Makalah Pengantar Bimbingan Konseling



JENIS LAYANAN
BIMBINGAN DAN KONSELING

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Makalah
Pada Mata Kuliah Pengantar Bimbingan Konseling



Disusun Oleh :

KELOMPOK VI

No.
Nama
NIM
1.
  Hayatul Khairul Rahmat
15220011
2.
  Rahmanisa
15220012
3.
  Putri Pramesti Cahyani
15220016
4.
  Dita Exnes Septiyana
15220040


Dosen Pengampu :

Drs. Abror Sodik, M. Si.
NIP. 19580213 198903 1 001


PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015



KATA PENGANTAR

ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$#
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى اَشْرَفِ اْلاَنْبِيَاءِ وَ اْلمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ اَجْمَعِيْنَ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهِ وَ حْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَمَّا بَعْدُ :


Puji dan syukur senantiasa penulis haturkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan nikmat -Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Pengantar Bimbingan Konseling yang diampu oleh Bapak Drs. Abror Sodik, M. Si.
Makalah yang penulis buat ini berjudul “Jenis Layanan Bimbingan dan Konseling” dibuat berdasarkan hasil penyusunan data-data yang diperoleh dari berbagai buku referensi yang berkaitan dengan Mata Kuliah Pengantar Bimbingan Konseling, serta berbagai informasi dari berbagai literatur dan sumber lainnya yang berhubungan dengan Mata Kuliah Pengantar Bimbingan Konseling. Dalam pembuatan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. H. Abror Sodik, M. Si. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Pengantar Bimbingan Konseling dimana beliau telah memberikan bimbingan dan arahan serta masukan dalam penulisan makalah ini. Selain itu, kami selaku penulis tidak lupa mengucapkan kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan bekerja sama dalam penyelesaian makalah ini, sehingga pembaca dapat membaca makalah ini.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan seluruh pembaca. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik  dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini menuju lebih baik.
     
Yogyakarta,     September 2015
Tim Penulis




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                                            i
DAFTAR ISI                                                                                                                           ii
BAB I
PENDAHULUAN                                                                                                                 1
A.    Latar Belakang                                                                                                             1
B.     Rumusan Masalah                                                                                                        1
C.     Tujuan                                                                                                                          1
D.    Manfaat                                                                                                                        2
BAB II
PEMBAHASAN                                                                                                                    3
A.    Layanan Konseling Perseorangan                                                                                3
B.     Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok                                                           12
BAB III
PENUTUP                                                                                                                              16
A.    Kesimpulan                                                                                                                  16
B.     Kritik dan Saran                                                                                                           16
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                             17





BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pentingnya bimbingan dan konseling dalam kehidupan manusia adalah karena bimbingan dan konseling merupakan pelayanan yang dilakukan dari manusia, oleh manusia, dan untuk manusia. Dari manusia ini artinya bahwa pelayanan itu diselenggarakan berdasarkan hakikat manusia dengan segenap kemanusiaannya. Untuk manusia dimaksudkan bahwa pelayanan itu diselenggarakan demi tujuan-tujuan yang mulia dan positif bagi kehidupan kemanusiaan menuju manusia seutuhnya, baik sebagai individu atau sebagai kelompok. Oleh manusia mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pelayanan itu adalah manusia dengan segala derajat, martabat, dan keunikan masing-masing yang terlibat di dalamnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, tentunya pelaksanaan bimbingan konseling ini sangat dibutuhkan sekali. Oleh karena itu, dalam pelayanan konseling itu berjalan seiring dengan penyelenggaraan pendidikan pada umumnya, dan dalam hubungannya saling berpengaruh antara orang yang satu dengan yang lainnya. Jadi dalam proses ini terjadilah pelayanan konseling yang akan dibagi menjadi layanan bimbingan dan konseling yang bersifat perorangan dan kelompok.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa saja jenis-jenis layanan bimbingan dan konseling ?
2.      Apa itu layanan bimbingan dan konseling perorangan ?
3.      Apa itu layanan bimbingan dan konseling kelompok ?
4.      Apa saja bentuk-bentuk layanan bimbingan dan konseling baik perorangan ataupun kelompok ?

C.    TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui apa saja jenis layanan bimbingan dan konseling yang ada di tengah-tengah masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, juga akan menjelaskan bentuk-bentuk layanan bimbingan dan konseling itu sendiri.


D.    MANFAAT
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah agar para pembaca bisa menambah wawasan pengetahuan tentang jenis-jenis layanan dalam bimbingan dan konseling yang ada di tengah-tengah masyarakat dan mengaplikasikan yang didapat dalam kehidupan sehari-hari.





























BAB II
PEMBAHASAN

A.    LAYANAN KONSELING PERSEORANGAN
Dalam layanan konseling perorangan konseling dianggap sebagai upaya layanan yang paling utama dalam pelaksanaan fungsi pengentasan masalah klien. Bahkan dapat dikatakan bahwa konseling merupakan “jantung hatinya” pelayanan bimbingan secara menyeluruh. Hal ini berarti bahwa apabila layanan bimbingan konseling telah memberikan jasanya, maka masalah klien akan teratasi secara efektif dan upaya-upaya bimbingan lainnya tinggal mengikuti atau berperan sebagai pendamping saja.
Implikasi lain dari pengertian “jantung hati” itu adalah apabila seorang konselor telah menguasai dengan sebaik-baiknya apa, mengapa, dan bagaimana pelayanan konseling itu (dalam arti memahami, menghayati, dan menerapkan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan dengan berbagai teknik dan teknologinya), maka diharapkan dapat menjalankan dan menyelenggarakan layanan bimbingan lainnya dengan tidak mengalami kesulitan.[1] Adapun bentuk-bentuk layanan konseling perorangan, yaitu meliputi : layanan konseling yang diselenggarakan secara resmi, pengentasan masalah melalui konseling, tahap-tahap keefektifan masalah, dan pendekatan dan teori konseling.

1.      Layanan Konseling Diselenggarakan Secara Resmi
Konseling merupakan layanan yang teratur, terarah, dan terkontrol, serta tidak diselenggarakan secara acak atau seadanya. Sasaran (subyek penerima layanan), tujuan, kondisi, dan metodologi penyelenggaraan layanan telah digariskan dengan jelas. Sebagai rambu-rambu pokok dalam pelaksanaa layanan konseling. Munro, dkk. (1979) mengemukakan tiga dasar etika konseling, yaitu kerahasiaan, keterbukaan, dan tanggung jawab pribadi klien. Konseling yang berhasil dan bersifat etis hanya apabila didasarkan pada ketiga hal itu. Tidaklah pelayanan konseling bersifat etis apabila kerahasiaan klien terlanggar, demikian pula tidaklah etis suatu layanan konseling yang diselenggarakan dalam suasana keterpaksaan klien, dan lagi tidaklah etis suatu layanan konseling apabila tnaggung jawab klien atas tingkah lakunya sendiri dikabari atau dikurangi.
Berdasarkan tiga dasar etika konseling tersebut, maka sifat “resmi” layanan konseling ditandai dengan adanya ciri-ciri yang melekat pada pelaksanaan layanan itu, yaitu bahwa :
a.       Layanan itu merupakan usaha yang disengaja.
b.      Tujuan layanan tidak boleh lain daripada untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
c.       Kegiatan layanan diselenggarakan dalam format yang telah ditetapkan.
d.      Metode dan teknologi dalam layanan berdasarkan teori yang telah teruji.
e.       Hasil layanan dinilai dan diberi tindak lanjut. (Priyatno dan Erman Anti, 1999)
Ketika akan mengawali hubungan konseling, konselor perlu memasang niat dengan motivasi yang kuat untuk membantu klien. Niat itu merupakan wujud kesengajaan yang bersifat batiniah yang kalau diikuti oleh kesadaran yang mendalam akan mampu memberikan arah yang tepat bagi pekerjaan yang akan dilakukan. Sebagai refleksi landasan keagamaan dalam konseling, maka niat itu dibarengi dengan permohonan ridla, rahmat, dan petunjuk dari Tuhan agar layanan yang akan segera dilaksanakan itu berjalan dengan lancar dan memberikan hasil yang bermanfaat. Ucapan “Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” menyertai niat yang tulus itu. Bekal konselor dalam mengawali layanan konselingnya tentulah tidak hanya niat yang tulus seperti itu saja, akan tetapi harus disertai pula dengan berbagai wawasan dan sikap positif tentang klien dan seluk-beluk serta dimensi metodologi layanan itu sendiri yang sejak semula telah tertanam pada diri konselor. Dengan niat, wawasan dan sikap serta dimensi metodologi layanan yang ada pada diri konselor, maka mantaplah kesengajaan konselor dalam mengawali upaya layanan konseling.
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, bahwa tujuan layanan konseling adalah untuk kepentingan dan kebahagiaan klien, maka apa pun yang muncul dalam layanan konseling harus diarahkan pada tujuan tersebut, dan apapun yang menjadi persepsi, sikap dan tindakan konselor harus berorientasi pada tujuan positif bagi klien. Lebih jauh, sebuah kondisi yang terbangun selama hubungan konseling berlangsung dan berbagai kemungkinan implikasinya, baik ditinjau dari sisi klien, konselor, maupun kondisi hubungan itu sendiri, tidak lain adalah untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
Format konseling terutama jarak, arah, dan sikap duduk konselor dan klien, serta tatap muka atau kontak langsung antara klien dan konselor. Sebenarnya format standar berkenaan dengan duduk dan tatapan wajah itu adalah konselor dan klien berhadapan, konselor duduk dengan sikap sempurna (tidak membungkuk ataupun menyandarkan pinggang ke kursi), dan wajah konselor menatap klien tanpa adu pandang antara klien dan konselor. Sekali lagi format ini adalah format standar. Apabila format standar tersebut dapat diterapkan tanpa menimbulkan reaksi-reaksi negatif pada pihak klien, agaknya manfaat yang dapat diberikan cukup banyak. Namun demikian, mengingat berbagai alasan yang menyangkut keunikan klien, adat istiadat, dan kebiasaan setempat, serta aspek-aspek sosial budaya lainnya, format standar itu dapat dimodifikasi tanpa mengurangi tujuan dari pengembangan format hubungan konseling yang tepat. Format apapun yang terbentuk, standar atau hasil modifikasi, efek yang diharapkan dari terbentuknya format itu ialah :
a.       Konselor sepenuhnya menghadapi (dan mencurahkan perhatian kepada) klien, dan sebaliknya klien dapat sepenuhnya memperhatikan konselor. Dalam hal ini baik klien maupun konselor menyediakan diri dalam kondisi transparan (tidak ada yang ditutup-tutupi).
b.      Klien benar-benar melihat dan merasakan bahwa konselor dalam “sikap sempurna” selalu memperhatikan (dalam arti positif) diri klien dan permasalahannya.
c.       Suara, mimik, dan gerak-gerik klien dan konselor jelas ditangkap oleh kedua belah pihak.
d.      Klien dan konselor mudah bergerak.
e.       Klien dan konselor merasa dekat satu sama lain, sambil tetap menjaga jarak.
Format hubungan konseling yang diterapkan oleh seorang konselor boleh jadi tidak sama untuk semua kliennya. Format standar dan berbagai modifikasinya dipakai secara bervariasi sesuai dengan kondisi klien, kondisi-kondisi sosial budaya, kondisi ruangan dan peralatan yang ada, dan kondisi konselor sendiri.
Kondisi (dan juga hasil) hubungan konselor amat ditentukan oleh metodologi (dan teknologi) konseling yang dimiliki dan diterapkan oleh konselor. Konselor yang berhasil pada umumnya adalah konselor yang memiliki khasanah metode dan cara-cara yang kaya dalam mengembangkan hubungan konseling dan sekaligus dalam menangani masalah klien (dengan mempergunakan metode-metode khusus). Metode dan cara-cara yang itu perlu, karena mengingat masalah-masalah yang dialami klien seribu satu macam jenisnya, dan mengingat pula keunikan masing-masing klien. Variasi masalah dan keunikan klien itu menuntut variasi dalam metode dan cara-cara penanganannya. Penguasaan metodologi yang kaya itu tidak mudah, memerlukan upaya pembelajaran dan pengalaman yang cukup lama.
Karena layanan konseling bukan layanan acak ataupun layanan yang dapat diselenggarakan sambil lalu, maka sebagai konsekuensinya ialah bahwa layanan itu perlu dievaluasi dan diberikan tindak lanjut. Mengingat bahwa hubungan konseling merupakan proses dinamis, unik, dan tidak terprogram sebagaimana kegiatan mengajar ataupun kegiatan darmawisata misalnya, maka penilaian hasil konseling memiliki kekhasan sendiri yang menampung ciri-ciri kedinamisan dan keunikan. Demikian juga dengan upaya tindak lanjutnya, maka ciri-ciri kedinamisan dan keunikan tetap mewarnai upaya tindak lanjut itu.

2.      Pengentasan Masalah Melalui Konseling
Melalui konseling klien mengharapkan agar masalah yang dialaminya dapat diatasikan. Langkah-langkah umum upaya pengentasan masalah melalui konseling pada dasarnya adalah :
a.       Pemahaman masalah.
b.      Analisis sebab-sebab timbulnya masalah.
c.       Aplikasi metode khusus.
d.      Evaluasi.
e.       Tindak lanjut.
Dalam konseling, klien dan konselor harus benar-benar memahami masalah yang dihadapi klien, sedapat-dapatnya secara lengkap dan rinci. Pemahaman masalah oleh klien harus benar-benar persis sama dengan pemahaman konselornya dan obyektif sebagaimana adanya masalah itu. Hal itu perlu justru untuk menjamin ketepatan, efektivitas, dan efisiensi proses konseling. Upaya pemahaman masalah itu biasanya dilakukan pada awal proses konseling. Unsur-unsur pengenalan klien dan masalahnya yang diperoleh konselor diluar proses konseling (misalnya melalui laporan pihak ketiga, dan data dalam cummulative record, keterangan dari klien sendiri sebelum proses konseling), khususnya yang ada sangkut pautnya atau diduga ada sangkut pautnya dengan masalah yang sedang dibahas, harus dicek kebenarannya kepada klien sendiri dalam proses konseling.
Usaha pemahaman masalah klien biasanya terkait langsung dengan kajian tentang sumber penyebab masalah itu. Meskipun upaya pemahaman masalah dan pengkajian tentang sumber-sumber penyebabnya dapat dipilih, namun pembahasan keduanya sering kali sukar dipisahkan. Dengan mengkaji sebab-sebab timbulnya masalah, klien dan konselor memperoleh pemahaman yang lebih lengkap dan mendalam tentang masalah klien.
Apabila hati dan pikiran klien dapat digugah, besarlah harapan kekuatan yang ada di dalam diri klien terbangkitkan untuk mengentas permasalahan yang dialaminya. Tergugahnya hati dan pikiran klien itulah yang merupakan titik awal pengentasan secara nyata. Tidak jarang terjadi, terutama bagi klien yang cerdas dan motivasi amat kuat untuk memecahkan masalah, titik awal itu menjadi pemicu yang menggelindingkan sendiri kekuatan klien. Ia menyatakan kepada konselor bahwa dirinya telah sanggup memecahkan masalahnya sendiri. Dengan demikian ia merasa proses konseling sudah dapat diakhiri. Hal itu semua dapat terjadi berkat keterampilan konselor menyelenggarakan proses konseling dengan teknik-teknik yang jitu.
Terpahaminya masalah klien dengan baik serta tergugahnya hati dan pikiran klien belum tentu serta merta membuahkan hasil terpecahnya masalah. Dalam hal ini proses konseling masih perlu dilanjutkan dengan penerapan metode khusus sesuai dengan rincian masalah dan sumber-sumber penyebabnya. Metode-metode khusus bervariasi dari pengembangan penalaran dan kata hati, peneguhan hasrat untuk mencapai tujuan tertentu (dalam rangka pemecahan masalah), latihan merencanakan suatu kegiatan, pemberian contoh, latihan bersikap dan bertindak, sampai dengan penerapan program-program komputer dalam konseling. (Brammer dan Shostrom, 1982). Penerapan metode khusus ini menjadikan proses konseling tidak semata-mata berdimensi verbal melainkan berkembng menjadi proses konseling multidimensional.
Kegiatan evaluasi ditujukan untuk menilai sampai berapa jauh masalah klien terentaskan, dan lebih khusus untuk menilai keefektifan metode khusus yang dipakai. Ada dua pendekatan penilaian yang dapat ditempuh, yaitu penilaian dalam proses dan penilaian pasca proses. Penilaian dalam proses dilakukan ketika proses konseling sedang berjalan. Penilaian ini sangat memerlukan keterampilan konselor, konselor dituntut secara simultan melancarkan dialog dengan klien, dan sekaligus mengadakan penilaian atas kelancaran, ketepatan, dan kebermaknaan proses itu sendiri. Disamping itu, atas hasil penilaian itu konselor diharapkan secara bijaksana dapat memberikan tindak lanjut agar proses konseling yang dijalankannya itu tetap berlangsung dengan sebaik-baiknya sampai akhir.
Upaya evaluasi dalam proses diakhiri dengan “evaluasi akhir proses”. Konselor dapat meminta klien menyampaikan kesan-kesan dan perasaannya terhadap proses konseling yang baru saja dijalaninya, hal-hal apa yang sudah dan belum ia peroleh, dan harapan-harapannya, khususnya dengan masalah yang dihadapinya. Hasil evaluasi akhir ini dapat pula dikaitkan dengan rencana lebih lanjut klien, termasuk didalamnya kemungkinan penerapan hasil-hasil konseling (seperti beberapa alternatif tindakan untuk mencapai tujuan, latihan-latihan bertingkah laku) dalam kehidupan sehari-hari, dan konseling lebih lanjut.
Evaluasi pasca konseling biasanya lebih sukar dilakukan, lebih-lebih dengan klien-klien yang berada di luar lembaga tempat konselor bekerja. Konselor sukar menjangkau mereka sehingga evaluasi sistematik sukar dilakukan. Evaluasi insidental dapat berlangsung apabila konselor bertemu mereka dan menanyakan dampak konseling yang pernah terlaksana, atau melalui pihak ketiga yang mengenal klien. Evaluasi seperti ini derajat kesahihan dan keterlandalannya tidak cukup tinggi atau bahkan diragukan. Untuk klien-klien yang berada dalam lembaga tempat konselor bekerja, evaluasi pasca proses lebih memungkinkan dilaksanakan, apalagi kalau untuk mereka disediakan program pelayanan yang terjadwal sehingga antara klien dan konselor dapat diatur pertemuannya secara berkala. Evaluasi melalui instrumen tertulis (misalnya angket) juga dapat dilakukan. Hasil evaluasi itu dipakai sebagai masukan dan bahan pertimbangan baik bagi rencana tindak lanjut yang akan dilaksanakan dalam pertemuan terjadwal dengan masing-masing klien, maupun bagi penyusunan program-program pelayanan perode-periode berikutnya.

3.      Tahap-Tahap Keefektifan Pengentasan Masalah Melalui Konseling
Keefektifan pengentasan masalah melalui konseling sebenarnya dapat dideteksi sejak awal klien mengalami masalah. Dari keadaan yang paling awal itu sampai konseling yang paling akhir nantinya pada waktu masalah klien terentaskan, dapat diidentifikasi dalam lima tahapan, yaitu :
Tahap pertama, dimulai ketika klien menyadari bahwa dirinya mengalami masalah. Individu-individu yang menyadari bahwa dirinya bermasalah agaknya memiliki kemungkinan yang lebih baik dalam hal pemecahan masalahnya.
Tahap kedua, individu menyadari bahwa dirinya tidak mampu memecahkan masalah, dan menyadari pula bahwa ia memerlukan bantuan orang lain untuk memecahkan masalah yang dialaminya.
Tahap ketiga, proses pemecahan masalah tetap terbuka dan keefektifan konseling kaan terwujud, kalau individu itu memang gigih mencari orang-orang yang benar-benar mampu dan bertanggung jawab dalam membantu pemecahan sebuah permasalahan.
Tahap keempat, klien dituntut aktif dalam proses konseling dari awal sampai akhir, karena keaktifan klien itukah yang justru menentukan keefektifan konseling.
Tahap kelima, konseling yang telah terselenggara itu benar-benar efektif, apabila klien benar-benar menjalankan (menerapkan) hasil-hasil yang telah dicapai melalui konseling dalam kehidupan sehari-hari klien. Atau dengan kata lain, hasil konseling benar-benar mengubah tingkah laku klien, dan dengan demikian masalah klien secara berangsur-angsur teratasi.

4.      Pendekatan dan Teori Konseling
Apabila ditilik lebih lanjut bahwa teori-teori konseling itu pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendekatan, konseling direktif, konseling non-direktif, dan konseling elektrik.

a.      Konseling Direktif
Konseling direktif, yang karena proses dan dinamika pengentasan masalahnya mirip “penyembuhan penyakit”, pernah juga disebut dengan “konseling klinis” (clinis counseling). Pendekatan ini dipelopori oleh E. G. Williamson dan J. G. Darley yang berasumsi dasar bahwa klien tidak mampu mengatasi masalah sendiri yang dihadapinya. Karena itu, klien membutuhkan bantuan dari orang lain yaitu konselor. Dalam konseling direktif, klien bersifat pasif, dan yang paling aktif itu adalah konselor. Dengan demikian, inisiatif dan peranan utama pemecahan masalah lebih banyak dilakukan oleh konselor. Klien bersifat menerima perlakuan dan keputusan yang dibuat oleh konselor. Dalam konseling direktif diperlukan data yang lengkap tentang klien untuk dipergunakan dalam usaha diagnosis.
Konseling direktif ini sering juga disebut konseling yang beraliran Behavioristik, yaitu layanan konseling yang berorientasi pada pengubahan tingkah laku secara langsung. (Hansen, dkk., 1977 dan Brammer dan Stone, 1982).
Konseling direktif berlangsung menurut langkah-langkah umum sebagai berikut.
·         Analisis data tentang klien.
·         Pensintesisan data untuk mengenal kekuatan-kekuatan dan kelemahan klien.
·         Diagnosis masalah.
·         Prognosis atau prediksi tentang perkembangan masalah selanjutnya.
·         Pemecahan masalah.
·         Tindak lanjut dan peninjauan hasil-hasil konseling.

b.      Konseling Non Direktif
Konseling Non-direktif sering juga disebut dengan “Client Centered Therapy”. Pendekatan ini diperoleh oleh Carl Rogers dari Universitas Wisconsin di Amerika Serikat. Konseling non-direktif merupakan upaya bantuan pemecahan masalah yang berpusat pada klien. Melalui pendekatan ini, klien diberik kesempatan mengemukakan persoalan, perasaan dan pemikiran-pemikirannya secara bebas. Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa seseorang yang mempunyai masalah pada dasarnya tetap memiliki potensi dan mampu mengatasi masalahnya sendiri. Tetapi oleh karena sesuatu hambatan, potensi dan kemampuannya itu tidak dapat berkembang atau berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk mengembangkan dan memfungsikan kembali kemampuannya itu klien memerlukan bantuan.
Bertitik tolak dari anggapan dan pandangan tersebut, maka dalam konseling, inisiatif dan peranan utama pemecahan masalah diletakkan di pundak klien sendiri. Sedangkan kewajiban dan peranan utama konselor adalah menyiapkan suasana agar potensi dan kemampuan yang ada pada dasarnya ada pada diri klien itu berkembang secara optimal, dengan jalan menciptakan hubungan konseling yang hangat dan permisif. Suasana seperti itu akan memungkinkan klien mampu memecahkan masalah sendiri masalahnya. Dalam suasana seperti itu konselor merupakan “agen pembangunan” yang mendorong terjadinya perubahan pada diri klien tanpa konselor sendiri banyak masuk dan terlibat langsung dalam proses perubahan tersebut.
Menurut Rogers, adalah menjadi tanggung jawab klien untuk membantu dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang penting dalam konseling non-direktif adalah mengupayakan agar klien mencapai kematangannya, produktif, merdeka, dan dapat menyesuaikan diri dengan baik.
Sesuai dengan teori yang mendasarinya, yaitu teori Rogers tentang hakikat manusia dan tingkah lakunya, pendekatan konseling non-direktif sering juga disebut dengan pendekatan konseling yang beraliran Humanistik. (Hansen, dkk., 1977 dan Brammer Stone, 1982). Aliran ini menekankan pentingnya pengembangan potensi dan kemampuan secara hakiki ada pada setiap individu. Potensi dan kemampuan yang telah berkembang itu menjadi penggerak bagi upaya individu untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya.

c.       Konseling Elektrik
Konseling direktif dan konseling non-direktif merupakan dua pendekatan yang amat berbeda, yang satu lebih menekankan peranan konselor, sedangkan yang lain menekankan peranan klien. Masing-masing berdiri pada dua kutub yang saling berlawanan, satu kutub direktif dan yang lain kutub non-direktif. Apabila dari kutub yang ditarik garis ke kutub yang lain, maka akan terbentuklah garis kontinum, yaitu garis kontinum konseling direktif dan non-direktif. (Prayitno, 1987). Di atas garis kontinum itu terbentang kemungkinan gerak pengembangan berbagai modifikasi atau pengawinan antara dua arus teori konseling itu.
Pendekatan dan teori-teori konseling itu telah ditempa dan dikembangkan oleh pencetus dan ahlinya, dan telah dipelajari oleh berbagai kalangan dalam bidang bimbingan dan konseling. Disadari bahwa setiap pendekatan atau teori itu mengandung kekuatan dan kelemahan, namun semuanya telah menyumbang secara positif kepada dunia bimbingan dan konseling, baik secara teoritis maupun praktis. Disadari pula bahwa dalam kenyataan praktek konseling menunjukkan bahwa tidak semua masalah dapat dientas secara baik hanya dengan satu pendekatan atau teori saja. Ada masalah yang lebih cocok dengan pendekatan non-direktif atau dengan teori khusus tertentu. Dengan pendekatan lain, tidaklah dapat ditetapkan bahwa setiap masalah harus diatasi dengan salah satu pendekatan atau teori saja. Pendekatan atau teori mana yang cocok digunakan sangat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain :
·         Sifat masalah yang dihadapi (misalnya tingkat keulitian dan kekomplekkannya).
·         Kemampuan klien dalam memainkan peranan dan proses konseling.
·         Kemampuan konselor sendiri, baik pengetahuan maupun keterampilan dalam menggunakan masing-masing pendekatan atau teori konseling.
Mereka yang mempelajari pendekatan dan teori-teori itu mungkin ada yang tertarik dan merasa dirinya lebih cocok untuk mendalami dan mempraktekkan satu pendekatan atau teori konseling tertentu saja, dan mungkin ada pula yang berusaha menggabungkan dari dua teori yang berdekatan dengan wilayah garis kontinum yang dimaksud diatas. Kebanyakan diantara mereka bersikap elektrik yang mengambil kebaikan dari dua pendekatan ataupun dari berbagai teori konseling yang ada itu, mengembangkan dan menerapkannya dalam praktek sesuai dengan permasalah klien. Sikap elektrik ini telah ada sejak lama dan bahkan dianggap lebih tepat dan sesuai dengan filsafat atau tujuan bimbingan dan konseling daripada sikap yang hanya mengandalkan satu pendekatan atau satu-dua teori tertentu saja. (Tolbert, 1959 ; Hansen, dkk., 1977 ; Brammer dan Stone, 1982).

B.     LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING KELOMPOK
Jika konseling perseorangan menunjukkan layanan kepada individu atau klien orang-perorang, maka bimbingan dan konseling kelompok mengarahkan layanan kepada sekelompok individu.
Dalam layanan bimbingan dan konseling kelompok paling tidak memiliki empat keuntungan, yaitu Pertama, dalam satu kali kegiatan, layanan kelompok ini memberikan manfaat atau jasa kepada sejumlah orang, apalagi pada zaman sekarang yang menekankan perlunya efisiensi yang mampu menjangkau lebih banyak konsumen secara tepat dan cepat. Kedua, dinamika perubahan yang terjadi ketika layanan kelompok itu berlangsung sangat menarik perhatian, karena dalam layanan kelompok interaksi antar individu anggota kelompok merupakan yang khas. Dengan interaksi yang intensif dan dinamis selama berlangsungnya layanan, diharapkan tujuan-tujuan layanan dapat tercapai secara lebih mantap. Ketiga, para anggota kelompok di dalam melakukan interaksinya, mereka membawa kondisi pribadinya masing-masing tampilkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mencerminkan suasana kehidupan nyata yang dapat dijumpai di masyarakat secara luas. Keempat, bahwa dalam layanan konseling kelompok dapat merupakan wilayah penjajakan awal bagi klien untuk memasuki layanan konseling perorangan.
1.      Ciri-ciri Kelompok
Meskipun suatu kelompok terdiri dari sejumlah orang, tetapi kelompok bukan sekedar kumpulan sejumlah orang. Sejumlah orang yang berkumpul itu baru disebut kelompok apabila memiliki ciri-ciri kelompok, antara lain yaitu tujuan, anggota, kepemimpinan dan aturan yang diikuti.
Sekumpulan orang akan menjadi kelompok kalau mereka mempunyai tujuan bersama. Seluruh anggota kelompok melakukan kegiatan yang tertuju pada pencapaian tujuan bersama, atau dengan kata lain bahwa dalam suatu kelompok semua individu yang ada di dalamnya mengikat diri pada satu tujuan. Di dalam kelompok itu perlu adanya keanggotaan, di dalam keanggotaan kelompok disini tidak harus dikaitkan pada sistem resmi, harus terdaftar, mempunyai kartu anggota, membayar iuran, dan lain-lain. dengan demikian, tanda keanggotaan dalam kelompok adalah rasa kebersamaan yang diikat dengan tujuan yang sama.
Kebersamaan dalam kelompok lebih lanjut diikat dengan adanya pemimpin kelompok yang bertugas mempersatukan seluruh anggota kelompok, untuk melakukan kegiatan bersama, untuk mencapai tujuan bersama. Adanya pemimpin kelompok sangat diperlukan, karena apabila pemimpin itu tidak ada, atau jika pemimpin itu tidak menjalankan tugasnya dengan baik, maka kelompok berantakan, para anggota akan cerai-cerai dan tujuan bersama tidak akan tercapai.
Selanjutnya, kelompok yang sudah memiliki tujuan, anggota dan pemimpin itu tidaklah lengkap apabila belum memiliki aturan dalam menjalankan kegiatan-kegiatannya. Tanpa aturan-aturan itu pemimpin kelompok tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, kegiatan anggota tidak terarah, atau terjadi kesimpang-siuran, atau bahkan benturan dan kekacauan. Dengan demikian, jelaslah bahwa suatu kelompok membutuhkan aturan, nilai-nilai, atau pedoman yang memungkinkan seluruh anggota bertindak dan mengarahkan diri bagi pencapaian tujuan-tujuan yang mereka kehendaki bersama.
Berdasarkan keempat ciri-ciri kelompok tersebut, maka berlaku untuk semua jenis kelompok, baik ditinjau dari jumlah anggota maupun sifat terbentuknya kelompok. Menurut jumlah anggotanya, dikenal adanya kelompok kecil (beranggota 2-5 orang), kelompok sedang (beranggota 6-15 orang), kelompok agak besar (beranggota 16-25 orang), kelompok besar (26-40 orang), dan seterusnya. Dilihat dari sifat pembentukannya, dikenal adanya kelompok primer dan kelompok sekunder. Dan pembentukan kelompok-kelompok seterusnya asalkan memenuhi ciri-ciri kelompok, yaitu adanya tujuan, keanggotaan, kepemimpinan, dan aturan yang diikuti.

2.      Bimbingan Kelompok
Bimbingan kelompok diselenggarakan untuk memberikan informasi yang bersifat personal, vokasional, dan sosial. Pemberian informasi dalam kegiatan bimbingan kelompok ditujukan bagi para anggota kelompok yang bersifat homogen. Sifat homogenitas dalam kelompok dapat dilihat :
a.       Para anggota kelompok homogen, yaitu siswa-siswa satu kelas, atau satu tingkat kelas yang sama, satu kelompok buruh dalam satu pabrik, dan lain sebagainya.
b.      Masalah yang dialami oleh semua anggota kelompok adalah sama, yaitu memerlukan informasi yang akan disajikan.
c.       Tindak lanjut dari diterimanya itu juga sama, yaitu untuk menyusun rencana dan membuat keputusan.
d.      Reaksi atau kegiatan yang dilakukan oleh para anggota kelompok dalam proses pemberian informasi (dan tindak lanjutnya) secara relatif sama (seperti mendengar, mencatat, bertanya).

3.      Konseling Kelompok
Layanan konseling kelompok pada dasarnya adalah layanan konseling perorangan yang dilaksanakan di dalam suasana kelompok. Di sana ada konselor, ada klien, terjadi hubungan konseling yang bersifat hangat, terbuka, permisif, dan penuh keakraban, ada pengungkapan dan pemahaman masalah klien, penelusuran sebab-sebab timbulnya masalah, upaya pemecahan masalah, kegiatan evaluasi dan tindak lanjut.
Unsur-unsur konseling perorangan tampil secara nyata dalam konseling kelompok. Kalau demikian adanya, apa yang membedakan konseling kelompok dan konseling perorangan ? Satu hal yang paling pokok membedakannya ialah dinamika interaksi sosial yang dapat berkembang dengan intensif dalam suasana kelompok. Hal inilah yang justru tidak dapat dijumpai dalam konseling perorangan.
Apabila dianalisis, suatu kelompok yang sedang menyelenggarakan konseling kelompok tetap memiliki keempat unsur kelompoknya, yaitu Pertama, tujuan konseling kelompok yang didukung oleh semua anggota kelompok ialah terpecahkannya masalah-masalah yang dialami oleh para anggota kelompok. Kedua, anggota kelompok ialah sesama mereka yang mengikat kegiatan dalam konseling kelompok. Ketiga, pemimpinnya ialah konselor. Keempat, aturan yang diikuti ialah ketentuan berkenaan dengan pengembangan suasana interaksi yang akrab, hangat, permisif, dan terbuka.
Lalu, bagaimana perbedaannya antara bimbingan kelompok dan konseling kelompok ? Untuk memberikan gambaran mengenai perbedaan antara bimbingan kelompok dan konseling kelompok, maka dapat dilihat dalam matriks berikut ini.



Perbedaan Antara Bimbingan Kelompok
dan Konseling Kelompok
No.
Aspek
Bimbingan Kelompok
Konseling Kelompok
1
Jumlah anggota
Tidak terlalu dibatasi, dapat sampai 60-80 orang
Terbatas : 5-10 orang
2
Kondisi dan karakteristik anggota
Relatif homogen
Hendaknya homogen, dapat pula heterogen terbatas
3
Tujuan yang ingin dicapai
Penguasaan informasi untuk tujuan yang lebih luas
a.       Pemecahan masalah
b.      Pengembangan kemampuan komunikasi dan interaksi
4
Pemimpin kelompok
Konselor atau narasumber
Konselor

5
Peranan anggota
Menerima informasi untuk tujuan tertentu
a.       Berpartisipasi dalam dinamika interaksi sosial
b.      Menyumbang pengentasan masalah
c.       Menyerap bahan untuk pemecahan masalah
6
Suasana interaksi
a.       Menolong atau dialog terbatas
b.      Dangkal
a.       Interaksi multiarah
b.      Mendalam dengan melibatkan aspek emosional
7
Sifat isi pembicaraan
Tidak rahasia
Rahasia
8
Frekuensi kegiatan
Kegiatan berakhir apabila informasi telah disampaikan
a.       Kegiatan berkembang sesuai dengan tingkat kemajuan pemecahan masalah
b.      Evaluasi dilakukan sesuai dengan tingkat kemajuan pemecahan masalah






BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari makalah ini dapat kita simpulkan sebagai berikut.
1.      Layanan bimbingan dan konseling terbagi dua yaitu layanan dan bimbingan konseling perorangan dan layanan dan bimbingan konseling kelompok.
2.      Bentuk-bentuk layanan bimbingan dan konseling perorangan meliputi layanan konseling yang diselenggarakan secara resmi, pengentasan masalah melalui konseling, tahap-tahap keefektifan pengentasan masalah, dan pendekatan serta teori konseling.
3.      Teori-teori konseling dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendekatan yaitu konseling direktif, konseling non-direktif, dan konseling elektrik.
4.      Layanan bimbingan dan konseling kelompok lebih mengutamakan interaksi antara klien dan konselor dalam mencapai suatu tujuan.

B.     KRITIK DAN SARAN
1.      Dalam pembuatan makalah ini, penulis kurang mendapatkan sumber referensi lain sehingga penulis merasakan terfokus hanya pada satu buku.
2.      Sebaiknya, dalam pembuatan makalah harus diberikan terlebih dahulu bagaimana cara membuat makalah itu dan apa saja yang harus ada.















DAFTAR PUSTAKA

Sodik, M. Si., Drs. Abror. 2015. Pengantar Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta : Penerbit Aswaja Pressindo
Prayitno, M. Sc. Ed., Prof. Dr. H., dan Drs. Erman Amti. 2013. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama dengan Penerbit Rineka Cipta



[1] Prof. Dr. H. Prayitno, M. Sc. Ed. Dan Drs. Erman Amti. 2013. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama dengan Penerbit Rineka Cipta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengkaji Tradisi Sekaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perspektif Islam

Kontestasi Makna Religius dan Budaya dalam Pelaksanaan Ritual Tabuik di Sumatera Barat

Dari Dalam Diri: Membangun Harmoni dalam Hubungan Internal Agama dan Spiritualitas