TEOLOGI JABARIYAH DAN QADARIYAH
TEOLOGI JABARIYAH DAN QADARIYAH
A.
Pendahuluan
Dalam berbagai
disiplin ilmu keislaman, ilmu kalam merupakan suatu objek pembahasan yang
mendapat sorotan dan menjadi perdebatan dikalangan ulama
dikarenakan pemikiran mereka yang beragam namun dibalik semua itu
kita sebagai manusia yang dianugerahi akal sebagai instrumen
berfikir oleh Allah tidak sepatuhnyalah kita saling bercerai -berai
karena perbedaan yang lahir dari kita sendiri. Untuk itu kami disini sebagai
yang diamanati tugas oleh dosen akan mencoba menjelaskan tentang dua
aliran besar yaitu Qadariyyah dan Jabariyyah, dimana keduanya
membahas masalah perbuatan manusia, namun punya perbedaan dalam
penentuan hasil dari perbuatan itu, apakah manusia punya kebebasan sepenuhnya
atau ada campur tangan Tuhan.
Secara garis besarnya bahwa adapun Qadariyyah
menganggap bahwa dalam berbuat manusia mempunyai Qudrah atas kehendak
bebas tanpa adanya campur tangan Tuhan. Sedangkan Jabariyyah justru
sebaliknya dari aliran qadariyyah yakni mengatakan bahwa
manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak
memiliki kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan
manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Dan untuk mengetahui
seekstrim inikah pemahaman jabariyyah sehingga menafikan potensi manusia
yang seolah-olah menyerahkan semuanya pada ketentuan ilahi tanpa
ada usaha sedikitpun atau adakah yang moderat apakah benar seperti
ini adanya. Untuk itu kami akan mencoba menjelaskan pada sub pembahasan
kami berikutnya.
B.
Jabariyyah
Pengertian
Jabariyyah
Nama
jabariyah ini berasal dari kata “ jabara “ yang
mengandung arti memaksa. Begitu pun dalam munjid
dijelaskan bahwa jabara berarti memaksa dan mengharuskan melakukan
sesuatu. Kemudian kata jabara ditarik dari menjadi jabariyyah ( dengan menambah
ya nisba), artinya adalah suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih
lanjut Asy-Syarastani menegaskan bahwa paham al-Jabr berarti
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan
menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa.
Dalam istilah
Inggiris paham jabariyyah disebut fatalism atau
fredestination, yaitu yang mengatakan bahwa perbuatan manusia
sudah ditentukan sejak semula oleh Qada dan Qadar Tuhan. Posisi manusia
tidak memiliki kebebasan inisiatif sendiri, akan tetapi
terikat mutlak pada kehendak Tuhan.
Sejarah Kemunculannya
Orang yang pertama kali
mengemukakan paham Jabariyyah dikalangan umat islam
adalah Al-Ja’d Ibn dirham (terbunuh 124 H)“. Dan
pandangan-pemikirannya disebarluaskan oleh pengikutnya
Seperti ” Jahm bin safwan (125 H) dari Khurasan (dia pun termasuk
pendiri aliran jahmiyah dalam kalangan Murjiah). Mengenai sejarah
kemunculan, para ahli mengkajinya melaui pendekatan geokultural
bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan
kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara
yang memberikan pengaruh besar kedalam cara hidup mereka. Kebergantungan
mereka pada alam sahara yang mencuatkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam
situasi demikian, masyarakat Arab tidak banyak melihat jalan untuk
mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya. Faktor
inilah yang membuat mereka merasa lemah dan tidak kuasa dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak
alam. Hal inilah yang membawa mereka pada fatalism. Sebenarnya,
benih-benih paham jabr sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh
diatas. Itu dapat dilihat dalam peristiwa sejarah diantaranya:
a. Suatu ketika, Nabi SAW. menjumpai sahabatnya
yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi pun melarang mereka
memperdebatkan persoalan tersebut. Agar terhindar dari kekeliruan
penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan tentang takdir.
b. Rahasia sikap ini ialah ini adalah
riwayat hadits Nabi Saw. Yang menyebutkan “Kaum Qadariyyah
Majusinya umat ini” yang telah dituduh mengetahui adanya kesamaan antara
kaum Qadariyyah dan penganut Majusi. Sebab, diketahui
bahwa kaum Majusi membatasi takdir Ilahi pada apa
yang mereka namakan “Kebaikan” saja. Sedangkan “Kejahatan” berada
diluar takdir Ilahi, dan bahwa pelakunya adalah wujud setan pertama yang
mereka namakan Ahriman. Karena
itu, kaum Jabariyyah mengatakan bahwah yang dimaksud dengan.
“Kaum Qadariyyah “ ialah kalangan yang menginkari
qadar (takdir) ilahi, sementara lawan-lawan mereka berkata
bahwa kaum Qadariyyah ialah sementara lawan-lawan mereka berkata
bahwa kaum ialah orang –orang yang mengembalikan segala sesuatu,
hatta perbuatan manusia, kepada qadha dan qadar.
c. Khalifah Umar bin Khattab pernah
menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika
diinterogasi, pencuri itu berkata,”Tuhan telah menetukan saya untuk mencuri”
mendengar ucapan itu Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah
berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, umar memberikan dua jenis
hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan
karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan
dalil takdir Tuhan.
Kendatipun
penjelasan diatas mengatakan bahwa bibit paham jabr telah muncul sejak
awal priode Islam. Akan tetapi, yang dipelajari dan yang
dikembangkan terjadi pada masa-masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah. Berkaitan
kemunculan aliran Jabariyah dalam islam ada teori yang
mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing,
yaitu pengaruh agama yahudi yang bermazhab Qurra dan agama Kristen
bermazhab yacobit. Akan tetapi sebenarnya tanpa pengaruh-pengaruh
asing itu sesungguhnya paham al-jabar akan muncul dikalangan umat islam.
Aliran ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekan atau
kebebasan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi perbuatannya itu
dalam keadaan terpaksa.
Dalam
Al-Qur’an sendiri banyak memuat ayat-ayat yang dapat membawa
kepada timbulnya paham Jabariyyah. Dalam Surat As-Saffat ayat 96 di
tegaskan:” Allah menciptakan Kamu dan apa yang kamu perbuat” Dalam Surat Al-An-am ayat 111 dinyatakan :”
Mereka sebenarnya tidak akan beriman, sekiranya Allah tidak
menghendaki”.
Tokoh –Tokoh dan
Doktrin Ajaran Jabariyyah
Menurut Asy- Syahrastani, Jabariyyah itu dapat dikelompokkan kedalam
dua bagian Yaitu ekstrem (segala perbuatan manusia bukan merupakan
perbuatan yang timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan
yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya mencuri, perbuatan mencuri itu
bukan terjadi atas kehendak sendiri melainkan karena qadha dan qadar
Tuhan yang menghendaki demikian dan moderat.
a.
Al-Jahmiyah
Aliran jabariyyah oleh Al-
Syahrastani menyebutnya dengan istilah sebut al-jabariyyah al khalish.
Pendirinya adalah Jahm Ibn shafwan (124 H). Nama lengkapnya adalah Abu
Mahrus Jaham bin Shofwan. Ia berasal dari Khurasan dan bertempat tinggal
di Kufah. Ia seorang dai yang fasih dan lincah (orator) yang termasuk seorang
mawali yang menentang pemerintah bani Umayyah, ia ditawan kemudian di
bunuh oleh Muslim Ibn ahwas almazini pada akhir dinasti khalifah bani Umayyah.
Alirannya ini tersebar di Tirmiz dan di Balk.
Dia dianggap sebagai pengikut
jabariyyah murni. Aliran Jahmiyyah ini tidak menetapkan
perbuatan atau kekuasaan sedikitpun. Seluruh tindakbahan tidak boleh
terlepas dari aturan, skenario dan kehendak Tuhan. Segala akibat baik atau
buruk yang diterima oleh manusia perjalanan hidupnya adalah merupakan
ketentuan dari Allah SWT. Namun ada kecenderungan bahwa Tuhan
lebih memperlihatkan sikapnya yang mutlak /absolut dan berbuat
sekehendak-Nya. Hal inilah bisa menimbulkan kesan seolah-olah Allah tidak
adil jika ia menyiksa orang-orang yang berbuat dosa yang dilakukan orang
itu terjadi atas Tuhan. Berikut doktrin ajarannya:
Ø Menurut jaham
bin ahwas manusia dalam paham jabariyyah sangat lemah
tidak berdaya .terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak
mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana yang dimiliki oleh paham
jabariyyah. Pendapat
Jahm tentang keterpaksaan lebih terkenal dibandingkan pendapatnya
tentang surga dan neraka, konsep Iman, kalam tuhan, meniadakan sifat
Tuhan ( Nafyu as-Sifat) dan melihat Tuhan di akhirat.
Ø Surga dan neraka
tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
Ø Iman dan
ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini pendapatnya
sama dengan konsep iman yang diajukan oleh Murji’ah.
Ø kalamTuhan
adalah Makhluk. Allah Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan
Manusia, sperti berbicara, mendengar, dan melihat. Begitu pula Tuhan
tidak dapat dilihat dengan indra mata diakhirat kelak.
Dengan demikian dalam beberapa hal,Jahm berpendapat serupa dengan
Murjiah,Mu’tazilah dan Asy’ariah sehingga para pengkritik dan sejarawan
menyebutnya dengan Al-Mu’tazili,Al-Murji’idan Al-Asy’ari.
b.
Ja’d bin Dirham
Ja’d adalah seorang maulana Hakim,
tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan dalam lingkungan orang Kristen yang
senang membicaraka teologi. Dan telah dipercaya mengajar dilingkungan
Bani Umayyah namun setelah pikirannya-pikirannya yang kontraversial terlihat
Bani Umayyah menolaknya. Kemudian dia pergi ke Kufah dan bertemu
dengan jahm, yang akhirnya berhasil mentransfer pikirannya kepada Jahm
untuk dikembangkan dan di sebarluaskan. Doktrin ja’d secara umum sama dengan
Jahm. Al Ghurabi menjelaskannya sebagai berikut.
Ø Al-Qur’an
itu makhluk. Oleh karena itu, dia baru (huduts), Sesuatu yang baru tidak
dapat disifatkan kepada Allah SWT.
Ø Allah tidak
mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat
dan mendengar.
Ø Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya. Manusia bagaikan selembar bulu yang
diterbangkan angin, mengikuti takdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama
dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati.
Ø Tidak mengakui
adanya sebab akibat diantara segala sesuatu terutama manusia dan
perbuatanya serta kepribadiannya secara spiritual dan moral. Entah masa
depannya bahagia atau sengsara.
c.
An-Najariyyah
Pendiri aliran
ini diberi istilah yaitu al-jabariyyah Al- Mutawassithah,
pendiri aliran ini adalah Al- Husein Ibnu Muhammad an- najjar
(230 H) dan Ia termasuk tokoh Mu’tazilah yang paling banyak
menggunakan ratio yakni menetapkan adanya Qudrat pada manusia tetapi
Qudrat tersebut tidak mempunyai efek atas perbuatan.
Menurut Najjar dan dirar, bahwah tuhanlah yang
menciptakan perbuatan manusia baik perbuatan itu positif maupun
Negatif. Tetapi dalam perbuatan itu manusia mempunyai bagian. Daya
yang diciptakan dalam diri manusia oleh Tuhan, mempunyai efek .sehingga
manusia mampu melakukan perbuatan-perbuatan inilah yang di sebut
Kasb atau acquisition.
An-Najjar juga berkata :
Tuhan hanya berkehendak dengan zat-Nya, Juga Tuhan mengetahui
dengan zat-Nya . karena itu taalluqnya menyeluruh Allah menghendaki baik dan
buruk bermanfaat dan mudharat. Dan
katanya Yang dimaksud Allah berkehendak disini bahwah Alla tidak
tidak dipaksa dan tidak terpaksa. Katanya : Allah menciptakan semua baik
dan buruk dan manusia hanya merencana. Dia pun mengakui adanya
Kasab(usaha) pada manusia, seperti pendapat Al-Asy’ari sependapat
tentang istitithah.
Ø Mengenai Ru’yah
yakni melihat zat Allah di akhirat ditolaknya, baik dengan mata
kepala atau lainnya. Akan tetapi, An-Najjar
menyatakan bahwa Tuhan dapat memindahkan potensi hati (makrifat)
pada mata sehingga mata dapat melihat Tuhan.
Ø Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia tetapi manusia yang
mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan pebuatan-perbuatan itu.
Inilah yang disebut Kasab dala teori Al-Asy’ari. Dengan demikian manusia
dalam pandangan Najjar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya
bergantung pada dalang. Sebab tenaga yang dicipitkan Tuhan dalam manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Al-kabi juga mengutip ucapan An-Najjar Yang mengatakan :
Tuhan berada di setiap tempat sebagai Zat dan wujud karena kalau tidak demikian
tidak ada artinya sifat fi‘li (sifat ) dan qudrah. Katanya mengenai akal sebelum turun
wahyu mengenal Allah dengan Akal. Iman menurutnya hanya tasdhiq. Siapa
yang meninggal setelah mengerjakan dosa besar tanpa bertobat ia
dihukum karenanya. Namun ia akan dikeluarkan juga dari neraka, karena
tidak adil menyamakannya dengan orang kafir yang memang kekal didalamnya.c
d.
Ad-Dhirariyyah
Pendirinya adalah Dhirar ibn ‘amr
dan Hafshul al- fard. Keduanya sepakat adanya sifat Allah, namun keduanya
berkata: Allah maha mengetahui dan maha kuasa maksudnya tidak jahil dan
tidak lemah. Dan mereka mengakui bahwah Allah adalah zat yang hakikatnya
tidak diketahui, melainkan Allah sajalah yang tahu, katanya pendapat ini
dikutip dari Abu hanifah dan rekan-rekannya. Dan yang
dimaksud Allah mengetahui Zat-nya tanpa melalui pembuktian
dan dalil.
Mereka berdua mengakui adanya indra
keenam yang dimiliki manusia dengan hari itu ia melihat Tuhan di
hari pembalasan segala amal kebajikannya di dalam surga. Serta
meyakini bahwa pada hakikatnya perbuatan manusia
adalah ciptaan Allah Swt.namun manusia yang memprgunakannya, dan dapat terjadi
satu perbuatan dari dua pelaku. Katanya sumber ajaran islam setelah
masa Rasulullah hanya ijma’ dan ajaran yang diperoleh dari dhirar bahwa
ia menolak Qiroat Ibn Mas’ud da Ubay bi ka’ab yang katanya bacaan seperti itu
tidak perna diturunkan Allah Ta’ala.
Dhira dalam
kesempatan lain juga pernah berpandangan mengenai kepemimpinan boleh saja
bukan suku Quraisy namun apabilah keturunan Rasulullah yang
lebih pantas di utamakan keturunan Rasulullah dengan alasan
bahwa jumlah keturunan itu sedikit. Melalui cara ini akan mudah
memberhentikan apabila tindakannya bertentantangan dengan syariat
islam. Dan megenai ru’yatullah di akhirat , Dhirar mengatakan bahwa
Tuhan dapat dilihat diakhirat melalui “indera keenam”
C.
Qadariyah
Latar Belakang Kemunculan Paham Qadariyah
Qodariyah
berasal dari bahasa Arab yaitu qadara yang mempunyai arti kemampuan dan
kekuatan. Secara terminologi, qodariyah adalah aliran atau paham teologi yang
percaya bahwa segala tindakan dan perbuatan manusia itu terjadi tanpa ada
campur tangan Tuhan, artinya manusia bebas melakukan apa saja sesuai dengan
keinginannya. Aliran ini berpendapat bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi
segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri. Dan dari pernyataan ini, maka dapat dipahami bahwa
Qodariyah digunakan untuk nama suatu aliran atau paham yang menyatakan
kebebasan dan kekuatan penuh bagi manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Menurut Prof Dr. Harun Nasution, kaum Qodariyah berasal
dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudarah atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukun berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada Qadar ketentuan Tuhan.
Sebenarnya, sebutan
Qodariyah lebih cocok diberikan pada aliran atau paham yang berpendapat bahwa
qadar telah menentukan segala tingkah laku manusia, yang meliputi seluruh
perbuatan baik dan buruk manusia. Tapi
pada kenyataannya dan sesuai dengan sejarah teologi, bahwa nama Qodariyah
melekat pada aliran atau paham yang percaya dan meyakini bahwa manusia
mempunyai kebebasan penuh sesuai dengan kehendaknya. Menurut Ahmad Amin,
sebutan ini diberikan kepada para pengikut paham qadar oleh lawan mereka dengan
merujuk pada hadis yang membuat negatif nama Qodariyah. Hadisnya yaitu: “
kaum Qadariyah adalah Majusinya Umat ini”
Tokoh-tokoh Aliran Paham Qodariyah
Dalam
menetapkan kapan munculnya dan siapa tokoh-tokoh paham Qodariyah ini, para ahli
teologi masih berbeda pendapat dan terus menjadi perdebatan. Menurut Ahmad
Amin, para ahli teologi ada yang berpendapat bahwa Qodariyah pertama
dimunculkan oleh Ma’bad Al- Jauhani pada tahun w. 80 H dan Ghilan Ad-Dimasyqy.
Ma’bad merupakan seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada
Hasan al-Bisri. Sementara Ghilan adalah seorang orator berasal dari Damaskus
dan ayahnya adalah seorang maula Utsman bin Affan.
Sedangkan Ibnu Nabatah
dalam kitabnya Syarh al-uyun, seperti dikutib oleh Ahmad Amin (1886-1954 M),
memberikan pernyataan lain bahwa yang pertama memunculkan paham qodariyah
adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan Kembali
lagi ke agama Kristen. Dari orang
inilah, Ma’bad dan Ghilan mengambil dan mendapat paham Qodariyah ini. Orang Irak
yang dimaksud bernama Susan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Muhammad Ibn Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai.
Sementara
menurut W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut
Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der
Islam pada tahun 1933. Dalam artikel itu menjelaskan bahwa paham Qodariyah
terdapat dalam Risalah yang ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Bisri
sekitar tahun 700 M. Hasan Bisri (642-728) adalah anak seorang yang berstatus
tahanan di Irak, lahir di Madinah, tetapi pada tahun 657 pergi ke Basrah dan
tinggal di sana sampai akhir hayatnya. Dan apakah Hasan Bisri adalah seorang
qodariyah atau bukan, hal ini masih menjadi perdebatan. Tapi yang jelas
dalam Risalah tersebut, Hasan Bisri menyatakan bahwa manusia dapat memilih
secara bebas antara baik dan buruk. Hasan Bisri yakin dan percaya bahwa manusia
bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.
Ma’bad
al-Jauhani dan Ghilan, menurut Watt adalah penganut Qodariyah yang hidup
setelah Hasan Bisri.
Apabila dihubungkan dengan keterangan az-zahabi dalam Mizan al-I’tidal, seperti
dikutip oleh Ahmad Amin yag menyatakan bahwa Ma’bad al-Jauhani pernah belajar
kepada Hasan bisri.
Berkaitan dengan tempat
munculnya untuk yang pertama kali, para ahli teologi juga masih berebeda
pendapat, sesuai dengan pendapat Ahmad Amin bahwa penentuan itu merupakan
pernyataan yang sulit karena pada waktu itu pengikut Qadariyah sangat banyak. Sebagian ahli teologi berpendapat bahwa paham
qadariyah muncul di Irak dengan bukti pengkajian paham ini dilakukan oleh Hasan
Bisri. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibn Nabatah yang menyatakan seorang yang
bernama Susan berasal dari Irak yang beragama Kristen kemudian masuk Islam dan
kembali lagi masuk Kristen. Dan sebagian pendapat lain menyatakan bahwa paham
Qadariyah muncul di Damaskus disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang
banyak dipekerjakan di istana-istana Khalifah.
Paham qadariyah mendapat tantangan keras dari
umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya reaksi
tersebut. Pertama, Menurut Prof.Dr Harun Nasution, dikarenakan masyarakat arab
sebelum Islam dipengaruhi oleh paham Fatalis. Kehidupan masyarakat arab masa
itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah
pada keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang
gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup
yang ditumbulkan oleh keadaan di sekelilingnya. Oleh karena itu, ketika paham
qadariyah dikembangkan mereka tidak dapat menerimanya. Paham qadariyah
dipandang bertentangan dengan doktrin Islam.
3 Pokok atau Ajaran Paham Qodariyah
Secara umum pokok ajaran dari paham qadariyah ialah manusia berkuasa penuh
atas perbuatan-perbuatannya; manusia melakukan kebaikan atas kehendak dan
kekuasaan dirinya sendiri, dan manusia juga yang melakukan atau menjahui
perbuatan-perbuatan buruk sesuai dengan kemauan dan dayanya sendiri tanpa
campur tangan Tuhan.
Dalam kitab al-milal
wa an-nihal, masalah qadariyah disatukan pembahasannya dalam doktrin-doktrin
Mu’tazilah. Sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang jelas. Ahmad
Amin, menjelaskan bahwa doktrin bahwa doktron qadar kiranya lebih luas
dibahas oleh kalangan Mu’tazilah. Sebab paham ini dijadikan sebagai salah
satu diantara doktrin mu’tazilah, sehingga orang sering menamakan qodariyah
sama dengan mu’tazilah. Keduanya sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai
kemampuan untuk melakukan semua tindakannya tanpa campur tangan Tuhan. Salah
seorang pemuka qodariyah yang lain, an-nazzam, mengemukakan bahwa manusia hidup
mempunyai daya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala
perbuatannya. Sungguh tidak pantas manusia menerima siksaan atau tindakan salah
yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya. Menurut pandangan
qadariyah, apabila manusia diberi ganjaran, baik dengan balasan surga
maupun siksa dengan balasan neraka, itu semua merupakan pilihan dan kehendak
dirinya sendiri, bukan karena takdir Tuhan. Dalam paham qadariyah, takdir
adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya berlaku untuk alam semesta beserta
isinya semenjak adanya hukum yang dalm istilah Al-Qur’an adalah sunatullah.
Secara alamiah,
sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia
dalam deminsi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam.
Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip, seperti yang
dimiliki oleh ikan sehingga dapat berenang di laut lepas. Demikian juga manusia
tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang beratus
kilogram, tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif. Dengan
daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil, manusia
dapat meniru yang dimiliki ikan sehingga manusia dapat berenang di laut lepas.
Demikian juga manusia dapat membuat benda lain yang dapat membantu untuk
membawa barang seberat yang dibawa gajah, bahkan lebih dari itu. Disini,
terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia.
D.
Kesimpulan
Istilah jabariyyah dapat diartikan pula menolak adanya
perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan
kepada Allah berdasarkan pengertian bahwa segala
sesuatu didahului oleh Ilmu Allah dan tidak ada sesuatu yang didahului
oleh ilmu Allah, jabariyyah ada dua bentuk: pertama
jabariyyah murni, yang disebut juga Al-jahmiyyah, yang
menolak adanya perbuatan berasal dari manusia dan memandang
manusia tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat . Kedua , Jabariyyah pertengahan yang moderat
yang disebut juga An-Najariyyah, yang mengakui adanya perbuatan dari
manusia namun perbuatan manusia tidak membatasi. Orang yang mengaku
adanya perbuatan dari makhluk ini mereka namakan “Kasab” bukan
termasuk Jabariyyah.
Sedangkan
pengikut Qadariyyah menganggap manusia memilik kebebasan untuk
berkehendak dalam perbuatan tanpa adanya campur tangan Tuhan. Jadi
muncullah teori ketiga yang menyingkap bahwa
“kontradiksi” tersebut hanya merupakan akibat pemahaman
yang keliru semata-mata. Kita dapat mengatakan bahwa hakikatnya tidak ada
kontradiksi dalam al-Qur’an yang memaksa kita
mengartikan beberapa ayat berlawanan dengan arti lahirnya
atau menakwilkannya.
Komentar
Posting Komentar