Makalah Pengantar Bimbingan Konseling
JENIS LAYANAN
BIMBINGAN DAN
KONSELING
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Makalah
Pada Mata
Kuliah Pengantar Bimbingan Konseling
Disusun Oleh :
KELOMPOK VI
No.
|
Nama
|
NIM
|
1.
|
Hayatul Khairul Rahmat
|
15220011
|
2.
|
Rahmanisa
|
15220012
|
3.
|
Putri Pramesti Cahyani
|
15220016
|
4.
|
Dita Exnes Septiyana
|
15220040
|
Dosen Pengampu
:
Drs. Abror Sodik, M. Si.
NIP. 19580213 198903 1 001
PROGRAM STUDI BIMBINGAN
DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
KATA
PENGANTAR
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$#
الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى اَشْرَفِ اْلاَنْبِيَاءِ
وَ اْلمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ اَجْمَعِيْنَ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ
اِلَهَ اِلاَّ اللهِ وَ حْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ. اَمَّا بَعْدُ :
Puji dan syukur senantiasa penulis haturkan ke hadirat
Allah SWT karena berkat rahmat dan nikmat -Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Pembuatan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Pengantar Bimbingan Konseling yang diampu oleh Bapak Drs. Abror Sodik, M. Si.
Makalah yang penulis buat ini berjudul “Jenis Layanan Bimbingan dan Konseling” dibuat berdasarkan hasil penyusunan
data-data yang diperoleh dari berbagai buku referensi yang berkaitan dengan
Mata Kuliah Pengantar Bimbingan Konseling, serta berbagai informasi dari berbagai
literatur dan sumber lainnya yang berhubungan dengan Mata Kuliah Pengantar Bimbingan Konseling. Dalam pembuatan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. H. Abror Sodik, M. Si. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Pengantar Bimbingan Konseling dimana beliau telah memberikan bimbingan dan arahan serta masukan dalam penulisan makalah ini. Selain itu, kami selaku penulis tidak lupa mengucapkan kepada
seluruh pihak yang telah mendukung dan bekerja sama dalam penyelesaian makalah
ini, sehingga pembaca dapat membaca makalah ini.
Demikianlah
yang dapat penulis sampaikan. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
dan seluruh pembaca. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna,
maka penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan makalah ini menuju lebih baik.
Yogyakarta, September 2015
Tim Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
PENDAHULUAN 1
A.
Latar
Belakang 1
B.
Rumusan
Masalah 1
C.
Tujuan
1
D.
Manfaat
2
BAB II
PEMBAHASAN 3
A.
Layanan
Konseling Perseorangan 3
B.
Layanan
Bimbingan dan Konseling Kelompok 12
BAB III
PENUTUP 16
A.
Kesimpulan
16
B.
Kritik
dan Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 17
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pentingnya
bimbingan dan konseling dalam kehidupan manusia adalah karena bimbingan dan
konseling merupakan pelayanan yang dilakukan dari manusia, oleh manusia, dan
untuk manusia. Dari manusia ini artinya bahwa pelayanan itu diselenggarakan
berdasarkan hakikat manusia dengan segenap kemanusiaannya. Untuk manusia dimaksudkan
bahwa pelayanan itu diselenggarakan demi tujuan-tujuan yang mulia dan positif
bagi kehidupan kemanusiaan menuju manusia seutuhnya, baik sebagai individu atau
sebagai kelompok. Oleh manusia mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan
pelayanan itu adalah manusia dengan segala derajat, martabat, dan keunikan
masing-masing yang terlibat di dalamnya.
Dalam
kehidupan sehari-hari, tentunya pelaksanaan bimbingan konseling ini sangat
dibutuhkan sekali. Oleh karena itu, dalam pelayanan konseling itu berjalan
seiring dengan penyelenggaraan pendidikan pada umumnya, dan dalam hubungannya
saling berpengaruh antara orang yang satu dengan yang lainnya. Jadi dalam
proses ini terjadilah pelayanan konseling yang akan dibagi menjadi layanan
bimbingan dan konseling yang bersifat perorangan dan kelompok.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
saja jenis-jenis layanan bimbingan dan konseling ?
2.
Apa
itu layanan bimbingan dan konseling perorangan ?
3.
Apa
itu layanan bimbingan dan konseling kelompok ?
4.
Apa
saja bentuk-bentuk layanan bimbingan dan konseling baik perorangan ataupun
kelompok ?
C.
TUJUAN
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui apa saja jenis layanan
bimbingan dan konseling yang ada di tengah-tengah masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu, juga akan menjelaskan bentuk-bentuk layanan bimbingan
dan konseling itu sendiri.
D.
MANFAAT
Manfaat
dari penulisan makalah ini adalah agar para pembaca bisa menambah wawasan
pengetahuan tentang jenis-jenis layanan dalam bimbingan dan konseling yang ada
di tengah-tengah masyarakat dan mengaplikasikan yang didapat dalam kehidupan
sehari-hari.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
LAYANAN KONSELING PERSEORANGAN
Dalam
layanan konseling perorangan konseling dianggap sebagai upaya layanan yang
paling utama dalam pelaksanaan fungsi pengentasan masalah klien. Bahkan dapat
dikatakan bahwa konseling merupakan “jantung hatinya” pelayanan bimbingan
secara menyeluruh. Hal ini berarti bahwa apabila layanan bimbingan konseling
telah memberikan jasanya, maka masalah klien akan teratasi secara efektif dan
upaya-upaya bimbingan lainnya tinggal mengikuti atau berperan sebagai
pendamping saja.
Implikasi
lain dari pengertian “jantung hati” itu adalah apabila seorang konselor telah
menguasai dengan sebaik-baiknya apa, mengapa, dan bagaimana pelayanan konseling
itu (dalam arti memahami, menghayati, dan menerapkan wawasan, pengetahuan, dan
keterampilan dengan berbagai teknik dan teknologinya), maka diharapkan dapat
menjalankan dan menyelenggarakan layanan bimbingan lainnya dengan tidak
mengalami kesulitan.[1] Adapun
bentuk-bentuk layanan konseling perorangan, yaitu meliputi : layanan konseling
yang diselenggarakan secara resmi, pengentasan masalah melalui konseling,
tahap-tahap keefektifan masalah, dan pendekatan dan teori konseling.
1.
Layanan Konseling Diselenggarakan Secara Resmi
Konseling merupakan layanan yang teratur, terarah, dan terkontrol,
serta tidak diselenggarakan secara acak atau seadanya. Sasaran (subyek penerima
layanan), tujuan, kondisi, dan metodologi penyelenggaraan layanan telah
digariskan dengan jelas. Sebagai rambu-rambu pokok dalam pelaksanaa layanan
konseling. Munro, dkk. (1979) mengemukakan tiga dasar etika konseling, yaitu
kerahasiaan, keterbukaan, dan tanggung jawab pribadi klien. Konseling yang
berhasil dan bersifat etis hanya apabila didasarkan pada ketiga hal itu.
Tidaklah pelayanan konseling bersifat etis apabila kerahasiaan klien
terlanggar, demikian pula tidaklah etis suatu layanan konseling yang
diselenggarakan dalam suasana keterpaksaan klien, dan lagi tidaklah etis suatu
layanan konseling apabila tnaggung jawab klien atas tingkah lakunya sendiri
dikabari atau dikurangi.
Berdasarkan tiga dasar etika konseling tersebut, maka sifat “resmi”
layanan konseling ditandai dengan adanya ciri-ciri yang melekat pada pelaksanaan
layanan itu, yaitu bahwa :
a.
Layanan
itu merupakan usaha yang disengaja.
b.
Tujuan
layanan tidak boleh lain daripada untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
c.
Kegiatan
layanan diselenggarakan dalam format yang telah ditetapkan.
d.
Metode
dan teknologi dalam layanan berdasarkan teori yang telah teruji.
e.
Hasil
layanan dinilai dan diberi tindak lanjut. (Priyatno dan Erman Anti, 1999)
Ketika akan mengawali hubungan konseling, konselor perlu memasang
niat dengan motivasi yang kuat untuk membantu klien. Niat itu merupakan wujud
kesengajaan yang bersifat batiniah yang kalau diikuti oleh kesadaran yang
mendalam akan mampu memberikan arah yang tepat bagi pekerjaan yang akan
dilakukan. Sebagai refleksi landasan keagamaan dalam konseling, maka niat itu
dibarengi dengan permohonan ridla, rahmat, dan petunjuk dari
Tuhan agar layanan yang akan segera dilaksanakan itu berjalan dengan lancar dan
memberikan hasil yang bermanfaat. Ucapan “Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang” menyertai niat yang tulus itu. Bekal konselor
dalam mengawali layanan konselingnya tentulah tidak hanya niat yang tulus
seperti itu saja, akan tetapi harus disertai pula dengan berbagai wawasan dan
sikap positif tentang klien dan seluk-beluk serta dimensi metodologi layanan itu
sendiri yang sejak semula telah tertanam pada diri konselor. Dengan niat,
wawasan dan sikap serta dimensi metodologi layanan yang ada pada diri konselor,
maka mantaplah kesengajaan konselor dalam mengawali upaya layanan konseling.
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, bahwa tujuan layanan
konseling adalah untuk kepentingan dan kebahagiaan klien, maka apa pun yang
muncul dalam layanan konseling harus diarahkan pada tujuan tersebut, dan apapun
yang menjadi persepsi, sikap dan tindakan konselor harus berorientasi pada
tujuan positif bagi klien. Lebih jauh, sebuah kondisi yang terbangun selama
hubungan konseling berlangsung dan berbagai kemungkinan implikasinya, baik
ditinjau dari sisi klien, konselor, maupun kondisi hubungan itu sendiri, tidak
lain adalah untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
Format konseling terutama jarak, arah, dan sikap duduk konselor dan
klien, serta tatap muka atau kontak langsung antara klien dan konselor.
Sebenarnya format standar berkenaan dengan duduk dan tatapan wajah itu adalah
konselor dan klien berhadapan, konselor duduk dengan sikap sempurna (tidak
membungkuk ataupun menyandarkan pinggang ke kursi), dan wajah konselor menatap
klien tanpa adu pandang antara klien dan konselor. Sekali lagi format ini
adalah format standar. Apabila format standar tersebut dapat diterapkan tanpa
menimbulkan reaksi-reaksi negatif pada pihak klien, agaknya manfaat yang dapat
diberikan cukup banyak. Namun demikian, mengingat berbagai alasan yang
menyangkut keunikan klien, adat istiadat, dan kebiasaan setempat, serta
aspek-aspek sosial budaya lainnya, format standar itu dapat dimodifikasi tanpa
mengurangi tujuan dari pengembangan format hubungan konseling yang tepat.
Format apapun yang terbentuk, standar atau hasil modifikasi, efek yang diharapkan
dari terbentuknya format itu ialah :
a.
Konselor
sepenuhnya menghadapi (dan mencurahkan perhatian kepada) klien, dan sebaliknya
klien dapat sepenuhnya memperhatikan konselor. Dalam hal ini baik klien maupun
konselor menyediakan diri dalam kondisi transparan (tidak ada yang
ditutup-tutupi).
b.
Klien
benar-benar melihat dan merasakan bahwa konselor dalam “sikap sempurna” selalu
memperhatikan (dalam arti positif) diri klien dan permasalahannya.
c.
Suara,
mimik, dan gerak-gerik klien dan konselor jelas ditangkap oleh kedua belah
pihak.
d.
Klien
dan konselor mudah bergerak.
e.
Klien
dan konselor merasa dekat satu sama lain, sambil tetap menjaga jarak.
Format hubungan konseling yang
diterapkan oleh seorang konselor boleh jadi tidak sama untuk semua kliennya.
Format standar dan berbagai modifikasinya dipakai secara bervariasi sesuai
dengan kondisi klien, kondisi-kondisi sosial budaya, kondisi ruangan dan
peralatan yang ada, dan kondisi konselor sendiri.
Kondisi (dan juga hasil) hubungan
konselor amat ditentukan oleh metodologi (dan teknologi) konseling yang
dimiliki dan diterapkan oleh konselor. Konselor yang berhasil pada umumnya
adalah konselor yang memiliki khasanah metode dan cara-cara yang kaya dalam
mengembangkan hubungan konseling dan sekaligus dalam menangani masalah klien
(dengan mempergunakan metode-metode khusus). Metode dan cara-cara yang itu
perlu, karena mengingat masalah-masalah yang dialami klien seribu satu macam
jenisnya, dan mengingat pula keunikan masing-masing klien. Variasi masalah dan
keunikan klien itu menuntut variasi dalam metode dan cara-cara penanganannya.
Penguasaan metodologi yang kaya itu tidak mudah, memerlukan upaya pembelajaran
dan pengalaman yang cukup lama.
Karena layanan konseling bukan
layanan acak ataupun layanan yang dapat diselenggarakan sambil lalu, maka
sebagai konsekuensinya ialah bahwa layanan itu perlu dievaluasi dan diberikan
tindak lanjut. Mengingat bahwa hubungan konseling merupakan proses dinamis,
unik, dan tidak terprogram sebagaimana kegiatan mengajar ataupun kegiatan
darmawisata misalnya, maka penilaian hasil konseling memiliki kekhasan sendiri
yang menampung ciri-ciri kedinamisan dan keunikan. Demikian juga dengan upaya
tindak lanjutnya, maka ciri-ciri kedinamisan dan keunikan tetap mewarnai upaya
tindak lanjut itu.
2.
Pengentasan Masalah Melalui Konseling
Melalui konseling klien mengharapkan agar masalah yang dialaminya
dapat diatasikan. Langkah-langkah umum upaya pengentasan masalah melalui
konseling pada dasarnya adalah :
a.
Pemahaman
masalah.
b.
Analisis
sebab-sebab timbulnya masalah.
c.
Aplikasi
metode khusus.
d.
Evaluasi.
e.
Tindak
lanjut.
Dalam konseling, klien dan konselor
harus benar-benar memahami masalah yang dihadapi klien, sedapat-dapatnya secara
lengkap dan rinci. Pemahaman masalah oleh klien harus benar-benar persis sama
dengan pemahaman konselornya dan obyektif sebagaimana adanya masalah itu. Hal
itu perlu justru untuk menjamin ketepatan, efektivitas, dan efisiensi proses
konseling. Upaya pemahaman masalah itu biasanya dilakukan pada awal proses
konseling. Unsur-unsur pengenalan klien dan masalahnya yang diperoleh konselor
diluar proses konseling (misalnya melalui laporan pihak ketiga, dan data dalam cummulative
record, keterangan dari klien sendiri sebelum proses konseling), khususnya
yang ada sangkut pautnya atau diduga ada sangkut pautnya dengan masalah yang
sedang dibahas, harus dicek kebenarannya kepada klien sendiri dalam proses
konseling.
Usaha pemahaman masalah klien
biasanya terkait langsung dengan kajian tentang sumber penyebab masalah itu.
Meskipun upaya pemahaman masalah dan pengkajian tentang sumber-sumber
penyebabnya dapat dipilih, namun pembahasan keduanya sering kali sukar
dipisahkan. Dengan mengkaji sebab-sebab timbulnya masalah, klien dan konselor
memperoleh pemahaman yang lebih lengkap dan mendalam tentang masalah klien.
Apabila hati dan pikiran klien dapat
digugah, besarlah harapan kekuatan yang ada di dalam diri klien terbangkitkan
untuk mengentas permasalahan yang dialaminya. Tergugahnya hati dan pikiran
klien itulah yang merupakan titik awal pengentasan secara nyata. Tidak jarang
terjadi, terutama bagi klien yang cerdas dan motivasi amat kuat untuk
memecahkan masalah, titik awal itu menjadi pemicu yang menggelindingkan sendiri
kekuatan klien. Ia menyatakan kepada konselor bahwa dirinya telah sanggup
memecahkan masalahnya sendiri. Dengan demikian ia merasa proses konseling sudah
dapat diakhiri. Hal itu semua dapat terjadi berkat keterampilan konselor menyelenggarakan
proses konseling dengan teknik-teknik yang jitu.
Terpahaminya masalah klien dengan
baik serta tergugahnya hati dan pikiran klien belum tentu serta merta
membuahkan hasil terpecahnya masalah. Dalam hal ini proses konseling masih
perlu dilanjutkan dengan penerapan metode khusus sesuai dengan rincian masalah
dan sumber-sumber penyebabnya. Metode-metode khusus bervariasi dari
pengembangan penalaran dan kata hati, peneguhan hasrat untuk mencapai tujuan
tertentu (dalam rangka pemecahan masalah), latihan merencanakan suatu kegiatan,
pemberian contoh, latihan bersikap dan bertindak, sampai dengan penerapan
program-program komputer dalam konseling. (Brammer dan Shostrom, 1982).
Penerapan metode khusus ini menjadikan proses konseling tidak semata-mata berdimensi
verbal melainkan berkembng menjadi proses konseling multidimensional.
Kegiatan evaluasi ditujukan untuk
menilai sampai berapa jauh masalah klien terentaskan, dan lebih khusus untuk
menilai keefektifan metode khusus yang dipakai. Ada dua pendekatan penilaian
yang dapat ditempuh, yaitu penilaian dalam proses dan penilaian pasca proses.
Penilaian dalam proses dilakukan ketika proses konseling sedang berjalan.
Penilaian ini sangat memerlukan keterampilan konselor, konselor dituntut secara
simultan melancarkan dialog dengan klien, dan sekaligus mengadakan penilaian
atas kelancaran, ketepatan, dan kebermaknaan proses itu sendiri. Disamping itu,
atas hasil penilaian itu konselor diharapkan secara bijaksana dapat memberikan
tindak lanjut agar proses konseling yang dijalankannya itu tetap berlangsung
dengan sebaik-baiknya sampai akhir.
Upaya evaluasi dalam proses diakhiri
dengan “evaluasi akhir proses”. Konselor dapat meminta klien menyampaikan
kesan-kesan dan perasaannya terhadap proses konseling yang baru saja
dijalaninya, hal-hal apa yang sudah dan belum ia peroleh, dan
harapan-harapannya, khususnya dengan masalah yang dihadapinya. Hasil evaluasi
akhir ini dapat pula dikaitkan dengan rencana lebih lanjut klien, termasuk
didalamnya kemungkinan penerapan hasil-hasil konseling (seperti beberapa
alternatif tindakan untuk mencapai tujuan, latihan-latihan bertingkah laku)
dalam kehidupan sehari-hari, dan konseling lebih lanjut.
Evaluasi pasca konseling biasanya
lebih sukar dilakukan, lebih-lebih dengan klien-klien yang berada di luar
lembaga tempat konselor bekerja. Konselor sukar menjangkau mereka sehingga
evaluasi sistematik sukar dilakukan. Evaluasi insidental dapat berlangsung apabila
konselor bertemu mereka dan menanyakan dampak konseling yang pernah terlaksana,
atau melalui pihak ketiga yang mengenal klien. Evaluasi seperti ini derajat
kesahihan dan keterlandalannya tidak cukup tinggi atau bahkan diragukan. Untuk
klien-klien yang berada dalam lembaga tempat konselor bekerja, evaluasi pasca
proses lebih memungkinkan dilaksanakan, apalagi kalau untuk mereka disediakan
program pelayanan yang terjadwal sehingga antara klien dan konselor dapat
diatur pertemuannya secara berkala. Evaluasi melalui instrumen tertulis
(misalnya angket) juga dapat dilakukan. Hasil evaluasi itu dipakai sebagai
masukan dan bahan pertimbangan baik bagi rencana tindak lanjut yang akan
dilaksanakan dalam pertemuan terjadwal dengan masing-masing klien, maupun bagi
penyusunan program-program pelayanan perode-periode berikutnya.
3.
Tahap-Tahap Keefektifan Pengentasan Masalah Melalui Konseling
Keefektifan pengentasan masalah melalui konseling sebenarnya dapat
dideteksi sejak awal klien mengalami masalah. Dari keadaan yang paling awal itu
sampai konseling yang paling akhir nantinya pada waktu masalah klien
terentaskan, dapat diidentifikasi dalam lima tahapan, yaitu :
Tahap pertama,
dimulai ketika klien menyadari bahwa dirinya mengalami masalah.
Individu-individu yang menyadari bahwa dirinya bermasalah agaknya memiliki
kemungkinan yang lebih baik dalam hal pemecahan masalahnya.
Tahap kedua,
individu menyadari bahwa dirinya tidak mampu memecahkan masalah, dan menyadari
pula bahwa ia memerlukan bantuan orang lain untuk memecahkan masalah yang
dialaminya.
Tahap ketiga,
proses pemecahan masalah tetap terbuka dan keefektifan konseling kaan terwujud,
kalau individu itu memang gigih mencari orang-orang yang benar-benar mampu dan
bertanggung jawab dalam membantu pemecahan sebuah permasalahan.
Tahap keempat, klien dituntut aktif dalam proses konseling dari awal sampai akhir,
karena keaktifan klien itukah yang justru menentukan keefektifan konseling.
Tahap kelima, konseling
yang telah terselenggara itu benar-benar efektif, apabila klien benar-benar
menjalankan (menerapkan) hasil-hasil yang telah dicapai melalui konseling dalam
kehidupan sehari-hari klien. Atau dengan kata lain, hasil konseling benar-benar
mengubah tingkah laku klien, dan dengan demikian masalah klien secara
berangsur-angsur teratasi.
4.
Pendekatan dan Teori Konseling
Apabila ditilik lebih lanjut bahwa teori-teori
konseling itu pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendekatan,
konseling direktif, konseling non-direktif, dan konseling elektrik.
a.
Konseling Direktif
Konseling
direktif, yang karena proses dan dinamika pengentasan masalahnya mirip “penyembuhan
penyakit”, pernah juga disebut dengan “konseling klinis” (clinis counseling).
Pendekatan ini dipelopori oleh E. G. Williamson dan J. G. Darley yang berasumsi
dasar bahwa klien tidak mampu mengatasi masalah sendiri yang dihadapinya.
Karena itu, klien membutuhkan bantuan dari orang lain yaitu konselor. Dalam
konseling direktif, klien bersifat pasif, dan yang paling aktif itu adalah
konselor. Dengan demikian, inisiatif dan peranan utama pemecahan masalah lebih
banyak dilakukan oleh konselor. Klien bersifat menerima perlakuan dan keputusan
yang dibuat oleh konselor. Dalam konseling direktif diperlukan data yang
lengkap tentang klien untuk dipergunakan dalam usaha diagnosis.
Konseling
direktif ini sering juga disebut konseling yang beraliran Behavioristik, yaitu
layanan konseling yang berorientasi pada pengubahan tingkah laku secara
langsung. (Hansen, dkk., 1977 dan Brammer dan Stone, 1982).
Konseling
direktif berlangsung menurut langkah-langkah umum sebagai berikut.
·
Analisis
data tentang klien.
·
Pensintesisan
data untuk mengenal kekuatan-kekuatan dan kelemahan klien.
·
Diagnosis
masalah.
·
Prognosis
atau prediksi tentang perkembangan masalah selanjutnya.
·
Pemecahan
masalah.
·
Tindak
lanjut dan peninjauan hasil-hasil konseling.
b.
Konseling Non Direktif
Konseling
Non-direktif sering juga disebut dengan “Client Centered Therapy”.
Pendekatan ini diperoleh oleh Carl Rogers dari Universitas Wisconsin di Amerika
Serikat. Konseling non-direktif merupakan upaya bantuan pemecahan masalah yang
berpusat pada klien. Melalui pendekatan ini, klien diberik kesempatan
mengemukakan persoalan, perasaan dan pemikiran-pemikirannya secara bebas.
Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa seseorang yang mempunyai masalah pada
dasarnya tetap memiliki potensi dan mampu mengatasi masalahnya sendiri. Tetapi
oleh karena sesuatu hambatan, potensi dan kemampuannya itu tidak dapat
berkembang atau berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk mengembangkan dan
memfungsikan kembali kemampuannya itu klien memerlukan bantuan.
Bertitik
tolak dari anggapan dan pandangan tersebut, maka dalam konseling, inisiatif dan
peranan utama pemecahan masalah diletakkan di pundak klien sendiri. Sedangkan
kewajiban dan peranan utama konselor adalah menyiapkan suasana agar potensi dan
kemampuan yang ada pada dasarnya ada pada diri klien itu berkembang secara
optimal, dengan jalan menciptakan hubungan konseling yang hangat dan permisif.
Suasana seperti itu akan memungkinkan klien mampu memecahkan masalah sendiri
masalahnya. Dalam suasana seperti itu konselor merupakan “agen pembangunan”
yang mendorong terjadinya perubahan pada diri klien tanpa konselor sendiri
banyak masuk dan terlibat langsung dalam proses perubahan tersebut.
Menurut
Rogers, adalah menjadi tanggung jawab klien untuk membantu dirinya sendiri.
Salah satu prinsip yang penting dalam konseling non-direktif adalah
mengupayakan agar klien mencapai kematangannya, produktif, merdeka, dan dapat
menyesuaikan diri dengan baik.
Sesuai
dengan teori yang mendasarinya, yaitu teori Rogers tentang hakikat manusia dan
tingkah lakunya, pendekatan konseling non-direktif sering juga disebut dengan
pendekatan konseling yang beraliran Humanistik. (Hansen, dkk., 1977 dan Brammer
Stone, 1982). Aliran ini menekankan pentingnya pengembangan potensi dan kemampuan
secara hakiki ada pada setiap individu. Potensi dan kemampuan yang telah
berkembang itu menjadi penggerak bagi upaya individu untuk mencapai
tujuan-tujuan hidupnya.
c.
Konseling Elektrik
Konseling
direktif dan konseling non-direktif merupakan dua pendekatan yang amat berbeda,
yang satu lebih menekankan peranan konselor, sedangkan yang lain menekankan
peranan klien. Masing-masing berdiri pada dua kutub yang saling berlawanan,
satu kutub direktif dan yang lain kutub non-direktif. Apabila dari kutub yang ditarik
garis ke kutub yang lain, maka akan terbentuklah garis kontinum, yaitu garis
kontinum konseling direktif dan non-direktif. (Prayitno, 1987). Di atas garis
kontinum itu terbentang kemungkinan gerak pengembangan berbagai modifikasi atau
pengawinan antara dua arus teori konseling itu.
Pendekatan
dan teori-teori konseling itu telah ditempa dan dikembangkan oleh pencetus dan
ahlinya, dan telah dipelajari oleh berbagai kalangan dalam bidang bimbingan dan
konseling. Disadari bahwa setiap pendekatan atau teori itu mengandung kekuatan
dan kelemahan, namun semuanya telah menyumbang secara positif kepada dunia
bimbingan dan konseling, baik secara teoritis maupun praktis. Disadari pula
bahwa dalam kenyataan praktek konseling menunjukkan bahwa tidak semua masalah dapat
dientas secara baik hanya dengan satu pendekatan atau teori saja. Ada masalah
yang lebih cocok dengan pendekatan non-direktif atau dengan teori khusus
tertentu. Dengan pendekatan lain, tidaklah dapat ditetapkan bahwa setiap
masalah harus diatasi dengan salah satu pendekatan atau teori saja. Pendekatan
atau teori mana yang cocok digunakan sangat ditentukan oleh beberapa faktor,
antara lain :
·
Sifat
masalah yang dihadapi (misalnya tingkat keulitian dan kekomplekkannya).
·
Kemampuan
klien dalam memainkan peranan dan proses konseling.
·
Kemampuan
konselor sendiri, baik pengetahuan maupun keterampilan dalam menggunakan
masing-masing pendekatan atau teori konseling.
Mereka yang mempelajari pendekatan
dan teori-teori itu mungkin ada yang tertarik dan merasa dirinya lebih cocok
untuk mendalami dan mempraktekkan satu pendekatan atau teori konseling tertentu
saja, dan mungkin ada pula yang berusaha menggabungkan dari dua teori yang
berdekatan dengan wilayah garis kontinum yang dimaksud diatas. Kebanyakan
diantara mereka bersikap elektrik yang mengambil kebaikan dari dua pendekatan
ataupun dari berbagai teori konseling yang ada itu, mengembangkan dan
menerapkannya dalam praktek sesuai dengan permasalah klien. Sikap elektrik ini telah
ada sejak lama dan bahkan dianggap lebih tepat dan sesuai dengan filsafat atau
tujuan bimbingan dan konseling daripada sikap yang hanya mengandalkan satu
pendekatan atau satu-dua teori tertentu saja. (Tolbert, 1959 ; Hansen, dkk.,
1977 ; Brammer dan Stone, 1982).
B.
LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING KELOMPOK
Jika
konseling perseorangan menunjukkan layanan kepada individu atau klien
orang-perorang, maka bimbingan dan konseling kelompok mengarahkan layanan
kepada sekelompok individu.
Dalam
layanan bimbingan dan konseling kelompok paling tidak memiliki empat
keuntungan, yaitu Pertama, dalam satu kali kegiatan, layanan kelompok
ini memberikan manfaat atau jasa kepada sejumlah orang, apalagi pada zaman
sekarang yang menekankan perlunya efisiensi yang mampu menjangkau lebih banyak
konsumen secara tepat dan cepat. Kedua, dinamika perubahan yang terjadi
ketika layanan kelompok itu berlangsung sangat menarik perhatian, karena dalam
layanan kelompok interaksi antar individu anggota kelompok merupakan yang khas.
Dengan interaksi yang intensif dan dinamis selama berlangsungnya layanan, diharapkan
tujuan-tujuan layanan dapat tercapai secara lebih mantap. Ketiga, para
anggota kelompok di dalam melakukan interaksinya, mereka membawa kondisi
pribadinya masing-masing tampilkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
mencerminkan suasana kehidupan nyata yang dapat dijumpai di masyarakat secara
luas. Keempat, bahwa dalam layanan konseling kelompok dapat merupakan
wilayah penjajakan awal bagi klien untuk memasuki layanan konseling perorangan.
1.
Ciri-ciri Kelompok
Meskipun suatu kelompok terdiri dari sejumlah orang, tetapi
kelompok bukan sekedar kumpulan sejumlah orang. Sejumlah orang yang berkumpul
itu baru disebut kelompok apabila memiliki ciri-ciri kelompok, antara lain
yaitu tujuan, anggota, kepemimpinan dan aturan yang diikuti.
Sekumpulan orang akan menjadi kelompok kalau mereka mempunyai
tujuan bersama. Seluruh anggota kelompok melakukan kegiatan yang tertuju pada
pencapaian tujuan bersama, atau dengan kata lain bahwa dalam suatu kelompok
semua individu yang ada di dalamnya mengikat diri pada satu tujuan. Di dalam
kelompok itu perlu adanya keanggotaan, di dalam keanggotaan kelompok disini
tidak harus dikaitkan pada sistem resmi, harus terdaftar, mempunyai kartu
anggota, membayar iuran, dan lain-lain. dengan demikian, tanda keanggotaan
dalam kelompok adalah rasa kebersamaan yang diikat dengan tujuan yang sama.
Kebersamaan dalam kelompok lebih lanjut diikat dengan adanya
pemimpin kelompok yang bertugas mempersatukan seluruh anggota kelompok, untuk
melakukan kegiatan bersama, untuk mencapai tujuan bersama. Adanya pemimpin
kelompok sangat diperlukan, karena apabila pemimpin itu tidak ada, atau jika
pemimpin itu tidak menjalankan tugasnya dengan baik, maka kelompok berantakan,
para anggota akan cerai-cerai dan tujuan bersama tidak akan tercapai.
Selanjutnya, kelompok yang sudah memiliki tujuan, anggota dan
pemimpin itu tidaklah lengkap apabila belum memiliki aturan dalam menjalankan
kegiatan-kegiatannya. Tanpa aturan-aturan itu pemimpin kelompok tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik, kegiatan anggota tidak terarah, atau terjadi
kesimpang-siuran, atau bahkan benturan dan kekacauan. Dengan demikian, jelaslah
bahwa suatu kelompok membutuhkan aturan, nilai-nilai, atau pedoman yang
memungkinkan seluruh anggota bertindak dan mengarahkan diri bagi pencapaian
tujuan-tujuan yang mereka kehendaki bersama.
Berdasarkan keempat ciri-ciri kelompok tersebut, maka berlaku untuk
semua jenis kelompok, baik ditinjau dari jumlah anggota maupun sifat
terbentuknya kelompok. Menurut jumlah anggotanya, dikenal adanya kelompok kecil
(beranggota 2-5 orang), kelompok sedang (beranggota 6-15 orang), kelompok agak
besar (beranggota 16-25 orang), kelompok besar (26-40 orang), dan seterusnya.
Dilihat dari sifat pembentukannya, dikenal adanya kelompok primer dan kelompok
sekunder. Dan pembentukan kelompok-kelompok seterusnya asalkan memenuhi
ciri-ciri kelompok, yaitu adanya tujuan, keanggotaan, kepemimpinan, dan aturan
yang diikuti.
2.
Bimbingan Kelompok
Bimbingan kelompok diselenggarakan untuk memberikan informasi yang
bersifat personal, vokasional, dan sosial. Pemberian informasi dalam kegiatan
bimbingan kelompok ditujukan bagi para anggota kelompok yang bersifat homogen.
Sifat homogenitas dalam kelompok dapat dilihat :
a.
Para
anggota kelompok homogen, yaitu siswa-siswa satu kelas, atau satu tingkat kelas
yang sama, satu kelompok buruh dalam satu pabrik, dan lain sebagainya.
b.
Masalah
yang dialami oleh semua anggota kelompok adalah sama, yaitu memerlukan
informasi yang akan disajikan.
c.
Tindak
lanjut dari diterimanya itu juga sama, yaitu untuk menyusun rencana dan membuat
keputusan.
d.
Reaksi
atau kegiatan yang dilakukan oleh para anggota kelompok dalam proses pemberian
informasi (dan tindak lanjutnya) secara relatif sama (seperti mendengar,
mencatat, bertanya).
3.
Konseling Kelompok
Layanan konseling kelompok pada
dasarnya adalah layanan konseling perorangan yang dilaksanakan di dalam suasana
kelompok. Di sana ada konselor, ada klien, terjadi hubungan konseling yang
bersifat hangat, terbuka, permisif, dan penuh keakraban, ada pengungkapan dan
pemahaman masalah klien, penelusuran sebab-sebab timbulnya masalah, upaya
pemecahan masalah, kegiatan evaluasi dan tindak lanjut.
Unsur-unsur konseling perorangan
tampil secara nyata dalam konseling kelompok. Kalau demikian adanya, apa yang
membedakan konseling kelompok dan konseling perorangan ? Satu hal yang paling
pokok membedakannya ialah dinamika interaksi sosial yang dapat berkembang
dengan intensif dalam suasana kelompok. Hal inilah yang justru tidak dapat
dijumpai dalam konseling perorangan.
Apabila dianalisis, suatu kelompok
yang sedang menyelenggarakan konseling kelompok tetap memiliki keempat unsur
kelompoknya, yaitu Pertama, tujuan konseling kelompok yang didukung oleh
semua anggota kelompok ialah terpecahkannya masalah-masalah yang dialami oleh
para anggota kelompok. Kedua, anggota kelompok ialah sesama mereka yang
mengikat kegiatan dalam konseling kelompok. Ketiga, pemimpinnya ialah
konselor. Keempat, aturan yang diikuti ialah ketentuan berkenaan dengan
pengembangan suasana interaksi yang akrab, hangat, permisif, dan terbuka.
Lalu, bagaimana perbedaannya antara
bimbingan kelompok dan konseling kelompok ? Untuk memberikan gambaran mengenai
perbedaan antara bimbingan kelompok dan konseling kelompok, maka dapat dilihat
dalam matriks berikut ini.
Perbedaan
Antara Bimbingan Kelompok
dan
Konseling Kelompok
No.
|
Aspek
|
Bimbingan
Kelompok
|
Konseling
Kelompok
|
1
|
Jumlah anggota
|
Tidak terlalu dibatasi, dapat sampai 60-80 orang
|
Terbatas : 5-10 orang
|
2
|
Kondisi dan karakteristik anggota
|
Relatif homogen
|
Hendaknya homogen, dapat pula heterogen terbatas
|
3
|
Tujuan yang ingin dicapai
|
Penguasaan informasi untuk tujuan yang lebih luas
|
a.
Pemecahan masalah
b.
Pengembangan kemampuan komunikasi
dan interaksi
|
4
|
Pemimpin kelompok
|
Konselor atau narasumber
|
Konselor
|
5
|
Peranan anggota
|
Menerima informasi untuk tujuan tertentu
|
a.
Berpartisipasi dalam dinamika
interaksi sosial
b.
Menyumbang pengentasan masalah
c.
Menyerap bahan untuk pemecahan
masalah
|
6
|
Suasana interaksi
|
a.
Menolong atau dialog terbatas
b.
Dangkal
|
a.
Interaksi multiarah
b.
Mendalam dengan melibatkan aspek
emosional
|
7
|
Sifat isi pembicaraan
|
Tidak rahasia
|
Rahasia
|
8
|
Frekuensi kegiatan
|
Kegiatan berakhir apabila informasi telah disampaikan
|
a.
Kegiatan berkembang sesuai dengan
tingkat kemajuan pemecahan masalah
b.
Evaluasi dilakukan sesuai dengan
tingkat kemajuan pemecahan masalah
|
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari makalah
ini dapat kita simpulkan sebagai berikut.
1.
Layanan
bimbingan dan konseling terbagi dua yaitu layanan dan bimbingan konseling
perorangan dan layanan dan bimbingan konseling kelompok.
2.
Bentuk-bentuk
layanan bimbingan dan konseling perorangan meliputi layanan konseling yang
diselenggarakan secara resmi, pengentasan masalah melalui konseling,
tahap-tahap keefektifan pengentasan masalah, dan pendekatan serta teori konseling.
3.
Teori-teori
konseling dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendekatan yaitu konseling
direktif, konseling non-direktif, dan konseling elektrik.
4.
Layanan
bimbingan dan konseling kelompok lebih mengutamakan interaksi antara klien dan
konselor dalam mencapai suatu tujuan.
B.
KRITIK DAN SARAN
1.
Dalam
pembuatan makalah ini, penulis kurang mendapatkan sumber referensi lain
sehingga penulis merasakan terfokus hanya pada satu buku.
2.
Sebaiknya,
dalam pembuatan makalah harus diberikan terlebih dahulu bagaimana cara membuat
makalah itu dan apa saja yang harus ada.
DAFTAR
PUSTAKA
Sodik, M. Si., Drs. Abror. 2015. Pengantar
Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta : Penerbit Aswaja Pressindo
Prayitno, M. Sc. Ed., Prof. Dr. H.,
dan Drs. Erman Amti. 2013. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta
: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama dengan Penerbit
Rineka Cipta
[1] Prof. Dr. H.
Prayitno, M. Sc. Ed. Dan Drs. Erman Amti. 2013. Dasar-dasar Bimbingan dan
Konseling. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional bekerja
sama dengan Penerbit Rineka Cipta
Komentar
Posting Komentar