Mengenal Psikologi Abnormal

Mengenal Psikologi Abnormal




1.      Pengertian Psikologi Abnormal
Psikologi abnormal kadang-kadang disebut juga psikopatologi. Dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan istilah Abnormal Psychology. Berikut dikemukakan beberapa definisi.
Menurut Kartini Kartono (2000: 25), psikologi abnormal adalah salah satu cabang psikologi yang menyelidiki segala bentuk gangguan mental dan abnormalitas jiwa. Singgih Dirgagunarsa (1999: 140) mendefinisikan psikologi abnormal atau psikopatologi sebagai lapangan psikologi yang berhubungan dengan kelainan atau hambatan kepribadian, yang menyangkut proses dan isi kejiwaan.[1]
Berkenaan dengan definisi psikologi abnormal, pada Ensiklopedia Bebas Wikipedia (2009), dinyatakan “Abnormal psychology is an academic and applied subfield of psychology involving the scientific study of abnormal experience and behavior (as in neuroses, psychoses and mental retardation) or with certain incompletely understood states (as dreams and hypnosis) in order to understand and change abnormal patterns of functioning”.[2]
Definisi psikologi abnormal juga dapat dijumpai di Merriem-Webster OnLine (2009). Pada kamus online tersebut dinyatakan: “Abnormal psychology : a branch of psychology concerned with mental and emotional disorders (as neuroses, psychoses, and mental retardation) and with certain incompletely understood normal phenomena (as dreams and hypnosis)”[3]
Dari empat definisi yang dinyatakan dengan kalimat yang berbeda tersebut dapat diidentifikasi pokok-pokok pengertian psikologi abnormal sebagai berikut.
·         Psikologi abnormal merupakan salah satu cabang dari psikologi atau psikologi khusus.
·         Yang dibahas ‘dalam psikologi abnormal adalah segala bentuk gangguan atau kelainan jiwa baik yang menyangkut isi (mengenai apa saja yang mengalami kelainan) maupun proses (mengenai faktor penyebab, manifestasi, dan akibat dari gangguan tersebut).[4]

2.      Faktor Penyebab Perilaku Abnormal
Melalui usaha-usaha yang panjang, psikolog terus berjuang untuk menemukan defenisi yang tepat tentang perilaku abnormal. Melalui itu, psikolog mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan:[5]
·         Abnormalitas sebagai pergeseran rata-rata. Melalui pendekatan statistik yang kita gunakan, dengan mudah kita dapat mengobservasi apa saja perilaku yang langka atau jarang terjadi dalam lingkungan masyarakat tertentu atau budaya dan memberi label penyimpangan tersebut dari norma abnormal. Namun, kesulitannya beberapa perilaku secara statistik jarang terjadi jelas sehingga tidak termasuk dalam klasifikasi abnormal. Disimpulkan bahwa defenisi abnormalitas yang mengacu pada pergeseran rata-rata ini adalah tidak memadai sehingga suatu perilaku dapat dikatakan abnormal.
·         Abnormalitas sebagai pergeseran dari ideal. Melalui pendekatan ini dianggap suatu perilaku abnormal jika cukup menyimpang dari beberapa standar ideal atau standar budaya. Dalam hal ini, standar itu akan terus berubah setiap waktu dan bervariasi pada seluruh kebudayaan yang disetujui secara universal.
·         Abnormalitas sebagai rasa ketidaknyamanan personal. Dalam pendekatan ini, perilaku dianggap abnormal apabila menghasilkan perasaan tertekan, gelisah, atau merasa bersalah kepada seorang individu dan merugikan seseorang dalam beberapa hal.
·         Abnormalitas sebagai ketidakmampuan untuk berfungsi efektif. Berdasarkan pandangan ini, seseorang dikatakan abnormal apabila ia tidak mampu berfungsi secara efektif dan beradaptasi dengan permintaan masyarakat.
·         Abnormalitas sebagai sebuah konsep hukum. Menurut pendapat ini, perilaku abnormal dianggap muncul jika seseorang telah menerima yurisdiksi-yurisdiksi akan menunjukkan berbagai bentuk perilaku yang menjadi bentuk perbedaan antara perilaku normal dan abnormal.
Melihat tidak adanya defenisi sebelumnya mengenai perilaku abnormal menyebabkan perbedaan antara perilaku normal dan abnormal tetap ambigu, bahkan itupun terjadi bagi orang yang profesional dalam bidangnya. Mengingat hal ini, menyebabkan kesimpangsiuran tentang perilaku abnormal dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya sehingga akan mempengaruhi pemahaman mengenai perilaku abnormal tersebut. (Scheff, 1998; Sanderson, 2007). Akhirnya, mengingat sulitnya untuk membangun defenisi perilaku abnormal maka salah seorang psikolog yang bernama Nolen Hoeksema (2007) mendefenisikan perilaku abnormal sebagai perilaku yang menyebabkan orang mengalami penderitaan dan mencegah mereka dari keberfungsian mereka dalam kebidupan sehari-hari.[6]
Manusia merupakan makhluk biologis, makhluk individu, makhluk sosial, makhluk etis, dst., sehingga perilaku manusia dapat dijelaskan dari dimensi-dimensi tersebut. begitu juga bila berbicara mengenai abnormalitas jiwa. Berikut ini dikemukakan beberapa konsepsi mengenai abnormalitas menurut tinjauan tertentu (Maramis, 2005 : 94-100; Kartini Kartono, 1999 : 1-10).[7]
·         Abnormalitas Menurut Konsepsi Statistik. Secara statistik suatu gejala dinyatakan sebagai abnormal bila menyimpang dari mayoritas. Dengan demikian seorang yang jenius sama-sama abnormalnya dengan seorang idiot, seorang yang jujur menjadi abnormal diantara komunitas orang yang tidak jujur.
·         Abnormal menurut Konsepsi Patologis. Berdasarkan konsepsi ini tingkah laku individu dinyatakan tidak normal bila terdapat simptom-simptom klinis tertentu, misalnya ilusi, halusinasi, obsesi, fobia,dst. Sebaliknya individu yang tingkah lakunya tidak menunjukkan adanya simptom-simptom tersebut adalah individu yang normal.
·         Abnormal menurut Konsepsi Penyesuaian Pribadi. Menurut konsepsi ini seseorang dinyatakan penyesuaiannya baik bila yang bersangkutan mampu menangani setiap masalah yang dihadapinya dengan berhasil. Dan hal itu menunjukkan bahwa dirinya memiliki jiwa yang normal. Tetapi bila dalam menghadapi maslah dirinya menunjukkan kecemasan, kesedihan, ketakutan, dst. yang pada akhirnya masalah tidak terpecahkan, maka dikatakan bahwa penyesuaian pribadinya tidak baik, sehingga dinyatakan jiwanya tidak normal.
·         Abnormalitas Menurut Konsepsi Sosio-Kultural. Setiap masyarakat pasti memiliki seperangkat norma yang berfungsi sebagai pengatur tingkah laku para anggotanya. Individu sebagai anggota masyarakat dituntut untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial dan susila di mana dia berada. Bila individu tingkah lakunya menyimpang dari norma-norma tersebut, maka dirinya dinyatakan sebagai individu yang tidak normal.
·         Abnormalitas menurut Konsepsi Kematangan Pribadi. Menurut konsepsi kematangan pribadi, seseorang dinyatakan normal jiwanya bila dirinya telah menunjukkan kematangan pribadinya, yaitu bila dirinya mampu berperilaku sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Pembahasan mengenai abnormalitas dari satu sudut pandang atau konsepsi tertentu ternyata memiliki kelemahan. Oleh karena itu dengan menggunakan berbagai sudut pandang diharapkan dapat diidentifikasi dengan tepat apakah perilaku itu normal atau tidak. Dan berikut ini dikemukakan dua pandangan mengenai abnormalitas secara eklektis.

a.       Menurut Maslow dan Mittelmann
Maslow dan Mittelmann menyatakan bahwa pribadi yang normal dengan jiwa yang sehat ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut.[8]
Ø  Memiliki rasa aman yang tepat (sense of security)
Ø  Memiliki penilaian diri (self evaluation) dan wawasan (insight) yang rasional.
Ø  Memiliki spontanitas dan emosional yang tepat.
Ø  Memiliki kontak dengan realitas secara efisien.
Ø  Memiliki dorongan-dorongan dan nafsu-nafsu yang sehat.
Ø  Memiliki pengetahuan mengenai dirinya secara objektif.
Ø  Memiliki tujuan hidup yang adekuat, tujuan hidup yang realistis, yang didukung oleh potensi.
Ø  Mampu belajar dari pengalaman hidupnya.
Ø  Sanggup untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kelompoknya.
Ø  Ada sikap emansipasi yang sehat pada kelompoknya.
Ø  Kepribadiannya terintegrasi.

b.      Kriteria Pribadi yang normal menurut W.F. Maramis.
Menurut Maramis terdapat enam kelompok sifat yang dapat dipakai untuk menentukan abnormalitas. Keenam sifat dimaksud adalah sebagai berikut.[9]
Ø  Sikap terhadap diri sendiri dimana menerima dirinya sendiri, identitas diri yang memadai, serta penilaian yang realistis terhadap kemampuannya.
Ø  Cerapan (persepsi) terhadap kenyataan dimana mempunyai pandangan yang realistis tentang diri sendiri dan lingkungannya.
Ø  Integrasi: kesatuan kepribadian, bebas dari konflik pribadi yang melumpuhkan dan memiliki daya tahan yang baik terhadap stres.
Ø  Kemampuan dimana memiliki kemampuan dasar secara fisik, intelektual, emosional, dan sosial sehingga mampu mengatasi berbagai masalah.
Ø  Otonomi dimana memiliki kepercayaan pada diri sendiri yang memadai, bertanggung jawab, mampu mengarahkan dirinya pada tujuan hidup.
Ø  Perkembangan dan perwujudan dirinya dimana kecenderungan pada kematangan yang makin tinggi.

3.      Model Rehabilitasi atau Resosialisasi Perilaku Abnormal
Berikut ini dalam mengatasi masalah perilaku abnormal menggunakan dengan berbagai terapi dengan menggunakan pendekatan utama. Ada empat pendekatan utama dalam terapi: psikodinamika, behavioral, kognitif, dan humanistik.[10]
Terapi dengan pendekatan psikodinamika. Teori psikodinamika berusaha membawa konflik masa lalu yang belum terselasaikan dan impuls yang tidak dapat diterima dari ketidaksadaran ke area sadar, sehingga pasien dapat mengatasi masalah tersebut secara lebih efektif. Pendekatan psikodinamika didasarkan pada pendekatan psikoanalisis Freud yang bertujuan untuk melepaskan pikiran dan perasaan yang tersembunyi  di area tidak sadar untuk mengurangi kekuatan mereka dalam mengontrol perilaku.
Terapi dengan pendekatan behavioral. Dengan dibangun diatas proses belajar, pendekatan treatmen behavioral memiliki asumsi dasar bahwa setiap perilaku, baik perilaku abnormal dan perilaku normal harus dipelajari. Dengan memodifikasi perilaku abnormal, para pengikut pendekatan behavioral menyebutkan bahwa orang tersebut harus mempelajari perilaku yang baru untuk menggantikan kecakapan yang salah yang telah mereka kembangkan, dan menghilangkan pola perilaku maladaptif yang mereka miliki. (Krijin dkk., 2004; Norton dan Price, 2007).
Terapi dengan pendekatan kognitif. Melalui terapi ini diajarkan seseorang untuk berpikir secara lebih adaptif dengan mengubah disfungsi kognitif mereka mengenai dunia dan diri mereka sendiri. Melalui ini diajarkan kita untuk mengubah pola pikiran yang membuat seseorang terjebak dalam disfungsi cara berpikir. Terapis mengajarkan secara tematis kepada klien untuk menentang asumsi mereka dan mengadopsi pendekatan baru terhadap masalah lama.
Terapi dengan pendekatan humanistik. Terapi ini mengambil sudut pandang filsafat mengenai tanggung jawab diri untuk mengembangkan teknik-teknik treatmen. Terapis humanistik percaya bahwa seseorang termotivasi secara alami untuk mencapai aktualisasi diri.
Salah satu penelitian klasik yang membandingkan efektivitas dari berbagai pendekatan menemukan nahwa meskipun tingkat kebersihan cukup beragam bergantung pada bentuk treatmen, kebanyakan treatmen memperlihatkan tingkat keberhasilan yang sama. (Smith, Glass, dan Miller, 1980; Orwin dan Condray, 1984).
Beberapa bukti efektivitas psikoterapi yang disusun berdasarkan penelitian lain sebagai berikut. (Strupp dan Binder, 1992; Seligman, 1996; Goldfried dan Panchakis, 2007).[11]
Ø  Bagi kebanyakan orang, psikoterapi efektif. Kesimpulan ini berdasarkan pada berbagai jangka waktu treatmen, jenis gangguan psikologis, dan berbagai jenis treatmen. Oleh karena itu, pertanyaan “Apakah psikoterapi bekerja?” sepertinya telah terjawab dengan meyakinkan: Ya. (Seligman, 1996; Spiegel, 1999; Westen, Novotny, dan Thompson-Brenner, 2004; Payne dan Marcus, 2008).
Ø  Pada sisi lain, psikoterapi tidak berhasil untuk semua orang. Sebanyak 10 persen orang yang mendapatkan treatmen tidak memperlihatkan peningkatan atau benar-benar terganggu. (Boisvert dan Faust, 2003; Pretzer dan Beck, 2005; Coffman dkk., 2007; Lilienfeld, 2007).
Ø  Tidak ada bentuk tunggal terapi yang bekerja sangat baik untuk semua masalah, dan jenis treatmen tertentu lebih baik meskipun tidak selalu bagi tipe masalah tertentu. Misalnya, terapi kognitif bekerja dengan sangat baik untuk gangguan panik, dan terapi exposure menghilangkan fobia tertentu secara efektif. Meskipun demikian, terdapan pengecualian bagi generalisasi ini, dan perbedaan dalam tingkat keberhasilan bagi jenis treatmen yang berbeda sering kali tidak substansial. (Miller dan Magruder, 1999; Westen, Novotny, dan Thompson-Brenner, 2004).
Ø  Mayoritas terapis memiliki beberapa elemen dasar yang sama. Elemen-elemen tersebut termasuk kesempatan bagi seorang klien untuk mengembangkan hubungan positif dengan seorang terapis, pendekatan atau interpretasi dari simtom seorang klien, dan konfrontasi dari emosi-emosi negatif. (Norcross, 2002; Norcross, Beutler dan Levant, 2006).


[1] Drs. Kuntjojo, M.Pd. 2009. Psikologi Abnormal. Kediri: Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri, hal. 6
[2] Drs. Kuntjojo, M.Pd. 2009. Psikologi Abnormal. Kediri: Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri, hal. 6
[3] Drs. Kuntjojo, M.Pd. 2009. Psikologi Abnormal. Kediri: Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri, hal. 6
[4] Drs. Kuntjojo, M.Pd. 2009. Psikologi Abnormal. Kediri: Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri, hal. 7
[5] Robert S. Feldman. 2012. Pengantar Psikologi: Understanding Psychology 10th Edition. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, hal. 249-251
[6] Robert S. Feldman. 2012. Pengantar Psikologi: Understanding Psychology 10th Edition. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, hal. 251
[7] Drs. Kuntjojo, M.Pd. 2009. Psikologi Abnormal. Kediri: Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri, hal. 10-11
[8] Kartini Kartono. 2000. Psikologi Abnormal. Bandung: Mandar Maju.
[9] Maramis, W.F. 2008. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University.
[10] Robert S. Feldman. 2012. Pengantar Psikologi: Understanding Psychology 10th Edition. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, hal. 299
[11] Robert S. Feldman. 2012. Pengantar Psikologi: Understanding Psychology 10th Edition. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, hal. 320-321.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengkaji Tradisi Sekaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perspektif Islam

Kontestasi Makna Religius dan Budaya dalam Pelaksanaan Ritual Tabuik di Sumatera Barat

Dari Dalam Diri: Membangun Harmoni dalam Hubungan Internal Agama dan Spiritualitas