekatan budayanya.
4.      Menggunakan Prinsip Keadilan
Keadilan ini berarti bahwa setiap proses konseling yang dilakukan kepada setiap klien harus sama, tanpa membedakan faktor apapun. Setiap orang apapun jenis kelamin, umur, asal, atau difabel secara umum harus diberikan akses yang sama dalam pelayanan konseling.
5.      Dengan Menggunakan Kesetiaan
Kesetian berarti bahwa seorang konselor yang profesional harus memberikan janji yang benar dan tidak memberikan janji palsu artinya harus berkomitmen dalam pelayanannnya. Artinya dalam proses konseling yang dilakukan dengan penuh keterbukaan antara konselor dan klien.

Mengaplikasikan kelima prinsip ini untuk mencapai keprofesionalan dari seorang konselor merupakan tugas yang tidak mudah, khususnya kepada klien yang berbeda budaya. Dengan kesuksesan mengaplikasikan semua prinsip ini maka akan dicapai level profesionalitas praktisi konselor[4].
Etika profesional konselor adalah kaidah-kaidah perilaku yang menjadi rujukan bagi konselor dalam melaksanakan tugas atau tanggung jawabnya  memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada konseli. Kaidah-kaidah perilaku yang dimaksud diatas sebagai berikut[5].
1.      Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan penghargaan sebagai manusia dan mendapatkan layanan konseling tanpa melihat suku bangsa, agama, atau budaya.
2.      Setiap manusia/ individu memiliki hak untuk mengembangkan dan mengarahkan diri.
3.      Setiap orang memiliki hak untuk memilih dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambilnya.
4.      Setiap konselor membantu perkembangan setiap konseli, melalui layanan bimbingan dan konseling secara profesional.
5.      Hubungan konselor dengan konseli sebagai hubungan yang membantu yang didasarkan kepada kode etik (etika profesi). 
6.      Bekerja dalam suatu tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional lain.
7.      Menyelenggarakan layanan sesuai dengan kewenangan dan kode etik professional konselor.
8.      Melaksanakan referal sesuai dengan keperluan.
9.      Mendahulukan kepentingan konseli dari pada kepentingan pribadi konselor.

B.     Pengertian Sikap Profesional dalam Konseling
Sikap merupakan suatu kecendrungan untuk mendekat atau menghindar, positif atau negatif terhadap berbagai keadaan sosial baik institusi, pribadi, situasi, ide, konsep dan sebagainya. Menurut Gagne (1974), mengatakan bahwa sikap merupakan suatu keadaan internal (internal state) yang mempengaruhi pilihan tindakan individu terhadap beberapa objek, pribadi dan peristiwa.
Sikap dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1.      Sikap Sosial
Sikap sosial dinyatakan oleh cara-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap objek sosial, dan biasa dinyatakan oleh sekelompok orang atau masyarakat.
2.      Sikap Individu
Sikap individu adalah sikap yang dimiliki dan dinyatakan oleh seseorang.
Sikap profesional seorang konselor adalah kecenderungan yang menunjukkan bahwa dia adalah konselor yang memiliki sikap profesional, sikap yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1.      Konselor yang memiliki kesadaran terhadap komitmen profesional.
2.      Secara kontiniu berupaya untuk mengembangkan dan menguasai dirinya.
3.      Harus mengerti dan memahami kekurangan dan prasangka-prasangka pada diri konselor.
4.      Bertanggungjawab terhadap saran dan peringatan yang diberikan dari rekan seprofesi.
5.      Mengupayakan mutu kerja setinggi mungkin.
6.      Terampil dalam menggunakan teknik-teknik khusus yang dikembangkan atas dasar wawasan yang luas dan kaidah-kaidah ilmiah.
7.      Peduli terhadap identitas professional dan pengembangan profesi
8.      Memahami dan mengelola kekuatan dan keterbatasan personal dan profesional.
9.      Mempertahankan objektivitas dan menjaga agar tidak larut dengan masalah konseli[6].

Seorang professional tentu saja akan menerapkan keahlian yang dimilikinya kepada masyarakat. Penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan keahlian ini tentu akan sangat merugikan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu etika profesi yang dalam hal ini bertindak sebagai “self control”. Karena seorang professional mendapatkan keahliannya melalui proses pendidikan berkualitas tinggi, maka pembentukan etika profesi juga harus dilakukan oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Inilah yang menyebabkan timbulnya organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi. 
Pelayanan bimbingan dan konseling baik di sekolah atau perguruan tinggi maupun di luar sekolah, kode etik profesi bimbingan dan konseling harus dipergunakan sebagai acuan atau pedoman kerja. Memperhatikan kode etik tersebut, maka konselor harus memiliki dan mengembangkan sikap profesional konselor yang memberikan citra positif terhadap profesi dan kepribadian yang terpuji dari sosok konselor. Sikap profesional yang dimaksudkan disini adalah[7]:
1.      Sikap terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain: memahami, mentaati, loyal dan melaksanakan.
2.      Sikap terhadap organisasi profesi bimbingan dan konseling yaitu Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) antara lain terdaftar sebagai anggota, menjaga nama baik, dan berpartisipasi terhadap program kerja.
3.      Sikap terhadap teman sejawat antara lain: saling menghormati, menjaga, bekerja sama dan saling membantu.
4.      Sikap terhadap konseli antara lain: unik, dinamis, memperlakukan secara manusiawi dan memfasilitasi tercapainya kemandirian
5.      Sikap terhadap tempat kerja antara lain: merasa senang, menciptakan hubungan kerja harmonis dan sinergis, serta menjaga kenyamanan.
6.      Sikap terhadap pimpinan tempat kerja antara lain: memahami arah kebijakan, loyal, mentaati, dan menghormati.
7.      Sikap terhadap pekerjaan antara lain: senang, sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas profesi seiring sejalan beribadah, menyesuaikan kemampuan dengan kebutuhan konseli, meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas profesi.

C.    Persyaratan sebagai Konselor Profesional dalam Konseling
Prof. Sofyan S. Willis (2009: 79-85) memaparkan secara panjang lebar kualifikasi konselor profesional. Menurutnya, kualitas konselor adalah semua kriteria keunggulan, termasuk pribadi, pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dimilikinya yang akan memudahkannya dalam menjalankan proses konseling sehingga mencapai tujuan dengan berhasil (efektif).
Salah satu kualitas yang jarang dibicarakan adalah kualitas pribadi konselor. Kualitas pribadi konselor adalah kriteria yang menyangkut segala aspek kepribadian yang amat penting dan menentukan keefektifan konselor jika dibandingkan dengan pendidikan dan latihan yang ia peroleh.
Kualitas pribadi konselor merupakan faktor yang sangat penting dalam konseling. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu bagi pencapaian konseling yang efektif, di samping faktor pengetahuan tentang dinamika perilaku dan keterampilan terapeutik atau konseling.
Beberapa penelitian pakar konseling menemukan bahwa keefektifan konselor banyak ditentukan oleh kualitas pribadinya. Secara umum, berangkat dari hasil penelitian tersebut, khususnya untuk konteks Indonesia, beberapa karakteristik kepribadian yang perlu dimiliki seorang konselor adalah sebagai berikut[8].
1.      Beriman dan bertakwa.
2.      Menyenangi manusia.
3.      Komunikator yang terampil.
4.      Pendengar yang baik.
5.      Memiliki ilmu yang luas, terutama tentang wawasan tentang manusia dan sosial-budaya.
6.      Menjadi narasumber yang kompeten.
7.      Fleksibel, tenang, dan sabar.
8.      Menguasai keterampilan atau teknik.
9.      Memiliki intuisi.
10.  Memahami etika profesi;
11.  Respek, jujur, asli, menghargai, dan tidak menilai.
12.  Empati, memahami, menerima, hangat, dan bersahabat.
13.  Fasilitator dan motivator.
14.  Emosi stabil, pikiran jernih, cepat, dan mampu.
15.  Objektif, rasioanl, logis, dan konkrit.
16.  Konsisten dan tanggung jawab.

Cavanagh (1982) mengemukakan bahwa kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut[9].
1.      Pemahaman diri (Self-knowledge)
Self-knowledge ini berarti bahwa konselor memahami dirinya dengan baik, dia memahami secara pasti apa yang dia lakukan, mengapa dia melakukan hal itu, dan masalah apa yang harus dia selesaikan. Konselor yang memiliki tingkat self-knowledge yang baik akan menunjukkan sifat-sifat berikut:
a.       Konselor menyadari dengan baik tentang kebutuhan dirinya. Seperti: (a) kebutuhan untuk sukses; (b) kebutuhan merasa penting, dihargai, superior, dan kuat.
b.      Konselor menyadari dengan baik tentang perasaan-perasaannya. Seperti: rasa marah, takut, bersalah, dan cinta.
c.       Konselor menyadari tentang apa yang membuat dirinya cemasdalam konseling, dan apa yang menyebabkan dirinya melakukan pertahanan diri dalam rangka mereduksi kecemasan tersebut.
d.      Konselor memahami atau mengakui kelebihan (kekuatan) atau kelemahan (kekurangan) dirinya.
2.      Kompeten (Competent)
Yang dimaksud kompeten disini adalah bahwa konselor itu memiliki kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral sebagai pribadi yang berguna.
3.      Kesehatan Psikologis
Konselor dituntut memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik dari kliennya. Hal ini penting karena kesehatan psikologis (psychological health) konselor akan mendasari pemahamannya terhadap perilaku dan keterampilannya. Ketika konselor memahami bahwa kesehatan psikologisnya baik dan dikembangkan melalui konseling, maka dia membangun proses konseling tersebut secara lebih positif. Apabila konselor tidak mendasarkan konseling tersebut kepada pengembangan kesehatan psikologis, maka dia akan mengalami kebingungan dalam menetapkan arah konseling yang ditempuhnya. Konselor merupakan model dalam berperilaku, apakah dia menyadari atau tidak. Setiap pertemuan konseling merupakan suatu periode pengawasan yang begitu intensif terhadap tingkah lakuyang adaptif. Ketika konselor kurang memiliki kesehatan psikologis, maka perannya sebagai model berperilaku bagi klien menjadi tidak efektif, bahkan dapat menimbulkan kecemasan bagi klien. Apabila itu terjadi, maka konselor bukan berperan sebagai penolong dalam memecahkan masalah, tetapi justru sebagai pemicu masalah klien.
4.      Dapat Dipercaya (Trustworthiness)
Kualitas ini bahwa konselor itu tidak menjadi ancaman atau penyebab kecemasan bagi klien. Kualitas konselor yang dapat dipercaya sangat penting dalam konseling, karena beberapa alasan sebagai berikut.
a.       Esensi tujuan konseling adalah mendorong klien untuk mengemukakan masalah dirinya yang paling dalam.
b.      Klien dalam konseling perlu mempercayai karakter dan motivasi konselor. Artinya klien percaya bahwa konselor mempunyai motivasi untuk membantunya.
c.       Apabila klien mendapat penerimaan dan kepercayaan dari konselor, maka akan berkembang dalam dirinya sikap percaya terhadap dirinya sendiri.
5.      Jujur (Honesty)
Yang dimaksud jujur disini adalah bahwa konselor itu bersikap transparan (terbuka), autentik, dan asli (genuine). Sikap jujur ini penting dalam konseling, karena alasan-alasan berikut.
a.       Sikap keterbukaan memungkinkan konselor dan klien untuk menjalin hubungan psikologis yang lebih dekat satu sama lainnya di dalma proses konseling. Kedekatan hubungan psikologis sangat penting dalam konseling, sebab dapat menimbulkan hubungan yang langsung dan terbuka antara konselotr dengan klien.
b.      Kejujuran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif kepada klien.
6.      Kekuatan (Strength)
Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan hal itu klien akan merasa aman. Klien memandang konselor sebagai orang yang (a) tabah dalam menghadapi masalah, (b) dapat mendorong klien untuk mengatasi masalahnya dan, (c) dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi.
7.      Bersikap Hangat
Yang dimaksud bersikap hangat itu adalah ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Klien yang datang meminta bantuan konselor, pada umumnya yang kurang mengalami kehangatan dalam hidupnya, sehingga dia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikan perhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling, klien ingin mendapat rasa hangat tersebut dan melakukan “sharing” dengan konselor.
8.      Actives Responsiveness
Keterlibatan konselor dalam proses konseling bersifat dinamis, tidak pasif. Melalui respon yang aktif, konselor dapat mengkomunikasikan perhatian dirinya terhadap kebutuhan klien. Disini, konselor mengajukan pertanyaan yang tepat, memberikan umpan balik yang bermanfaat, memberikan informasi yang berguna, mengemukakan gagasan-gagasan baru, berdiskusi dengan klien tentang cara mengambil keputusan yang tepat, dan membagi tanggung jawab dengan klien dalam proses konseling.
9.      Sabar (Patience)
Melalui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukkan lebih memperhatikan diri klien dari pada hasilnya. Konselor yang sabar cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku yang tidak tergesa-gesa.
10.  Kepekaan (Sensitivity)
Kualitas ini berarti bahwa konselor menyadari tentang adanya dinamika psikologis yang tersembunyi atau sifat-sifat mudah tersinggung, baik dari pada klien maupun dirinya sendiri. Klien yang datang untuk meminta bantuan konselor pada umumnya tidak menyadari masalah yang sebenarnya mereka hadapi. Bahkan ada yang tidak menyadari bahwa dirinya bermasalah. Pada diri mereka hanya nampak gejala-gelajanya (pseudo masalah), sementara yang sebenarnya tertutup oleh perilaku pertahanan dirinya. Konselor yang sensitif akan mampu mengungkap atau menganalisis apa masalah  yang sebenarnya yang dihadapi klien.
11.  Kesadaran Holistik (Holistic Awareness)
Pendekatan holistik dalam konseling berarti bahwa konselor memahami klien secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan berarti bahwa konselor sebagai seorang ahli dalam segala hal, disini menunjukkan bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah kline dan memahami bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi: fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral spiritual.

D.    Cara Mengembangkan Pribadi Konselor Profesional dalam Konseling
Cara mengembangkan pribadi konselor profesional dalam konseling ada 6 macam, yaitu[10]:
1.      Selaku konselor profesional harus memiliki kesadaran dalam melakukan pekerjaan dengan menampilkan keutuhan pribadi seorang konselor.
Seorang konselor dalam menjalankan tugasnya harus dalam keadaan sadar dan menampilkan kepribadian yang sesuai dengan keprofesonalitasnya. Syarat petugas bimbingan, dalam hal ini adalah seorang konselor di sekolah diantaranya adalah sifat kepribadian konselor. Seorang konselor harus memiliki kepribadian yang baik. Kepribadian konselor sangat berperan dalam usaha membantu siswa untuk tumbuh. Banyak penelitian telah dilakukan oleh sejumlah ahli tentang ciri-ciri khusus yang dibutuhkan oleh seorang konselor. Sifat-sifat kepribadian konselor diantaranya:
a.       Konselor adalah pribadi yang intelegen, memiliki kemampuan berpikir verbal dan kuantitatif, bernalar dan mampu memecahkan masalah secara logis dan persetif.
b.      Konselor menunjukkan minat kerja sama dengan orang lain, di samping seorang ilmuwan yang dapat memberikan pertimbangan dan menggunakan ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku individual dan social.
c.       Konselor menampilkan kepribadian yang dapat menerima dirinya dan tidak akan menggunakan kliennya untuk kepuasan kebutuhan pribadinya melebihi batas yang ditentukan oleh kode etik profesionalnya.
d.      Konselor memiliki nilai-nilai yang diakui kebenarannya sebab nilai-nilai ini akan mempengaruhi perilakunya dalam situasi konseling dan tingkah lakunya secara umum.
e.       Konselor menunjukkan sifat yang penuh toleransi terhadap masalah-masalah yang mendua dan ia memiliki kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang kurang menentu tersebut tanpa terganggu profesinya dan aspek kehidupan pribadinya.
f.       Konselor cukup luwes untuk memahami dan memperlakukan secara psikologis tanpa tekanan-tekanan sosial untuk memaksa klien menyesuaikan dirinya.

2.      Kepribadian konselor yang menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, antara lain memiliki kemampuan:
a.       Membedakan perilaku yang menggambarkan pandangan positif
Konselor harus bisa membedakan perilaku klien yang dimana perilaku klien tersebut merupakan sebuah pandangan atau persepsi klien yang bisa diorientasikan sebagai pandangan yang positif. Pandangan positif ini bisa berwujud seperti persepsi-persepsinya konseli mengenai dunia politik, pendidikan, situasi sosial,bencana yang ada di indonesia, dan sebagainya.
Dalam menghadapi konseli yang semacam ini, yaitu konseli yang memandang dunia dengan gambaran pandangan yang positif, konselor harus mampu mengendalikan suasana dan diharapkan mampu memahami apa yang dipikirkan oleh konselinya sehingga proses konseling akan berjalan dengan lancar tanpa ada satu pun kesalah pahaman yang terjadi.
b.      Membedakan perilaku yang menggambarkan pandangan negatif
Seorang konselor dituntut untuk bisa mengerti dan memahami kondisi psikologis konseli, memahami disini bisa diartikan bahwa seorang konselor mampu membedakan pandangan-pangdangan yang diungkapkan konselinya mengenai dunia luar maupun pandangan-pandangannya terhadap dirinya sendiri.
Konselor diharapkan mampu membedakan pandangan-pandangan konseli mana yang negatif dan mana pandangan yang positif sehingga nantinya dalam penanganan terhadap konseli akan lebih efektif.
c.       Membedakan individu yang berpotensi dalam layanan bimbingan dan konseling
Konselor harus mampu membedakan mana konseli yang berpotensi dan mana konseli yang kurang menunjukkan adanya potensi diri. Pengetahuan tentang hal ini bisa membantu konselor dalam menjalankan tugasnya. Dalam elayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin seorang konselor memberikan perlakuan yang sama antara semua konselinya tanpa memperhatikan kondisi psikologis maupun kondisi-kondisi lain yang dimiliki oleh konselinya. Menangani konseli yang memiliki potensi yang tinggi hendaknya berbeda apabila dibandingkan dengan menangani konseli yang memiliki tingkat potensi diri yang lebih rendah. Hal ini tentu saja bukan dengan maksud membeda-bedakan atau pilih kasih terhadap konseli, namun demi keefektifan jalannya proses konseli sendiri.

3.      Konselor yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, antara lain memiliki kemampuan:
a.       Menerapkan perbedaan budaya yang berperspektif gender dalam pelayanan bimbingan dan konseling
­­­Dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling, seeorang harus memperhatikan banyak aspek demi kelancaran dan kelangsungan jalannya konseling. Aspek tersebut diantaranya adalah perbedaan gender. Perbedaan gender melahirkan gender pria dan gender wanita. Masing-masing jenis gender ini memiliki karakteristik psikologis dan fisiologis yang berbeda. Oleh karenanya konselor harus cermat dalam melakukan hal-hal seperti respon terhadap pembicaraan konseli, saran yang akan diberikan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan perbedaan karakteristik gender tersebut.
Dengan pengetahuan tentang perbedaan gender yang sudah dimiliki oleh konselor, maka ia akan melaksanakan tugasnya dengan lebih baik. Ia juga tidak akan kaget apabila melihat reaksi-reaksi konseli yang berbeda dengan gender diri konselor. Mengetahui tentang perkembangan psikologis masing-masing gender akan sangat bermanfaat bagi pekerjaan konselor dalam menangani berbagai macam karakteristik konseli yang berbeda-beda.
b.      Menerapkan perbedaan budaya yang berperspektif  hak asasi manusia dalam pelayanan bimbingan dan konseling
Memiliki pengetahuan mengenai hak asasi manusia akan sangan bermanfaat bagi konselor dalam menjalani tugasnya selaku konselor. Dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling akan sangat berguna apabila konselor mengerti dan memahami tentang hak asasi manusia dan kemudian diterapkan pada saat proses konseling.
c.       Menerapkan perbedaan responsif perbedaan budaya konselor dengan konseli dalam pelayanan bimbingan dan konseling
Konselor harus respek terhadap keadaan apa saja yang terjadi pada saat proses konseling. Konseli yang datang kepada konselor tidak menutup kemungkinan berasal dari berbagai latar belakang dan budaya yang berbeda dengan konselor. Dalam kaitannya dengan perbedaan budaya antara konselor dengan konselinya, maka akan sangat bijak bila konselor memberikan respon yang responsif terhadap konseli yang berbeda budaya. Tindakan keresponsifan ini akan membantu konselor memahamii konseli lebih dalam sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kesalahpahaman perspektif atau pandangan antara yang diungkapkan konselor maupun yang diungkapkan konseli.

4.      Konselor yang menunjukkan integritas kepribadian yang kuat adalah ditunjukkan dalam kepribadian antara lain memiliki kemampuan:
a.       Menerapkan toleran terhadap stres yang dialami konseli
Konselor menunjukkan sifat yang penuh toleransi terhadap masalah-masalah yang dialami oleh konselinya. Masalah-masalah seperti stres yang dimiliki oleh konselinya hendaknya mampu konselor atasi dengan baik dan ia memiliki kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang kurang menentu tersebut tanpa terganggu profesinya dan aspek kehidupan pribadinya.
b.      Mengantisipasi berbagai tekanan yang menimpa diri
Sebagai seorang yang memiliki keutuhan atau integritas kepribadian yang kuat, wajar bila seorang konselor mampu melakukan antisipasi terhadap tekanan-tekanan yang menimpa diri konselor sendiri. Tekanan-tekanan ini bisa jadi disebabkan oleh hal yang diluar dugaan dan bisa datang kapan saja tanpa pemberitahuan, oleh karenanya sseorang konselor harus mampu melakukan antisipasi diri terhadap tekanan yang muncul. Bila tekanan yang seperti ini sudah muncul dan konselor kurang mampu mengatasinya, maka bila dibawa pada konseling akan mengganggu mekanisme konseling dikarenakan ketidaksiapan pribadi konselor dalam melaksanakan tuganya.
c.       Melakukan coping terhadap berbagai tekanan yang menimpa diri
Coping merupakan salah satu upaya atau metode yan dilakukan konselor agar konselor mampu menyesuaikan dan mengatasi berbagai macam permasalahan sesuai dengan keadaan dan situasi yang terjadi. Hendaknya konseling ini menerapkan metode coping pada saat ia berhadapan dengan klien dan bisa juga diterapkan konselor pada keadaan yang menimpa dirinya sendiri. Metode ini sangat berguna bagi konselor pada saat ia menjalankan tugasnya karena ia mampu mengatasi berbagai macam keadaan yang ia hadapi.

5.      Konselor yang memiliki kesadaran terhadap komitmen profesional antara lain memiliki kemampuan:
a.       Dapat menjelaskan dan mengelola kekuatan dan keterbatasan pribadi dan profesional.
Seorang konselor pada dasarnya sama seperti manusia pada umumnya. Yang membedakan seorang konselor dengan manusia yang pada umumnya adlah profesi yang digelutinya. Profesi yang digeluti adalah konseling yang bertrayek pada area konseling. Meskipun seorang konselor memiliki keahlian yang lebih diantaranya manusia yang lainnya, namun konselor juga manusia biasa yang memiliki kekurangan-kekurangan ynag wajar. Dengan mengetahui apa yang menjadi keterbatasan dan kekurangan diri konselor, maka hendaknya ia termotivasi untuk lebih meningkatkan dan mengelola kekuatan atau kelebihan yang dimilikinya secara maksimal demi keprofesionalitas dalam menjalankan tugasnya sebagai konselor.
b.      Dapat menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai dengan kewenangan profesional konselor.
Konselor yang profesional selayaknya mampu mematuhi komitmen profesional yang ia miliki. Dengan komitmen tersebut, menunjukkan bahwa ia akan melaksanakan tugasnya sebagai konselor semampu yang ia bisa lakukan dan sesuai dengan kewenangan yang ia miliki sebagai konselor yang profesional. Apabila ia melaksanakan konseling dengan konseli yang diluar kewenangannya, maka ia sudah melanggar kode etik konselor dan sudah bersikap tidak profesional. Oleh sebab itu, seorang konselor harus berhati-hati dalam menjalankan
c.       Berupaya meningkatkan kompetensi akademik dan profesional diri.
Atas dasar konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor dimaksud, sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan kompetensi profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah (scientific basic) dan kiat (arts) pelaksanaan layanan profesional bimbingan dan konseling. Landasan ilmiah inilah yang merupakan khasanah pengetahuan dan keterampilan yang digunakan oleh konselor (enabling competencies) untuk mengenal secara mendalam dari berbagai segi kepribadian konseli yang dilayani, seperti dari sudut pandang filosofis, pedagogis, psikologis, antropologis, dan sosiologis. Landasan-landasan tersebut dipergunakan untuk mengembangkan berbagai program, sarana dan prosedur yang diperlukan untuk menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, baik yang berkembang dari hasil-hasil penelitian maupun dari pencermatan terhadap praksis di bidang bimbingan dan konseling termasuk di Indonesia, sepanjang perkembangannya sebagai bidang pelayanan profesional.
Kompetensi Akademik calon konselor meliputi kemampuan (a) memahami konseli yang hendak dilayani, (b) menguasai khasanah teoretik, konteks, asas, dan prosedur serta sarana yang digunakan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling, (c) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (d) mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan yang dilandasi sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung[11]. Pembentukan kompetensi akademik calon konselor ini dilakukan melalui proses pendidikan formal jenjang S-1 dalam bidang bimbingan dan konseling, yang bermuara pada penganugerahan ijazah akademik Sarjana Pendidikan dalam bidang bimbingan dan konseling, dengan gelar akademik disingkat S.Pd.
Kompetensi profesional yang utuh merupakan penguasaan kiat penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang memandirikan, yang ditumbuhkan serta diasah melalui latihan menerapkan kompetensi akademik yang telah diperoleh melalui pendidikan akademik yang telah disebutkan, melalui latihan yang relatif lama serta beragam situasinya dalam konteks otentik di lapangan yang dikemas sebagai Pendidikan Profesional Konselor, di bawah penyeliaan konselor senior yang bertindak sebagai pembimbing atau mentor. Keberhasilan menempuh dengan baik program Pendidikan Profesi Konselor (PPK) ini bermuara pada penganugerahan sertifikat profesi bimbingan dan konseling yang dinamakan Sertifikat Konselor, dengan gelar profesi Konselor, disingkat Kons. Oleh karena itu, kedua jenis kemampuan yaitu kemampuan akademik dan kiat profesional, adalah ibarat 2 sisi yang dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan.
Seorang guru pembimbing atau konselor profesional selayaknya memiliki pendidikan profesi, yaitu jurusan bimbingan konseling Strata Satu (S1), S2 maupun S3. Atau sekurang-kurannya pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan tentang bimbingan dan konseling.
Seorang guru pembimbing atau konselor nonprofessional yakni alumni fakultas keguruan atau tarbiyah dapat diangkat menjadi seorang konselor profesional, tetapi harus mengikuti terlebih dahulu pendidikan tambahan (pendididkan profesi) dalam bidang bimbingan dan konseling.
Syarat pendidikan berkenaan dengan keilmuan yang dimiliki oleh guru pembimbing atau konselor. Konselor tidak saja harus memiliki ilmu bimbingan dan konseling, tetapi juga harus memiliki pengetahuan psikologi, bimbingan, dan konseling keterampilan komunikasi sosial dan konseling.
Seorang pembimbing harus memiliki kemampuan (kompetensi). konselor dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan melaksanakan konseling. Guru pembimbing atau konselor harus mampu mengetahui dan memahami secara mendalam sifat-sifat seseorang, daya kekuatan pada diri seseorang, merasakan kekuatan jiwa apakah yang mendorong seseorang berbuat dan mendiagnosis berbagai persoalan siswa, selanjutnya mengembangkan potensi individu secara positif. Keprofesionalitas konselor diantaranya dapat ditunjukkan dengan hal-hal tersebut diatas.

6.      Komitmen profesional konselor terhadap komitmen etika profesional antara lain meiliki kemampuan:
a.       Melaksanakan referal sesuai dengan keperluan
Konselor yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli (counselee) mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain. Konselor wajib mengakhiri hubungan konseling dengan klien bila dia menyadari tidak dapat memberikan bantuan pada klien. Bila pengiriman ke ahli disetujui klien, maka menjadi tanggung jawab konselor menyarankan kepada klien dengan bantuan konselor untuk berkonsultasi kepada orang atau badan yang punya keahlian yang relevan. Bila Konselor berpendapat bahwa klien perlu dikirm ke ahli lain, namun klien menolak pergi melakukannya, maka konselor mempertimbangkan apa baik dan buruknya.
Konselor harus bersedia merujuk konselor lain untuk klien apabila ia merasa tidak mampu menangani seorang klien yang datang kepadanya. Sebagai konselor, kita dituntut untuk mampu bersikap demikian. Seorang konselor tidak bisa menangani konselinya karena beberapa alasan, misalnya jika kasusnya atau akibatnya bisa menimbulkan sesuatu yang tidak baik (misalnya pada kasus-kasus histeria), atau kita merasa bahwa dia akan lebih baik ditangani seorang konselor wanita, dan sebagainya.
Dengan keahlian yang ada, kita bisa melihat bahwa klien ini sebaiknya kita “refered” ke orang lain. Itu tindakan profesional. Misalnya, jika saya melihat klien ini tidak bisa maju-maju sepanjang konseling dengan saya (konseling juga menyangkut soal kecocokan) atau sukses konseling itu kecil, saya wajib mengarahkan dia ke konselor lain. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban seorang konselor. Walaupun kita begitu tertarik pada kasusnya, janganlah merasa kecewa sekiranya kita tidak bisa menangani dia. Dia mungkin tidak cocok dengan kita. Setiap konselor harus memprediksi sukses suatu konseling, hingga sejauh mana bisa berhasil. Kita harus membangun sikap profesional, bukan semata-mata karena keinginan untuk membantu atau tertarik.
b.      Mendahulukan kepentingan konseli daripada kepentingan pribadi konselor
Dalam pelayanan bimbingan dan konseling, seorang konselor harus berdikap profesional dalam pekerjaannya. Sikap profesional ini diantaranya ditandai dengan mendahulukan kepentingan pribadi konseli. Apabila konselor mendahulukan kepentingan pribadinya dibanding kepentingan konseli, maka ia dianggap gagal menjalankan tugasnya sebagai seorang konselor, karena ia telah melanggar salah satu aturan yang terpenting dalam etika konseling.
c.       Menjaga kerahasiaan konseli
Konseli menuntut dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.


E.     Upaya-upaya dalam Pembentukan Konselor Bersikap Profesional dalam Konseling
Dalam meningkatkan mutu, baik mutu profesional maupun layanannya, guru harus meningkatkan sikap profesionalnya. Hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut[12].
1.      Pengembangan sikap selama pendidikan prajabatan
Calon guru dididik dalam berbagai pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaannya nanti. Menurut Page dan Thomas pendidikan prajabatan merupakan sebuah istilah yang paling lazim digunakan lembaga pendidikan keguruan, yang merujuk pada pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh lembaga jenjang universitas pendidikan untuk menyiapkan mahasiswa berkarir dalam bidang pengajaran.
2.      Pengembangan sikap selama dalam jabatan
Pengembangan sikap profesional tidak berhenti apabila calon guru selesai mendapatkan pendidikan prajabatan. Banyak usaha yang dapat dilakukan dengan cara formal melalui kegiatan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegitan ilmiah lainnya ataupun secara informal melalui media masa televisi, radio, koran, dan majalah maupun publikasi lainnya. Kegiatan ini selain dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, sekaligus dapat juga meningkatkan sikap professional keguruan.
data:image/jpeg;base64,/9j/4AAQSkZJRgABAQAAAQABAAD/2wCEAAkGBxMTEhUTExIWFRUXGBUYGBcYFxgYFxcVFRcXFhcXFxcYHSggGBolHRUVITEiJSkrLi4uFx8zODMtNygtLisBCgoKDg0OFxAQGy0lHx0tLS0tMC0tKysrLSstLS0rLS0tLS0tLS0tLS0rLS0tLS8tLS0tLS0tKy0tLSstLSstLf/AABEIAJMBWAMBIgACEQEDEQH/xAAcAAACAgMBAQAAAAAAAAAAAAAAAQIGAwUHBAj/xABCEAABAwIEAwYCBggDCQAAAAABAAIRAyEEBRIxBkFRBxMiYXGBMpEUI1KhsdEVQmJyksHh8BdEYyQzQ4KissLS8f/EABkBAQEAAwEAAAAAAAAAAAAAAAABAgMEBf/EACERAQACAgIDAAMBAAAAAAAAAAABAgMRITEEEkEyUWFC/9oADAMBAAIRAxEAPwCghDgogqQWQkFJY5UwUEk591GVnwWEfVeKdJjnvdMNaJJgEmBzsCfZBikpykel0gUE5QFAu9FPQ6Jgx1goBEpSgFBOUwVAJoGUBEoBQSTBUUSgnKAoFEoMmpAUNRUg4orIhQlPUgkkSUkroJBAKiQkAgmChRJQgYKepQICEVMOQouKAUEyUio6kygRTJSDkIGhIJFA0SmEiEhiYQiIQqNWCpAqAKJUGRMFQDk5QZG3tzXbuEuAqGFfTrOquqVhqi4DA4tLXBrQJMSRcrh4K3+SZzVdjcNUq1XP01qW5MAamtsNhbp0QdErZfktN72VmtZU1EnvXuk6iTIAdAmLC24UDj8hYD4aJMkx3TnEhpIABAjlzN5VZ7WcAWYzvIAbUaDIBHibvJ5k2v0A6FUhB1atxllFOHU8KHOBtFFreUWmN/5KncW8YVMYQNIpUwANDT8URd3uLDl57rXZXw9isQJo0HvG2qwbyHxOIHMLfP7NMcBJ7kbf8Tr7IK5kuBNevTohwYXuDdTthP4ny5mFd+0nIaWEw2GZSbADiC4ganO03Lj5wDAtYrFkfAWLo4mm94oOZTcC/wCskaSLiCBJ0mYNriVau0nJa9ehppMdULX0tIttDw4gk2u4TPlE8g5RkGUVMXWbQpwHOky6wAFySUZ/lrsNWdRdEt/WDgdQPO23O24Vt7O8mxFHGl1ShUYW0qkE2bqLmtgn4eZkHaCeS83a5SjGNdoLdVMAm0OLSbiPJzRe6ClpgrGHIDkGem0kgDmYvYe5WzzLKWU6YezFUqpkAtZqkEybahcWN/zWo18rwlKDIlKjKnSYXGACT0Ak/IICVIFe45DigwvOGqho3JY4e8ESRfdYMTl1Wm1jqlNzA+dJcImIkgb8x80GEFLUoBSlFTD0SoBOUDQVGU5QOEAqKaByglJOUUNQEIQS5JISKBkolRCZCBhEpBAREgjUkUBA0ITVRqQgqKQKgnKlqWNSCD0YWg+o8MY0uc6zWtEkq45f2bY97Q8hlOwIDnQ655hoOmN+tutlWuHMzbh67Krm6g3VbeNTS0GOcTMSJ6qxZv2jYqqR3UYdo2DCSTAi5No8oQX/AI04ZqYqhQFSs1hptGshj6hdUIDTpAM6ec36qot7Lq0jTiaDzZ2k6xLTfkCYMRZWbinMqzMso16dUipow7yQQ4kuDXOc8OabAxzAl1+U82bxjjWvNQVyXRB8LRIuYOkCQC4kIjpdRub8hhqdM2bSJMMbpjTLGAt5m5tAHrpuJsfmGAYNVajUZWlvwu1MJ8RA1GWzJ2+QVXZ2gY8Nc1tUN1aiSGMnxEkxItuVXsdj6lZ+uq8vcebjJtb+QQX/ACDj7E1cS2m4sZSe50hrNQaSDpJMzAdpnyV14wz+rhG6xSLg2DqghsOBGjfeQDqggAciQuTcBUw7H0A4kNJcDBiBodueQ5e66J2jktw1Si4SdMsdqcAQ1we4EC0wxsA2kWQarh7jDF47G0hLWMpgvdTZqHeCzTN5cfHIGwheDtepfW06gEg6gTJMEBtncr7iLGD0Wn7OahbjQ4EAhlTSHGGudA0tJGwkg7HbZWTtXZrbh9A1PquNgBcbUh1Bh8AIKbwrw9UxdZjdLxSLtL6jRZp0l0aoIBMdDEixsDceIeBsLh8FXqsealWm2ncus12trXQGwCDJ3Bhe3O6rMsytlJg+trS0TuSQC+pp5RaJ5lq9mQYQfoo0j9Y6qxwDTqa5zyNb2kPiDEeumRNkHH6NIvcGNBLiQALCSeW8e66Dl/ZyGUHV8U/YE6KbhLQN5cREiNhPuqNkL3DEUdJh3eMgwDB1dOe/NdzzVvdsc2WljKJ1U5dNR5sGzc6ZiDcy69oQci4P4dOMrOAD+5pjU+CNUT4WAm2swegsdld86zBmW4dv0Wmxj9QYZGrU7SS6o421usImQ3osXZuwNwQLKTy6o90va4Nl4B0NE2LQADJ2M2K0XavWnEUg2pqp93qa0fqkkgk38RJEyitjwp2hVXVqbMXUOgkjWAB4nANaXxs0X2jeT1Vu4pp0cbhpDmgaiRUqWpt0yC4utYwYIMEgb3XCNSzPxT3CC9xHQuJE9YPoPkgk4iTBkDne463V+wHBFClhvpOPruY06dLaRE+ISGkubd8nYbQVzxrl1Didv6Qy6nVwwc84d2l9NswfANTg0wfCTa2xPJBVhRyxziA/FUmn4XO7qoG/vMaA75Ela7MctbTd9XiKVZl4cHaDETdj4IPlfZawvRqRUgVKVAlOUDJTBWMlSDkVIp+ihKEElIlYtRUkEgmSkkgEBEpIJJgpApoGlKC5JqCQQmChVGlTUFMKIYKahKkEGQKQWILLQpl7gwbuIaPVxgfig69xxiRTyyjRsS7D0RGsB7Q0U76ebZEH0HtyEFdU7WcS0BuEYxzqkU3SAXQweHQBBgeEGRHTqudUMjxT/gwtd3pSefwCDwBNWShwDmLv8q4fvOpt/F0rw5vw5WwzZrOpNdaKfetdUIJ30NkxzkoN12WUA/MGAmIY877wNo5/0nkrT2s66dIadRp1CxriTOk0/hBJ+1JO9yFVezXHUsPXqV6r9LadI2gEu1OaIAN59PTmvXx7xfSxIdTotlrtB1eNsOa43IMT4YERF5kkIjwdmj3DH0y0EkNqnSP1oYTF7DYX5GF15uUsqYhlaowFzNVSXRqaXAtYyQIIaNUid9JvuuNcBZpRw2LFas9zWCnUHhBJLnCALbbm/kt5xV2gmo00sIXMY8EVHFsOfMtJBBtIi9iPvQaDjrPfpeKqVAT3bPBTHRjZv7mT7hdjyhop0KchjWNosJjwnWRqtAFrAAg3nyXz7K7a7i7A4agAMQ172sDWtZLpI3kC1yN7WhCXKcvqFuY03aNJ+ksOgz4ZqjwkG/OF2bOHUaIfWqvBa/u2P1knSILCALzIJ/h3XFsnqPr46i90ufUxFNzo5k1A4x967Pxy7Vg8QwObra0nSBqdBJLLbg73g80JVLgXPhSwrKZuBVIEU6jgKdQkPuG3cIc4DpK1va5gQyph30x9U6m4NcNidZedhG1QR5Kl5fmDqRdpJGoAGCR4dTXRY7S0LreOotzfAupscw16RYWEWDnCm0m27Q4OLdyAQOiDjWpZqVFzg5zWOc1gBeQCQ0EwC4jYTa6s1Ds8xbTqxLqWFpD4qlSowxeLNa65uOiXEfENFlH6FgGltEH62qT467rzMfqSTz2sABuVVtSsnB/FtXA1AQdVImX07XtEtJ+F23rCq+pSlFdN4s4YoYmj9OwTmhunVUZYSSdwBYPmQRtLfVc4lXHsy4kFCt9HqAGjWIBkE6XgHTAAM6jAI9Cs3atkzKFdlSmxwFQOLidnPkmQRzj8FBSJQoSiUVMuRKxaka1BlLk5WDWmHIM4KYcsAepalRmCepZMNgK1QTTo1Hjq1j3D5gLDiGOYdL2uaejgWn5FNrpMORqWJlRZA5Nmk0SoymFUBKAEBNAwUICERpiU1CE2oiQTSCcoJStrwvi6VLF0atb/AHbHazYky0EtgDc6g1aoICC4YvtFxxeXU63dg9GUi42i5LT6wvJX45zF2+MqewY3/taFWyp02k2aCTvYExHog2VbiXGPaGuxVYt6d44fON/daxzpJJuTcnqTzPVb/LuCcfWEswrwPtPimB/GQfuW5b2aVmgOxGKw1AGYl5c6wJMCACYGwKCjhSXSMP2a4dgmvmLBPibpDQO7n4iXOIE9dh5r2u4Vyak1r31i4O+3iGNcR9sNGk+w5ckHKwUSun1Dw9Skae8It4XVnAkftTEGd9reSjhOIMjDWg4XSdIBHcioAefjeC52+/kg5kkF1LEcR5Hp0jC6vPuGMPu4CRMchN+SwV86yJ7NLsMW3nwUSxwj9oOkg/2EFFyDMzhsRTrhocWGQD6ET63Ww4o4xr4yprvSbpDQxrptMmXQCST6dFaTmXD7v8s5pJ/1RA6yHW9vvUDl2QOJ01ni0ga3tbY7aqgPiM9YgbIOazC9eXZrVoOLqNQ03HctiYHqFdMVwhljntFHMrOkAeCqQQNV3NLYtFjefOyh/hp3gnD4+jVPQtLbxMEguhBTs0zmviCDXqvqETGo7TcwNgvBqVyxXZhmLZ006dQX+GoAT7P0rQ47hbG0rvwlYDqGF4+bJCDZ8McUU8Ox1KvhKeIpOJNwA8EjkSLieu14WeqcoquOl2Lw1rS1lVuq8iA7V05hU51jBEEbg2PuFlw1F1RzWMaXOcQ1rRu5xMAD3UkXfI8blWEd3018TVYQaYdTbTpzBvGo7TznkQF4OMuLX4548OikwuLGbmTbUT1gAQLWPVb6t2Q4xrQWVaD7CRLmkHmB4SD6yFocw4AzGnM4V7gOdMtqT6BhJ+5Taq3KA5Xvh/gWmaYfi3va4ie7Hh0Do8kTq6i0bLdYXgjBONqbtPIue+T52IgLRbyKROnTXxclo25dhqLqjwxjS5zjAA3JV8yPs9mDiKnqyn+Bef5D3Vsy/g7DUXl9Buh0aZJc4Qb21G2wXvptfSs5sj7QuPfotOXyLf54h0YvGrH5cy19HhvA0xAw1IxzcNZ+b5K9lDIMIWn/AGWhB3Hds/JYqGY0nEtcLytnSptMafusJ8/yWmt5n66LY61jpWM27N8LV8VFzqBPIeJh/wCV1x7ELz8OdnjaLy/EltaD4AJ0W2Lmnc+W1ufK8NJG9/P8lkB/qt/vbWtuecdYnemK2wsAsOJw7XnS5oc20giRa+xXqNPf1WF4I3EjqFqnbbHKu5jwPhKsxS7txmDTOmPPT8J+Sp+c9n2JpAuokVm9ANNT+EmD7GfJdWZW5rJ3gWyuSY+tV8cT3DjGX8H4yoJ7rQOWsgH5CSPcL3f4eYn7dL3c7/1XWSAsbqHmspzXYxhx/XI63A+Mbsxrv3Xt/wDKFp8fllaiYq0nM/eFj6HY+y7mygpuwzHgtexrgdwRIPqCsq57fYY3wU+S+f0LqXEHAFF8uw57p/2bmmfbdvtbyQt8ZauecNvjiUoCUoK2NKcpgqIKEE1ceFeAquKDar3ilRJGwD3kbzpnwN83H2VMlWijxxiW4Y4dsCWd2X+Iu7vSGQ0E6QYAvCC34jLsnwLdRZ9Me06Xanj4iJH1ZhjheDAMKY7TcLTYG08KQCBLGBtNrf2SRGrYXi+3Vcnc8kkkknqbn70ILvie0vGOc4t0NB2Ba1wAIiwgXjmtBmPEmKrE95VcZIMCGiQABYcrAxtN91p0AoMz6znfESY2kkxN7TsoBQCYKCUpSlKRKCepGpYwUEoJlyWtKUIFKQfBkEg8iLEe6ZKiAg9tPOsS2dOJrCd4qvvzve62uX8eY+j8OJcQNXheGvHi33E/fZVwqJCC7P7S69QacRhsJXH+pSJ/F0fcoZTxdhWYzD1foFGhpqeJ9Nz4h4LJDDZsap9lTJXjx+ykj6socSUHbVG/NbGlmDHbOHzXxzQzesz4ajvmVuMFxvi6e1QrDleHVs9zZrMTVY6oXO7xxjYAEy313WzwGbAj7lw/NM9qYh4qOs+Nxz9V7Mr4seww8yFxZPHnuHpYfKrrVn0DhMZK2H0gQuacO8StqAQ6VaW5iOZ3WiLTXh0+sW5bTEYCjUuWCftNsfmN1i/Rz6Y+qcXD7JsfY/mpUibFv9D5r14fEmVlERPaz7V6eCjmZHhdYjcGQV7qOMB/vZZsbl1Os3xWPJw3H5jyVTxrauGdFQS0nwvHwnyP2T5fipb3p/YK+mTjqVwDrj7/AJLK11lWcFnAMXhbyliQ7msq5IlqvimGZ2HB2t/fRQbQIWVpUw5Z6iWv2mGMNQQsyIV0x9kWUwRYlRcYsfmpaOix1yUnpY5kjUn2QsDihYe0tkUfNCEBJeo8hIKQUJUvdBIFEpNKbUBKYUU0E0kpRKCUpJBCCcpJIQCIQhAAJJwkUAolCEChBTSQRK82IbK9RCxvCkq0tWnBWKFs8RSXgeyFEJjk3qCFF29uWZk+i4Fp9ldcPxXrAvHVc9lTp1CDIWvJhrbluxZ5o7dkefOMQ7e0TI+SueCxZcJO/kuCZBxCWEBxsumZLn7XRBXDek0l6uPLXJDolGus9VjXtLXNDmncESCq9hsfJB6ra0cQErkY3xfYVrOeF30iamHl7NzT3e390/rDy39UsmzaRBPl/wDfNXCjWlaXPuHW1nCrSIp1B8VpDx+0Bz81jbH9qypln8bvbQxFt5WSpiyF4sHQc0Q8CRzG3sszqfVYRaWU1rt6sPjg47wvYHKpY2m6mdTD5/30WyyvN9fhdYhZ0y86ljkwRrdW4NVY3Vlge6bysL3GVs9muMcA1ZdHJJTLeaFrls1+nzaCmSoJr13hpBEJApoG1SUGqSATJUQpSgAU1FSQNJJOEDCkFBNBJAakHJygCEiE5RKCMJJkpFASoymkQgUqJUlEoMNVq8NZq9715qrViNe9qgVnqNWIoIJgoSQTBW2yrOX0yL2WnBTWNqxaNSzpeazuHXeH+Ig6Lq7YLMw4b/NfPWX4803Ayr9kPEAMXgrz8uCa8w9TD5MWjUus4fFGVsWYlUnLsy1WJv6qxYLFtJ0nntK1Vtp0WrFm31ypd3Kg1gm2yzhkCxW2I20TOumvxWHn1WoqYUAzMFWCuVra1OStdqxtupadHhanKZXq0rwtbC99CoCrBaTd0TUKxvEJpMpHT5qUgooleu8JIIBQgoGFIKACkgYKYKigFBKUBCAgcpyopEoJKMolIIJSpKARKCaRCQKlKAQCkUkElEhBRKBJSpKJCDE5eeqF6XrC8IPHUC87gvW8LzvasRhKipkKJCBJhJCCS9OExJad15kKTG1idLplWdu2n0KtOE4hLm7+Nv8A1ALlFGuQtrgcy0uBnZcmTBDvxeTMO58PcUMrN0k3G56LetzFo5/1XG8K+Hd7SNjEgcirThcwqRcrmndXdWa3Xn6aCoCqJ/qqxQzEle7D4re91hNmXrHxuHm6x945q8zK99+a9FU3V2x1p6qNbUJO6Fhw7gChXgfPCQQhew8FIIlCEDTCEIAoQhAEqQKEIBIoQgJTA/mhCBBSQhABIpoQCChCABshCEAolCEGNywvQhBhevO5CFJGFyghCgihCEDCaEIBZaaEKSyqtPDVV0ETZXLL3ki55IQvPzdvTwdNhTNivVhSmhc8uuHt1GPkvWyoYF00KQssk2QhCyR//9k=

[1] Rismawaty, Kepribadian dan Etika Profesi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), hal. 63
[2] Ibid, hal. 64
[3] Noriah Mohd Ishak, dkk. Counseling Professional Ethics From Viewpoint Of Counselor Educators (Journal of Educational Psychology & Counseling, Volume 5 March 2012), Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia, hal. 77-79
[4] Ibid., hal. 77-79
[5] Tri L, Febrian, Sikap dan Etika Profesional dalam Konseling, (Kediri: Universitas Nusantara PGRI, 2013)
[6] Tri L, Febrian, Sikap dan Etika Profesional dalam Konseling, (Kediri: Universitas Nusantara PGRI, 2013)
[7] Farozin, Muhammad, Pengembangan Profesionalitas Guru Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2008), hal. 14-15
[8] Willis Sofyan S., Konseling Individual Teori dan Praktek (Bandung: Alfabeta, 2007), hal. 86-87
[9] Nursalim, Mochamad, Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Erlangga, 2015), hal. 76-77
[10] Sari, Sonya Mulan, dkk., Pengembangan Pribadi Konselor, (Surabaya: FKIP Universitas PGRI Adi Buana, 2015)
[11] Eliasa, Eva Imania, Menjadi Konselor Profesional: Suatu Harapan, (Yogyakarta: PPB FKIP UNY, 2011), hal. 2.
[12] Tri L, Febrian, Sikap dan Etika Profesional dalam Konseling, (Kediri: Universitas Nusantara PGRI, 2013)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengkaji Tradisi Sekaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perspektif Islam

Kontestasi Makna Religius dan Budaya dalam Pelaksanaan Ritual Tabuik di Sumatera Barat

Dari Dalam Diri: Membangun Harmoni dalam Hubungan Internal Agama dan Spiritualitas