Etika dan Pengembangan Sikap Profesional dalam Konseling
A.
Etika Profesional dalam Konseling
Dari segi etimologi (asal kata),
istilah etika berasal dari kata Latin “ethicus” dan dalam bahasa Yunani
disebut “ethicos” yang berarti kebiasaan[1].
Dari segi terminologi (istilah) mengatakan etika adalah suatu ilmu yang
membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia. Mana yang dapat
dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.
Etika merupakan cabang filsafat,
sehingga etika adalah penyelidikan filosofis mengenai kewajiban-kewajiban
manusia, dalam hal-hal yang baik dan buruk atau dalam pengertian lain tentang
moral dan immoral[2].
Corey menjelaskan ada lima prinsip
dasar mengenai etika yang merupakan bagian dari sebuah pemberian bantuan yang
berfungsi untuk meningkatkan etika seorang konselor hingga menuju level
profesional. Kelima prinsip dasar tersebut akan dijelaskan sebagai berikut[3].
1.
Otonomi
Prinsip ini menunjukkan kebebasan seorang untuk memilih seorang
konselornya dalam menghadapi masalahnya dan promosi seorang konselor dengan
menunjukkan keunikannya melalui metode konselingnya. Prinsip ini didasarkan
kepada teori humanistik yang dipelopori oleh Carl Rogers. Dalam melihat dampak
dari otonomi ini, konselor harus mempunyai keilmuan yang benar akan kliennya
untuk memilih dan melakukan pemberian bantuan sesuai harapannya, dan seorang
konselor profesional harus menunjukkan jalan yang terbaik dalam penyelesaian
suatu masalah.
2.
Tidak Melanggar
Kode Etik sebagai Seorang Konselor dan Klien
Seorang konselor profesional harus berusaha untuk menghindari
resiko dari proses konseling yang dilakukan, baik masalah fisik, emosi, dan
psikologis, atau tingkah laku yang berpotensi menyinggung diri klien. Konselor
harus berhati-hati dalam memberikan bantuan (treatment) kepada seorang
klien.
3.
Dengan Penuh
Kasih Sayang
Prinsip ini menjelaskan bahwa melalui proses konseling mampu
menghasilkan kondisi yang lebih baik bagi seorang klien. Secara alami, proses
konseling profesional menghasilkan perubahan pada klien menggunakan pendekatan
budayanya.
4.
Menggunakan Prinsip
Keadilan
Keadilan ini berarti bahwa setiap proses konseling yang dilakukan
kepada setiap klien harus sama, tanpa membedakan faktor apapun. Setiap orang
apapun jenis kelamin, umur, asal, atau difabel secara umum harus diberikan
akses yang sama dalam pelayanan konseling.
5.
Dengan
Menggunakan Kesetiaan
Kesetian berarti bahwa seorang konselor yang profesional harus
memberikan janji yang benar dan tidak memberikan janji palsu artinya harus
berkomitmen dalam pelayanannnya. Artinya dalam proses konseling yang dilakukan
dengan penuh keterbukaan antara konselor dan klien.
Mengaplikasikan kelima prinsip ini
untuk mencapai keprofesionalan dari seorang konselor merupakan tugas yang tidak
mudah, khususnya kepada klien yang berbeda budaya. Dengan kesuksesan
mengaplikasikan semua prinsip ini maka akan dicapai level profesionalitas
praktisi konselor[4].
Etika
profesional konselor adalah kaidah-kaidah perilaku yang menjadi rujukan bagi
konselor dalam melaksanakan tugas atau tanggung jawabnya memberikan
layanan bimbingan dan konseling kepada konseli. Kaidah-kaidah perilaku yang
dimaksud diatas sebagai berikut[5].
1.
Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan penghargaan sebagai manusia dan
mendapatkan layanan konseling tanpa melihat suku bangsa, agama, atau budaya.
2.
Setiap manusia/ individu memiliki hak untuk mengembangkan dan mengarahkan
diri.
3.
Setiap orang memiliki hak untuk memilih dan bertanggung jawab terhadap
keputusan yang diambilnya.
4.
Setiap konselor membantu perkembangan setiap konseli, melalui layanan
bimbingan dan konseling secara profesional.
5.
Hubungan konselor dengan konseli sebagai hubungan yang membantu yang
didasarkan kepada kode etik (etika profesi).
6.
Bekerja dalam
suatu tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional lain.
7.
Menyelenggarakan
layanan sesuai dengan kewenangan dan kode etik professional konselor.
8.
Melaksanakan
referal sesuai dengan keperluan.
9.
Mendahulukan
kepentingan konseli dari pada kepentingan pribadi konselor.
B. Pengertian
Sikap Profesional dalam Konseling
Sikap merupakan suatu kecendrungan
untuk mendekat atau menghindar, positif atau negatif terhadap berbagai keadaan
sosial baik institusi, pribadi, situasi, ide, konsep dan sebagainya. Menurut
Gagne (1974), mengatakan bahwa sikap merupakan suatu keadaan internal (internal
state) yang mempengaruhi pilihan tindakan individu terhadap beberapa objek,
pribadi dan peristiwa.
Sikap dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu :
1.
Sikap Sosial
Sikap sosial dinyatakan oleh cara-cara kegiatan yang sama dan
berulang-ulang terhadap objek sosial, dan biasa dinyatakan oleh sekelompok
orang atau masyarakat.
2.
Sikap Individu
Sikap
individu adalah sikap yang dimiliki dan dinyatakan oleh seseorang.
Sikap
profesional seorang konselor adalah kecenderungan yang menunjukkan bahwa dia
adalah konselor yang memiliki sikap profesional, sikap yang dimaksud adalah
sebagai berikut.
1.
Konselor yang
memiliki kesadaran terhadap komitmen profesional.
2.
Secara kontiniu
berupaya untuk mengembangkan dan menguasai dirinya.
3.
Harus mengerti
dan memahami kekurangan dan prasangka-prasangka pada diri konselor.
4.
Bertanggungjawab
terhadap saran dan peringatan yang diberikan dari rekan seprofesi.
5.
Mengupayakan
mutu kerja setinggi mungkin.
6.
Terampil dalam
menggunakan teknik-teknik khusus yang dikembangkan atas dasar wawasan yang luas
dan kaidah-kaidah ilmiah.
7.
Peduli terhadap
identitas professional dan pengembangan profesi
8.
Memahami dan
mengelola kekuatan dan keterbatasan personal dan profesional.
9.
Mempertahankan
objektivitas dan menjaga agar tidak larut dengan masalah konseli[6].
Seorang professional tentu saja akan
menerapkan keahlian yang dimilikinya kepada masyarakat. Penyalahgunaan atau
penyimpangan penggunaan keahlian ini tentu akan sangat merugikan masyarakat.
Oleh karena itu diperlukan suatu etika profesi yang dalam hal ini bertindak
sebagai “self control”. Karena seorang professional mendapatkan
keahliannya melalui proses pendidikan berkualitas tinggi, maka pembentukan
etika profesi juga harus dilakukan oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri.
Inilah yang menyebabkan timbulnya organisasi profesi dengan perangkat “built-in
mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan
untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi.
Pelayanan bimbingan dan konseling
baik di sekolah atau perguruan tinggi maupun di luar sekolah, kode etik profesi
bimbingan dan konseling harus dipergunakan sebagai acuan atau pedoman kerja.
Memperhatikan kode etik tersebut, maka konselor harus memiliki dan
mengembangkan sikap profesional konselor yang memberikan citra positif terhadap
profesi dan kepribadian yang terpuji dari sosok konselor. Sikap profesional
yang dimaksudkan disini adalah[7]:
1.
Sikap terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain: memahami, mentaati,
loyal dan melaksanakan.
2.
Sikap terhadap
organisasi profesi bimbingan dan konseling yaitu Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN) antara lain terdaftar sebagai anggota, menjaga nama
baik, dan berpartisipasi terhadap program kerja.
3.
Sikap terhadap
teman sejawat antara lain: saling menghormati, menjaga, bekerja sama dan saling
membantu.
4.
Sikap terhadap
konseli antara lain: unik, dinamis, memperlakukan secara manusiawi dan
memfasilitasi tercapainya kemandirian
5.
Sikap terhadap
tempat kerja antara lain: merasa senang, menciptakan hubungan kerja harmonis
dan sinergis, serta menjaga kenyamanan.
6.
Sikap terhadap
pimpinan tempat kerja antara lain: memahami arah kebijakan, loyal, mentaati,
dan menghormati.
7.
Sikap terhadap
pekerjaan antara lain: senang, sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas profesi
seiring sejalan beribadah, menyesuaikan kemampuan dengan kebutuhan konseli,
meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas profesi.
C.
Persyaratan sebagai Konselor Profesional dalam Konseling
Prof. Sofyan S. Willis (2009: 79-85)
memaparkan secara panjang lebar kualifikasi konselor profesional.
Menurutnya, kualitas konselor adalah semua kriteria keunggulan, termasuk
pribadi, pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dimilikinya
yang akan memudahkannya dalam menjalankan proses konseling sehingga mencapai
tujuan dengan berhasil (efektif).
Salah satu kualitas yang jarang
dibicarakan adalah kualitas pribadi konselor. Kualitas pribadi konselor adalah
kriteria yang menyangkut segala aspek kepribadian yang amat penting dan
menentukan keefektifan konselor jika dibandingkan dengan pendidikan dan latihan
yang ia peroleh.
Kualitas pribadi konselor merupakan
faktor yang sangat penting dalam konseling. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu bagi
pencapaian konseling yang efektif, di samping faktor pengetahuan tentang
dinamika perilaku dan keterampilan terapeutik atau konseling.
Beberapa penelitian pakar konseling
menemukan bahwa keefektifan konselor banyak ditentukan oleh kualitas
pribadinya. Secara umum, berangkat dari hasil penelitian tersebut, khususnya untuk
konteks Indonesia, beberapa karakteristik kepribadian yang perlu dimiliki
seorang konselor adalah sebagai berikut[8].
1. Beriman dan bertakwa.
2. Menyenangi manusia.
3. Komunikator yang terampil.
4. Pendengar yang baik.
5. Memiliki ilmu yang luas, terutama tentang
wawasan tentang manusia dan sosial-budaya.
6. Menjadi narasumber yang kompeten.
7. Fleksibel, tenang, dan sabar.
8. Menguasai keterampilan atau teknik.
9. Memiliki intuisi.
10. Memahami etika profesi;
11. Respek, jujur, asli, menghargai, dan tidak
menilai.
12. Empati, memahami, menerima, hangat, dan
bersahabat.
13. Fasilitator dan motivator.
14. Emosi stabil, pikiran jernih, cepat, dan
mampu.
15. Objektif, rasioanl, logis, dan konkrit.
16. Konsisten dan tanggung jawab.
Cavanagh (1982) mengemukakan bahwa
kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai
berikut[9].
1.
Pemahaman diri
(Self-knowledge)
Self-knowledge ini berarti
bahwa konselor memahami dirinya dengan baik, dia memahami secara pasti apa yang
dia lakukan, mengapa dia melakukan hal itu, dan masalah apa yang harus dia
selesaikan. Konselor yang memiliki tingkat self-knowledge
yang baik akan menunjukkan sifat-sifat berikut:
a.
Konselor
menyadari dengan baik tentang kebutuhan dirinya. Seperti: (a) kebutuhan untuk
sukses; (b) kebutuhan merasa penting, dihargai, superior, dan kuat.
b.
Konselor
menyadari dengan baik tentang perasaan-perasaannya. Seperti: rasa marah, takut,
bersalah, dan cinta.
c.
Konselor
menyadari tentang apa yang membuat dirinya cemasdalam konseling, dan apa yang
menyebabkan dirinya melakukan pertahanan diri dalam rangka mereduksi kecemasan
tersebut.
d.
Konselor
memahami atau mengakui kelebihan (kekuatan) atau kelemahan (kekurangan)
dirinya.
2.
Kompeten (Competent)
Yang dimaksud kompeten disini adalah bahwa konselor itu memiliki
kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral sebagai pribadi yang
berguna.
3.
Kesehatan
Psikologis
Konselor dituntut memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik
dari kliennya. Hal ini penting karena kesehatan psikologis (psychological
health) konselor akan mendasari pemahamannya terhadap perilaku dan
keterampilannya. Ketika konselor memahami bahwa kesehatan psikologisnya baik
dan dikembangkan melalui konseling, maka dia membangun proses konseling
tersebut secara lebih positif. Apabila konselor tidak mendasarkan konseling
tersebut kepada pengembangan kesehatan psikologis, maka dia akan mengalami
kebingungan dalam menetapkan arah konseling yang ditempuhnya. Konselor
merupakan model dalam berperilaku, apakah dia menyadari atau tidak. Setiap
pertemuan konseling merupakan suatu periode pengawasan yang begitu intensif
terhadap tingkah lakuyang adaptif. Ketika konselor kurang memiliki kesehatan
psikologis, maka perannya sebagai model berperilaku bagi klien menjadi tidak
efektif, bahkan dapat menimbulkan kecemasan bagi klien. Apabila itu terjadi,
maka konselor bukan berperan sebagai penolong dalam memecahkan masalah, tetapi
justru sebagai pemicu masalah klien.
4.
Dapat Dipercaya
(Trustworthiness)
Kualitas ini bahwa konselor itu tidak menjadi ancaman atau penyebab
kecemasan bagi klien. Kualitas konselor yang dapat dipercaya sangat penting
dalam konseling, karena beberapa alasan sebagai berikut.
a.
Esensi tujuan
konseling adalah mendorong klien untuk mengemukakan masalah dirinya yang paling
dalam.
b.
Klien dalam
konseling perlu mempercayai karakter dan motivasi konselor. Artinya klien
percaya bahwa konselor mempunyai motivasi untuk membantunya.
c.
Apabila klien
mendapat penerimaan dan kepercayaan dari konselor, maka akan berkembang dalam
dirinya sikap percaya terhadap dirinya sendiri.
5.
Jujur (Honesty)
Yang dimaksud jujur disini adalah bahwa konselor itu bersikap
transparan (terbuka), autentik, dan asli (genuine). Sikap jujur ini
penting dalam konseling, karena alasan-alasan berikut.
a.
Sikap
keterbukaan memungkinkan konselor dan klien untuk menjalin hubungan psikologis
yang lebih dekat satu sama lainnya di dalma proses konseling. Kedekatan
hubungan psikologis sangat penting dalam konseling, sebab dapat menimbulkan
hubungan yang langsung dan terbuka antara konselotr dengan klien.
b.
Kejujuran
memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif kepada
klien.
6.
Kekuatan (Strength)
Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling,
sebab dengan hal itu klien akan merasa aman. Klien memandang konselor sebagai
orang yang (a) tabah dalam menghadapi masalah, (b) dapat mendorong klien untuk
mengatasi masalahnya dan, (c) dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah
pribadi.
7.
Bersikap
Hangat
Yang dimaksud bersikap hangat itu adalah ramah, penuh perhatian,
dan memberikan kasih sayang. Klien yang datang meminta bantuan konselor, pada
umumnya yang kurang mengalami kehangatan dalam hidupnya, sehingga dia
kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikan perhatian, dan kasih
sayang. Melalui konseling, klien ingin mendapat rasa hangat tersebut dan
melakukan “sharing” dengan konselor.
8.
Actives Responsiveness
Keterlibatan konselor dalam proses konseling bersifat dinamis,
tidak pasif. Melalui respon yang aktif, konselor dapat mengkomunikasikan
perhatian dirinya terhadap kebutuhan klien. Disini, konselor mengajukan
pertanyaan yang tepat, memberikan umpan balik yang bermanfaat, memberikan
informasi yang berguna, mengemukakan gagasan-gagasan baru, berdiskusi dengan
klien tentang cara mengambil keputusan yang tepat, dan membagi tanggung jawab
dengan klien dalam proses konseling.
9.
Sabar (Patience)
Melalui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu
klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor
menunjukkan lebih memperhatikan diri klien dari pada hasilnya. Konselor yang
sabar cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku yang tidak
tergesa-gesa.
10. Kepekaan (Sensitivity)
Kualitas ini berarti bahwa konselor menyadari tentang adanya
dinamika psikologis yang tersembunyi atau sifat-sifat mudah tersinggung, baik
dari pada klien maupun dirinya sendiri. Klien yang datang untuk meminta bantuan
konselor pada umumnya tidak menyadari masalah yang sebenarnya mereka hadapi.
Bahkan ada yang tidak menyadari bahwa dirinya bermasalah. Pada diri mereka
hanya nampak gejala-gelajanya (pseudo masalah), sementara yang sebenarnya
tertutup oleh perilaku pertahanan dirinya. Konselor yang sensitif akan mampu
mengungkap atau menganalisis apa masalah yang sebenarnya yang dihadapi
klien.
11. Kesadaran
Holistik (Holistic Awareness)
Pendekatan holistik dalam konseling berarti bahwa konselor memahami
klien secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan
berarti bahwa konselor sebagai seorang ahli dalam segala hal, disini
menunjukkan bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang
menimbulkan masalah kline dan memahami bagaimana dimensi yang satu memberi
pengaruh terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi: fisik,
intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral spiritual.
D.
Cara
Mengembangkan Pribadi Konselor Profesional dalam Konseling
Cara
mengembangkan pribadi konselor profesional dalam konseling ada 6 macam, yaitu[10]:
1.
Selaku konselor
profesional harus memiliki kesadaran dalam melakukan pekerjaan dengan
menampilkan keutuhan pribadi seorang konselor.
Seorang konselor dalam menjalankan tugasnya harus dalam keadaan sadar dan
menampilkan kepribadian yang sesuai dengan keprofesonalitasnya. Syarat petugas
bimbingan, dalam hal ini adalah seorang konselor di sekolah diantaranya adalah
sifat kepribadian konselor. Seorang konselor harus memiliki kepribadian yang
baik. Kepribadian konselor sangat berperan dalam usaha membantu siswa untuk
tumbuh. Banyak penelitian telah dilakukan oleh sejumlah ahli tentang ciri-ciri
khusus yang dibutuhkan oleh seorang konselor. Sifat-sifat kepribadian konselor
diantaranya:
a. Konselor adalah pribadi yang intelegen, memiliki kemampuan berpikir
verbal dan kuantitatif, bernalar dan mampu memecahkan masalah secara logis dan
persetif.
b. Konselor menunjukkan minat kerja sama dengan orang lain, di samping
seorang ilmuwan yang dapat memberikan pertimbangan dan menggunakan ilmu
pengetahuan mengenai tingkah laku individual dan social.
c. Konselor menampilkan kepribadian yang dapat menerima dirinya dan tidak
akan menggunakan kliennya untuk kepuasan kebutuhan pribadinya melebihi batas
yang ditentukan oleh kode etik profesionalnya.
d. Konselor memiliki nilai-nilai yang diakui kebenarannya sebab nilai-nilai
ini akan mempengaruhi perilakunya dalam situasi konseling dan tingkah lakunya
secara umum.
e. Konselor menunjukkan sifat yang penuh toleransi terhadap masalah-masalah
yang mendua dan ia memiliki kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang kurang
menentu tersebut tanpa terganggu profesinya dan aspek kehidupan pribadinya.
f. Konselor cukup luwes untuk memahami dan memperlakukan secara psikologis
tanpa tekanan-tekanan sosial untuk memaksa klien menyesuaikan dirinya.
2.
Kepribadian
konselor yang menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, antara
lain memiliki kemampuan:
a. Membedakan perilaku yang menggambarkan pandangan positif
Konselor harus bisa membedakan perilaku klien yang dimana perilaku klien
tersebut merupakan sebuah pandangan atau persepsi klien yang bisa
diorientasikan sebagai pandangan yang positif. Pandangan positif ini bisa
berwujud seperti persepsi-persepsinya konseli mengenai dunia politik,
pendidikan, situasi sosial,bencana yang ada di indonesia, dan sebagainya.
Dalam menghadapi konseli yang semacam ini, yaitu konseli yang memandang
dunia dengan gambaran pandangan yang positif, konselor harus mampu
mengendalikan suasana dan diharapkan mampu memahami apa yang dipikirkan oleh
konselinya sehingga proses konseling akan berjalan dengan lancar tanpa ada satu
pun kesalah pahaman yang terjadi.
b. Membedakan perilaku yang menggambarkan pandangan negatif
Seorang konselor dituntut untuk bisa mengerti dan memahami kondisi
psikologis konseli, memahami disini bisa diartikan bahwa seorang konselor mampu
membedakan pandangan-pangdangan yang diungkapkan konselinya mengenai dunia luar
maupun pandangan-pandangannya terhadap dirinya sendiri.
Konselor diharapkan mampu membedakan pandangan-pandangan konseli mana
yang negatif dan mana pandangan yang positif sehingga nantinya dalam penanganan
terhadap konseli akan lebih efektif.
c. Membedakan individu yang berpotensi dalam layanan bimbingan dan konseling
Konselor harus mampu membedakan mana konseli yang berpotensi dan mana
konseli yang kurang menunjukkan adanya potensi diri. Pengetahuan tentang hal
ini bisa membantu konselor dalam menjalankan tugasnya. Dalam elayanan bimbingan
dan konseling tidak mungkin seorang konselor memberikan perlakuan yang sama
antara semua konselinya tanpa memperhatikan kondisi psikologis maupun
kondisi-kondisi lain yang dimiliki oleh konselinya. Menangani konseli yang
memiliki potensi yang tinggi hendaknya berbeda apabila dibandingkan dengan
menangani konseli yang memiliki tingkat potensi diri yang lebih rendah. Hal ini
tentu saja bukan dengan maksud membeda-bedakan atau pilih kasih terhadap
konseli, namun demi keefektifan jalannya proses konseli sendiri.
3.
Konselor yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, antara lain memiliki kemampuan:
a. Menerapkan perbedaan budaya yang berperspektif gender dalam pelayanan
bimbingan dan konseling
Dalam memberikan
pelayanan bimbingan dan konseling, seeorang harus memperhatikan banyak aspek
demi kelancaran dan kelangsungan jalannya konseling. Aspek tersebut diantaranya
adalah perbedaan gender. Perbedaan gender melahirkan gender pria dan gender
wanita. Masing-masing jenis gender ini memiliki karakteristik psikologis dan
fisiologis yang berbeda. Oleh karenanya konselor harus cermat dalam melakukan
hal-hal seperti respon terhadap pembicaraan konseli, saran yang akan diberikan,
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan perbedaan karakteristik gender tersebut.
Dengan pengetahuan tentang perbedaan gender yang sudah dimiliki oleh
konselor, maka ia akan melaksanakan tugasnya dengan lebih baik. Ia juga tidak
akan kaget apabila melihat reaksi-reaksi konseli yang berbeda dengan gender
diri konselor. Mengetahui tentang perkembangan psikologis masing-masing gender
akan sangat bermanfaat bagi pekerjaan konselor dalam menangani berbagai macam
karakteristik konseli yang berbeda-beda.
b. Menerapkan perbedaan budaya yang berperspektif hak asasi manusia
dalam pelayanan bimbingan dan konseling
Memiliki pengetahuan mengenai hak asasi manusia akan sangan bermanfaat
bagi konselor dalam menjalani tugasnya selaku konselor. Dalam memberikan
pelayanan bimbingan dan konseling akan sangat berguna apabila konselor mengerti
dan memahami tentang hak asasi manusia dan kemudian diterapkan pada saat proses
konseling.
c. Menerapkan perbedaan responsif perbedaan budaya konselor dengan konseli
dalam pelayanan bimbingan dan konseling
Konselor harus respek terhadap keadaan apa saja yang terjadi pada saat
proses konseling. Konseli yang datang kepada konselor tidak menutup kemungkinan
berasal dari berbagai latar belakang dan budaya yang berbeda dengan konselor.
Dalam kaitannya dengan perbedaan budaya antara konselor dengan konselinya, maka
akan sangat bijak bila konselor memberikan respon yang responsif terhadap
konseli yang berbeda budaya. Tindakan keresponsifan ini akan membantu konselor
memahamii konseli lebih dalam sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan seperti kesalahpahaman perspektif atau pandangan antara yang
diungkapkan konselor maupun yang diungkapkan konseli.
4.
Konselor yang
menunjukkan integritas kepribadian yang kuat adalah ditunjukkan dalam
kepribadian antara lain memiliki kemampuan:
a. Menerapkan toleran terhadap stres yang dialami konseli
Konselor menunjukkan sifat yang penuh toleransi terhadap masalah-masalah
yang dialami oleh konselinya. Masalah-masalah seperti stres yang dimiliki oleh
konselinya hendaknya mampu konselor atasi dengan baik dan ia memiliki kemampuan
untuk menghadapi hal-hal yang kurang menentu tersebut tanpa terganggu
profesinya dan aspek kehidupan pribadinya.
b. Mengantisipasi berbagai tekanan yang menimpa diri
Sebagai seorang yang memiliki keutuhan atau integritas kepribadian yang
kuat, wajar bila seorang konselor mampu melakukan antisipasi terhadap
tekanan-tekanan yang menimpa diri konselor sendiri. Tekanan-tekanan ini bisa
jadi disebabkan oleh hal yang diluar dugaan dan bisa datang kapan saja tanpa
pemberitahuan, oleh karenanya sseorang konselor harus mampu melakukan
antisipasi diri terhadap tekanan yang muncul. Bila tekanan yang seperti ini
sudah muncul dan konselor kurang mampu mengatasinya, maka bila dibawa pada
konseling akan mengganggu mekanisme konseling dikarenakan ketidaksiapan pribadi
konselor dalam melaksanakan tuganya.
c. Melakukan coping terhadap berbagai tekanan yang menimpa diri
Coping merupakan salah satu upaya atau metode yan dilakukan konselor agar
konselor mampu menyesuaikan dan mengatasi berbagai macam permasalahan sesuai
dengan keadaan dan situasi yang terjadi. Hendaknya konseling ini menerapkan
metode coping pada saat ia berhadapan dengan klien dan bisa juga diterapkan
konselor pada keadaan yang menimpa dirinya sendiri. Metode ini sangat berguna
bagi konselor pada saat ia menjalankan tugasnya karena ia mampu mengatasi
berbagai macam keadaan yang ia hadapi.
5.
Konselor yang
memiliki kesadaran terhadap komitmen profesional antara lain memiliki kemampuan:
a. Dapat menjelaskan dan mengelola kekuatan dan keterbatasan pribadi dan
profesional.
Seorang konselor pada dasarnya sama seperti manusia pada umumnya. Yang
membedakan seorang konselor dengan manusia yang pada umumnya adlah profesi yang
digelutinya. Profesi yang digeluti adalah konseling yang bertrayek pada area
konseling. Meskipun seorang konselor memiliki keahlian yang lebih diantaranya
manusia yang lainnya, namun konselor juga manusia biasa yang memiliki
kekurangan-kekurangan ynag wajar. Dengan mengetahui apa yang menjadi
keterbatasan dan kekurangan diri konselor, maka hendaknya ia termotivasi untuk
lebih meningkatkan dan mengelola kekuatan atau kelebihan yang dimilikinya
secara maksimal demi keprofesionalitas dalam menjalankan tugasnya sebagai
konselor.
b. Dapat menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai dengan
kewenangan profesional konselor.
Konselor yang profesional selayaknya mampu mematuhi komitmen profesional
yang ia miliki. Dengan komitmen tersebut, menunjukkan bahwa ia akan
melaksanakan tugasnya sebagai konselor semampu yang ia bisa lakukan dan sesuai
dengan kewenangan yang ia miliki sebagai konselor yang profesional. Apabila ia
melaksanakan konseling dengan konseli yang diluar kewenangannya, maka ia sudah
melanggar kode etik konselor dan sudah bersikap tidak profesional. Oleh sebab
itu, seorang konselor harus berhati-hati dalam menjalankan
c. Berupaya meningkatkan kompetensi akademik dan profesional diri.
Atas dasar konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor dimaksud, sosok
utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan kompetensi
profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan
ilmiah (scientific basic) dan kiat (arts) pelaksanaan layanan
profesional bimbingan dan konseling. Landasan ilmiah inilah yang merupakan
khasanah pengetahuan dan keterampilan yang digunakan oleh konselor (enabling
competencies) untuk mengenal secara mendalam dari berbagai segi
kepribadian konseli yang dilayani, seperti dari sudut pandang filosofis,
pedagogis, psikologis, antropologis, dan sosiologis. Landasan-landasan tersebut
dipergunakan untuk mengembangkan berbagai program, sarana dan prosedur yang
diperlukan untuk menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, baik yang
berkembang dari hasil-hasil penelitian maupun dari pencermatan terhadap praksis
di bidang bimbingan dan konseling termasuk di Indonesia, sepanjang
perkembangannya sebagai bidang pelayanan profesional.
Kompetensi Akademik calon konselor meliputi kemampuan (a) memahami
konseli yang hendak dilayani, (b) menguasai khasanah teoretik, konteks, asas,
dan prosedur serta sarana yang digunakan dalam penyelenggaraan pelayanan
bimbingan dan konseling, (c) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling
yang memandirikan, dan (d) mengembangkan profesionalitas sebagai konselor
secara berkelanjutan yang dilandasi sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi
yang mendukung[11]. Pembentukan kompetensi
akademik calon konselor ini dilakukan melalui proses pendidikan formal jenjang
S-1 dalam bidang bimbingan dan konseling, yang bermuara pada penganugerahan
ijazah akademik Sarjana Pendidikan dalam bidang bimbingan dan konseling, dengan
gelar akademik disingkat S.Pd.
Kompetensi profesional yang utuh merupakan penguasaan kiat
penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang memandirikan, yang ditumbuhkan
serta diasah melalui latihan menerapkan kompetensi akademik yang telah
diperoleh melalui pendidikan akademik yang telah disebutkan, melalui latihan
yang relatif lama serta beragam situasinya dalam konteks otentik di lapangan
yang dikemas sebagai Pendidikan Profesional Konselor, di bawah penyeliaan
konselor senior yang bertindak sebagai pembimbing atau mentor. Keberhasilan
menempuh dengan baik program Pendidikan Profesi Konselor (PPK) ini bermuara
pada penganugerahan sertifikat profesi bimbingan dan konseling yang dinamakan
Sertifikat Konselor, dengan gelar profesi Konselor, disingkat Kons. Oleh
karena itu, kedua jenis kemampuan yaitu kemampuan akademik dan kiat profesional,
adalah ibarat 2 sisi yang dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan.
Seorang guru pembimbing atau konselor profesional selayaknya memiliki
pendidikan profesi, yaitu jurusan bimbingan konseling Strata Satu (S1), S2
maupun S3. Atau sekurang-kurannya pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan
tentang bimbingan dan konseling.
Seorang guru pembimbing atau konselor nonprofessional yakni alumni
fakultas keguruan atau tarbiyah dapat diangkat menjadi seorang konselor
profesional, tetapi harus mengikuti terlebih dahulu pendidikan tambahan
(pendididkan profesi) dalam bidang bimbingan dan konseling.
Syarat pendidikan berkenaan dengan keilmuan yang dimiliki oleh guru
pembimbing atau konselor. Konselor tidak saja harus memiliki ilmu bimbingan dan
konseling, tetapi juga harus memiliki pengetahuan psikologi, bimbingan, dan
konseling keterampilan komunikasi sosial dan konseling.
Seorang pembimbing harus memiliki kemampuan (kompetensi). konselor
dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan melaksanakan konseling. Guru
pembimbing atau konselor harus mampu mengetahui dan memahami secara mendalam
sifat-sifat seseorang, daya kekuatan pada diri seseorang, merasakan kekuatan
jiwa apakah yang mendorong seseorang berbuat dan mendiagnosis berbagai
persoalan siswa, selanjutnya mengembangkan potensi individu secara
positif. Keprofesionalitas konselor diantaranya dapat ditunjukkan dengan hal-hal
tersebut diatas.
6.
Komitmen
profesional konselor terhadap komitmen etika profesional antara lain meiliki
kemampuan:
a. Melaksanakan referal sesuai dengan keperluan
Konselor yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan
konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli (counselee)
mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru
pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain,
atau ahli lain; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus
kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain. Konselor wajib
mengakhiri hubungan konseling dengan klien bila dia menyadari tidak dapat
memberikan bantuan pada klien. Bila pengiriman ke ahli disetujui klien, maka
menjadi tanggung jawab konselor menyarankan kepada klien dengan bantuan
konselor untuk berkonsultasi kepada orang atau badan yang punya keahlian yang
relevan. Bila Konselor berpendapat bahwa klien perlu dikirm ke ahli lain, namun
klien menolak pergi melakukannya, maka konselor mempertimbangkan apa baik dan
buruknya.
Konselor harus bersedia merujuk konselor lain untuk klien apabila ia
merasa tidak mampu menangani seorang klien yang datang kepadanya. Sebagai
konselor, kita dituntut untuk mampu bersikap demikian. Seorang konselor tidak
bisa menangani konselinya karena beberapa alasan, misalnya jika kasusnya atau
akibatnya bisa menimbulkan sesuatu yang tidak baik (misalnya pada kasus-kasus
histeria), atau kita merasa bahwa dia akan lebih baik ditangani seorang
konselor wanita, dan sebagainya.
Dengan keahlian yang ada, kita bisa melihat bahwa klien ini sebaiknya
kita “refered” ke orang lain. Itu tindakan profesional. Misalnya, jika
saya melihat klien ini tidak bisa maju-maju sepanjang konseling dengan saya
(konseling juga menyangkut soal kecocokan) atau sukses konseling itu kecil,
saya wajib mengarahkan dia ke konselor lain. Ini adalah bentuk
pertanggungjawaban seorang konselor. Walaupun kita begitu tertarik pada
kasusnya, janganlah merasa kecewa sekiranya kita tidak bisa menangani dia. Dia
mungkin tidak cocok dengan kita. Setiap konselor harus memprediksi sukses suatu
konseling, hingga sejauh mana bisa berhasil. Kita harus membangun sikap
profesional, bukan semata-mata karena keinginan untuk membantu atau tertarik.
b. Mendahulukan kepentingan konseli daripada kepentingan pribadi konselor
Dalam pelayanan bimbingan dan konseling, seorang konselor harus berdikap
profesional dalam pekerjaannya. Sikap profesional ini diantaranya ditandai
dengan mendahulukan kepentingan pribadi konseli. Apabila konselor mendahulukan
kepentingan pribadinya dibanding kepentingan konseli, maka ia dianggap gagal
menjalankan tugasnya sebagai seorang konselor, karena ia telah melanggar salah
satu aturan yang terpenting dalam etika konseling.
c. Menjaga kerahasiaan konseli
Konseli menuntut dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang
konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan
yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru
pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan
itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.
E.
Upaya-upaya
dalam Pembentukan Konselor Bersikap Profesional dalam Konseling
Dalam
meningkatkan mutu, baik mutu profesional maupun layanannya, guru harus
meningkatkan sikap profesionalnya. Hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut[12].
1.
Pengembangan
sikap selama pendidikan prajabatan
Calon guru dididik dalam berbagai pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaannya nanti. Menurut Page dan Thomas
pendidikan prajabatan merupakan sebuah istilah yang paling lazim digunakan
lembaga pendidikan keguruan, yang merujuk pada pendidikan dan pelatihan yang
dilakukan oleh lembaga jenjang universitas pendidikan untuk menyiapkan
mahasiswa berkarir dalam bidang pengajaran.
2.
Pengembangan
sikap selama dalam jabatan
Pengembangan sikap profesional tidak berhenti apabila calon guru
selesai mendapatkan pendidikan prajabatan. Banyak usaha yang dapat dilakukan
dengan cara formal melalui kegiatan mengikuti penataran, lokakarya, seminar,
atau kegitan ilmiah lainnya ataupun secara informal melalui media masa
televisi, radio, koran, dan majalah maupun publikasi lainnya. Kegiatan ini
selain dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, sekaligus dapat juga meningkatkan
sikap professional keguruan.
[1] Rismawaty, Kepribadian
dan Etika Profesi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), hal. 63
[2] Ibid,
hal. 64
[3] Noriah
Mohd Ishak, dkk. Counseling Professional Ethics From Viewpoint Of Counselor
Educators (Journal of Educational Psychology & Counseling, Volume 5
March 2012), Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia, hal. 77-79
[5] Tri L, Febrian, Sikap dan Etika Profesional dalam
Konseling, (Kediri: Universitas Nusantara PGRI, 2013)
[6] Tri L, Febrian, Sikap dan Etika Profesional dalam
Konseling, (Kediri: Universitas Nusantara PGRI, 2013)
[7] Farozin,
Muhammad, Pengembangan Profesionalitas Guru Bimbingan dan Konseling,
(Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2008), hal. 14-15
[9] Nursalim, Mochamad, Pengembangan Profesi Bimbingan
dan Konseling, (Jakarta: Erlangga, 2015), hal. 76-77
[10] Sari, Sonya Mulan, dkk., Pengembangan Pribadi
Konselor, (Surabaya: FKIP Universitas PGRI Adi Buana, 2015)
[11] Eliasa, Eva Imania, Menjadi Konselor Profesional:
Suatu Harapan, (Yogyakarta: PPB FKIP UNY, 2011), hal. 2.
[12] Tri L, Febrian, Sikap dan Etika Profesional dalam
Konseling, (Kediri: Universitas Nusantara PGRI, 2013)
Komentar
Posting Komentar