Bias Budaya dan Agama dalam Konseling Lintas Agama dan Budaya
A. Pengertian
Bias Budaya dan Agama
Bias budaya dan agama terjadi karena adanya ketidaksamaan dalam memahami kebenaran atau
nilai-nilai budaya dan nilai-nilai agama. Hal ini terjadi
antara satu dengan yang lain, memahami budaya dan agama yang ada dengan menggunakan kerangka pandangnya
sendiri-sendiri.
Faktor terpenting yang mendasari
bias budaya dan agama ini adalah kecenderungan kita untuk meremehkan,
mengecilkan, bahkan mengabaikan informasi yang relevan dan fakta
statistik abstrak lain, dan lebih memerhatikan bukti yang lebih menonjol dan
konkret meski tidak reliabel.
B. Faktor
Penyebab Bias Budaya dan Agama
Berikut ini ada beberapa faktor
penyebab bias budaya dan agama, yaitu[1]
:
- Komunikasi dan Bahasa
Sistem komunikasi, verbal maupun non verbal,
membedakan suatu kelompok dari kelompok lainnya. Terdapat banyak sekali bahasa
verbal diseluruh dunia ini demikian pula bahasa nonverbal, meskipun bahasa
tubuh (non verbal) sering dianggap bersifat
universal namun perwujudannya sering berbeda secara lokal.
- Pakaian dan Penampilan
Pakaian dan penampilan ini meliputi pakaian dan
dandanan luar juga dekorasi tubuh yang cenderung berbeda secara kultural.
- Makanan dan Kebiasaan Makan
Cara memilih, menyiapkan, menyajikan dan memakan
makanan sering berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya.
Subkultur-subkultur juga dapat dianalisis dari perspektif ini, seperti ruang
makan eksekutif, asrama tentara, ruang minum teh wanita, dan restoran
vegetarian.
- Waktu dan Kesadaran akan waktu
Kesadaran akan waktu berbeda antara budaya yang satu
dengan budaya lainnya. Sebagian orang tepat waktu dan sebagian lainnya
merelatifkan waktu.
- Penghargaan dan Pengakuan
Suatu cara untuk mengamati suatu budaya adalah dengan
memperhatikan cara dan metode memberikan pujian bagi perbuatan-perbuatan baik
dan berani, lama pengabdian atau bentuk-bentuk lain penyelesaian tugas.
- Hubungan-Hubungan
Budaya juga mengatur hubungan-hubungan manusia dan
hubungan-hubungan organisasi berdasarkan usia, jenis kelamin, status,
kekeluargaan, kekayaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan.
- Nilai dan Norma
Berdasarkan sistem nilai yang dianutnya, suatu
budaya menentukan norma-norma perilaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
Aturan ini bisa berkenaan dengan berbagai hal, mulai dari etika kerja atau
kesenangan hingga kepatuhan mutlak atau kebolehan bagi anak-anak; dari
penyerahan istri secara kaku kepada suaminya hingga kebebasan wanita secara
total.
- Rasa Diri dan Ruang
Kenyamanan yang dimiliki seseorang atas dirinya bisa
diekspresikan secara berbeda oleh masing-masing budaya. Beberapa budaya sangat
terstruktur dan formal, sementara budaya lainnya lebih lentur dan informal.
Beberapa budaya sangat tertutup dan menentukan tempat seseorang secara persis,
sementara budaya-budaya lain lebih terbuka dan berubah.
- Proses mental dan belajar
Beberapa budaya menekankan aspek perkembangan otak
ketimbang aspek lainnya sehingga orang dapat mengamati perbedaan-perbedaan yang
mencolok dalam cara orang-orang berpikir dan belajar.
- Kepercayaan dan sikap
Semua budaya tampaknya mempunyai perhatian terhadap
hal-hal supernatural yang jelas dalam agama-agama dan praktek keagamaan atau
kepercayaan mereka.
C.
Perbedaan
Konselor Peka Budaya dan Agama dengan Konselor Bias Budaya dan Agama
- Konselor Peka Budaya dan Agama
Budaya merupakan
sesuatu yang ada dalam setiap diri
individu, tidak ada individu yang tidak memiliki budaya, oleh karena itu
konselor yang peka budaya dan agama sangat dibutuhkan dalam pelayanan
konseling. Adapun pengertian dari konselor peka budaya dan agama itu sendiri
adalah konselor yang menyadari bahwa secara kultural individu memiliki
karakteristik yang unik dan kedalam proses konseling individu membawa
karakteristik unik tersebut.[2]
Begitu juga sebaliknya, dengan konselor peka agama dimana konselor yang
menyadari bahwa secara agamis individu memiliki karakteristik yang unik dan
kedalam proses konseling individu itu membawa keunikannya itu.
Penerapan konseling lintas budaya
dan budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman
budaya serta agama dan adanya perbedaan budaya dan agama antara klien yang satu
dengan klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor
harus sadar akan implikasi diversitas budaya dan agama terhadap proses konseling. Karena, budaya
dan agama yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi
manusia dalam kehidupan sehari-hari, masalah bisa muncul akibat interaksi
individu dengan lingkungannya, dan sangat mungkin masalah terjadi dalam
kaitannya dengan unsur-unsur
kebudayaan yaitu budaya yang
dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta
tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu. Termasuk juga agama
yang dianut oleh individu tersebut.
- Konselor Bias Budaya dan Agama
Ke dalam proses konseling, konselor maupun klien membawa serta
karakteristik-karakteristik psikologinya, seperti kecerdasan, bakat, sikap,
motivasi, kehendak, dan tendensi-tendensi kepribadian lainnya. Sejauh ini di
Indonesia banyak diberikan terhadap aspek-aspek psikologi tersebut (terutama
pada pihak klien), dan masih kurang perhatian diberikan terhadap latar belakang
budaya dan agama konselor maupun klien yang ikut membentuk perilakunya dan
menentukan efektivitas proses konseling. Misalnya, etnik, afiliasi kelompok,
keyakinan, nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan, bahasa verbal maupun non-verbal
dan termasuk bias-bias budaya yang dibawa dari budayanya. Dapat diasumsikan
bahwa semakin banyak kesesuaian (congruence) antara konselor dengan
klien dalam hal-hal tersebut (baik psikologi maupun sosial-budaya), maka akan
semakin besar kemungkinan konseling akan berjalan efektif, dan demikian
sebaliknya.[3]
Dari penelitian Harrison diketahui misalnya bahwa konseli/ klien
cenderung lebih menyukai konselor dari ras yang sama. Hal ini sesuai dengan apa
yang ada dalam komunikasi disebut dengan heterophily dan homophily.
Menurut dia, komunikasi yang efektif terjadi apabila dua individu memilki dua
kesamaan. Sebaliknya, komunikasi yang terjadi diantara dua pihak yang memiliki
banyak perbedaan sulit untuk berjalan efektif. Ras dan etnis merupakan
identitas dasar yang secara tidak disadari mengikat individu-individu dalam
kelompok etnis/ ras yang bersangkutan, yang oleh Carl Gustav Jung disebut
“ketidaksadaran kolektif” yang bersifat primordial dan diwariskan dari generasi
ke generasi.[4]
Efektivitas proses konseling juga dipengaruhi oleh sifat-sifat psikologis
yang terkait dengan latar belakang etnik/ budaya konselor. Triandis (1986) yang
dianggap sebagai pelopor psikologi lintas budaya mendekati isu konseling lintas
budaya dari segi perbedaan budaya indivdualistik dan kolektif. Budaya
individualistik adalah ciri masyarakat Barat, sedangkan budaya Timur dan
Amerika Latin adalah kolektif.
D. Perbedaan
Karakteristik Konselor Peka Budaya dan Agama dengan Konselor Bias Budaya dan
Agama
Adapun karakteristik
konselor peka budaya dan agama sebagai berikut[5].
- Konselor lintas agama dan budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimiliki dan asumsi-asumsi terbaru tentang perilaku manusia.
Konselor sadar bahwa
dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung tinggi dan akan terus
dipertahankan. Disisi lain, konselor juga menyadari bahwa klien memiliki
nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Oleh karena itu, konselor
harus bisa menerima nilai-nilai yang berbeda itu sekaligus mempelajarinya.
- Konselor lintas agama dan budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum.
Konselor memiliki
pemahaman yang cukup mengenai konseling secara umum sehingga akan membantunya dalam melaksanakan konseling, sebaiknya sadar terhadap
pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena
pengertian terhadap kaidah konseling akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang
dihadapi oleh klien.
3.
Konselor lintas agama dan budaya harus
mengetahui pengaruh kesukuan dan keagamaan dan mereka mempunyai perhatian
terhadap lingkungannya.
Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang
berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan
nilai, norma dan keyakinan yang dimiliki oleh suku dan
agama tertentu. Terelebih apabila konselor melakukan
praktik konseling di Indonesia yang mempunyai lebih dari 357 etnis dan 6 agama besar serta penganut aliran kepercayaan.
Ciri-ciri pelayanan konseling yang bias agama dan budaya adalah sebagai
berikut[6].
- Pelayanan konseling yang bias budaya dan agama akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan.
- Konselor sadar bahwa latar belakang kebudayaan dan agama yang dimilikinya.
- Konselor mampu mengenali batas kemampuan dan keahliannya.
- Konselor merasa nyaman dengan perbedaan yang ada antara dirinya dan klien dalam bentuk ras, etnik, kebudayaan, dan kepercayaan.
Jadi, dapat disimpulkan perbedaan konselor peka
agama dan budaya dengan konselor bias agama dan budaya yaitu konseling lintas
agama dan budaya
mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan
agama serta adanya perbedaan budaya dan agama antar kelompok klien yang satu
dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konseling lintas agama dan budaya melibatkan
konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya dan agaam yang
berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias
budaya dan agama pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak
berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki
kepekaan budaya dan agama dan melepaskan diri dari bias-bias budaya dan agama,
mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki
keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka
konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter)
antara konselor dan klien dan juga sebagai “perjumpaan agama” (religion
encounter).[7]
[1] Firna
Firdausia, “Bias Budaya dalam Konseling Lintas Budaya”, diakses dari http://firnafirdausia.blogspot.co.id/2014/06/bias-konseling-dalam-konseling-lintas.html
pada tanggal 15 April 2016 pukul 16.30 WIB
[2]
Ibid., hal. 33
[4]
Anak Agung Ngurah Adhiputra, Konseling Lintas Budaya, (Yogyakarta, Graha
Ilmu, 2013), h. 8-9
[5] Irsyadunnas,
“Bias Budaya dan Agama dalam Konseling Lintas Agama dan Budaya”, diakses dari https://irsyadbki.wordpress.com/2014/03/03/konseling-lintas-agama-budaya/
pada tanggal 15 April 2016 pukul 16.00 WIB
[6] Irsyadunnas,
“Bias Budaya dan Agama dalam Konseling Lintas Agama dan Budaya”, diakses dari https://irsyadbki.wordpress.com/2014/03/03/konseling-lintas-agama-budaya/
pada tanggal 15 April 2016 pukul 16.00 WIB
[7] Dedi Supriadi, Konseling Lintas-Budaya : Isu-Isu dan
Relevansinya di Indonesia (Pidato
Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Bimbingan dan Konseling pada Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, 2001), hal. 6
Komentar
Posting Komentar