Makalah Ilmu Dakwah
DILIHAT DARI
ASPEK NORMATIF DAN EMPIRIS MELALUI IMPLEMENTASI DAKWAH
DI MASYARAKAT
Pada Mata
Kuliah Ilmu Dakwah
Disusun Oleh :
KELOMPOK XII
No.
|
Nama
|
NIM
|
1.
|
Hayatul Khairul Rahmat
|
15220011
|
2.
|
Kartika Apriliana
|
15220035
|
3.
|
Musyafaq
|
15220047
|
Dosen Pengampu
:
Drs. H. Suisyanto, M. Pd.
NIP. 19560704 198603 1 002
PROGRAM STUDI
BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
KATA
PENGANTAR
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$#
الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى اَشْرَفِ اْلاَنْبِيَاءِ
وَ اْلمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ اَجْمَعِيْنَ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ
اِلَهَ اِلاَّ اللهِ وَ حْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ. اَمَّا بَعْدُ :
Puji dan syukur senantiasa penulis haturkan ke hadirat
Allah SWT karena berkat rahmat dan nikmat -Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Pembuatan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi Tugas Makalah
pada Mata
Kuliah Pancasila yang diampu oleh Bapak Drs. H. Suisyanto,
M. Pd..
Makalah
yang penulis buat ini berjudul “Aksiologi Dakwah Dilihat Dari Aspek Normatif
dan Empiris Melalui Implementasi Dakwah di Masyarakat” dibuat berdasarkan
hasil penyusunan data-data yang diperoleh dari berbagai buku referensi yang
berkaitan dengan Mata Kuliah Pancasila, serta berbagai informasi dari berbagai
literatur dan sumber lainnya yang berhubungan dengan Mata Kuliah Pancasila.
Dalam pembuatan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs.
H. Suisyanto, M.Pd. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Ilmu Dakwah dimana beliau
telah memberikan bimbingan dan arahan serta masukan dalam penulisan makalah
ini. Selain itu, kami selaku penulis tidak lupa mengucapkan kepada seluruh
pihak yang telah mendukung dan bekerja sama dalam penyelesaian makalah ini,
sehingga pembaca dapat membaca makalah ini.
Demikianlah
yang dapat penulis sampaikan. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
dan seluruh pembaca. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna,
maka penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan makalah ini menuju lebih baik.
Yogyakarta, September 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
PENDAHULUAN 1
A.
Latar
Belakang 1
B.
Rumusan Masalah 2
C.
Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Aksiologi 3
B. Aksiologi dalam Pandangan Aliran-aliran Filsafat 5
C. Hakikat Nilai Dan Penelusuran Nilai Dakwah (Aksiologi Dakwah) 7
D. Nilai Dakwah dan Institusionalisasinya 10
BAB III
PENUTUP 16
A.
Kesimpulan
16
B.
Kritik
dan Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Para pakar filsafat
pendidikan Islam seperti Syed Naquib al-Attas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
modern tidak bebas nilai, ia netral sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan
keagamaan, kebudayaan dan filsafat. Oleh karena itu, umat Islam perlu
mengislamisasikan ilmu.[1]
Pernyataan al-Attas tersebut bahwa ilmu bebas nilai mengindikasikan adanya
aksiologi, yakni pertimbangan nilai dalam ilmu pengetahuan. Ilmu apapun
namanya, jika ia diletakkan dalam wadah yang Islami, maka ilmu tersebut adalah
“ilmu Islam” dan di luar itu tidak Islami.
Ilmu pengetahuan yang
merupakan produk kegiatan berpikir manusia yang merupakan wahana untuk
meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang
diperolehnya, termasuk di dalamnya adalah ilmu dakwah. Proses penerapan itulah
yang menghasilkan peralatan-peralatan dan berbagai sarana hidup seperti kapak
dan batu di zaman dahulu hingga peralatan komputer di zaman sekarang ini, serta
alat-alat yang lebih canggih (mutakhir) lagi untuk masa-masa mendatang.
Meskipun demikian, pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan
tetap didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni; apa yang ingin diketahui,
bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan, dan bagaimana nilai pengetahuan
itu.[2]
Masalah yang terakhir
ini, yaitu nilai ilmu pengetahuan yang pada bagian ini adalah ilmu
dakwahberkenaan dengan aksiologi. Karena itu menarik untuk dikaji apa yang
dikandung dalam ilmu dakwah dan kaitannya dengan aksiologi, pertimbangan nilai
serta hal lain yang terkait dengannya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam
pembahasan ini sebagai berikut.
1. Apa pengertian aksiologi ?
2. Apa nilai yang terkandung dalam dakwah berkenaan dengan aksiologi ?
C.
TUJUAN
Adapun tujuan dari
penyusunan ini adalah menelusuri nilai yang terkandung dalam dakwah untuk
kemudian mampu diimplementasikan pada koridor dakwah sebenarnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AKSIOLOGI
Aksiologi adalah
istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu “axios” yang berarti sesuai
atau wajar. Sedangkan “logos” yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami
sebagai teori nilai. Burhanuddin Salam juga sepakat menyatakan bahwa aksiologi
adalah teori tentang nilai.[3] Menurut
John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau
suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan
bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian
terhadap satu institusi dapat terwujud.
Menurut Richard Bender
: Suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan
yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau
yang menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang
bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa
bertambah.[4]
Jujun S. Suriasumantri
berpendapat bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[5] Aksiologi
ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau
dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang
pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti
epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah
kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika
bersangkutan dengan masalah keindahan.[6]
Secara etimologis,
istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios”
yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi
merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.[7] Aksiologi
adalah abang filsafat yang mempelajari cara-cara yang berbeda dimana sesuatu
hal dapat baik atau buruk (baca: mempunyai akibat positif atau negatif)
dan hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta
eksistensi obyektif di pihak lain. Aksiologi adalah teori tentang nilai dalam
berbagai makna yang dikandungnya.
Aksiologi meliputi
nilai-nilai yang bersifat normative dalam pemberian makna terhadap kebenaran
atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi
berbagai kawasan seperti kawasan social, kawasan simbolik ataupun
fisik-materiil. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini
sebagai suatucondition sine quanon yang wajib dipatuhi dalam
kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Aksiologi memuat
pemikiran tentang maslaah nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan.
Misalnya, nilai moral, nilai agama dan nilai keindahan. Aksiologi ini juga
mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of
life (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf tinggi). Dilihat dari
jenisnya, paling tidak terdapat dua bagian umum dari aksiologi, yaitu[8] :
1. Etika
Etika adalah kajian tentang mana perbuatan baik dan
mana perbuatan buruk, serta apa ukuran yang digunakan di dalam menentukan baik
dan buruk.[9] Semiawan
menerangkan bahwa etika sebagai prinsip atau standar berprilaku manusia, yang
kadang-kadang disebut dengan “moral”. Kegiatanmenilai (act of judgement)
telah dibangun berdasarkan toleransi atau ketidakpastian, bahwa tidak ada
kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti dengan zero tolerance.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia.
Kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal,
perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi
norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik dan
buruknya. Sementara dari kalangan nonfilsafat, etika sering digunakan sebagai
pola bertindak praktis (etika profesi), misalnya bagaimana menjalankan bisnis
yang bermoral dalam etika bisnis.[10]
2. Estetika
Mengenai estetika, Semiawan menjelskan bahwa estetika
adalah mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupakan
cabang filsafat yang mengkaji hakikat indah dan buruk. Estetika membantu
mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan
ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga
berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode-mode yang estetis dari suatu
pengetahuan ilmiah itu.
Tujuan dasar ilmu
menurut beberapa ahli tidak selalu sama. Seperti dikutip Muslim A Kadir, Fred
Kerlinger berpendapat bahwa tujuan dasar ilmu hanyalah menjelaskan realitas
(gejala yang ada), bagin bronowsky, tujuan ilmu adalah menemukan yang benar
sedangkan menurut Mario Bunge, tujuan ilmu lebih dari sekadar menemukan
kebenaran. Kemudian, jika kita hubungkan dengan dakwah Islam atau lebih
khususnya kepada ilmu dakwah, akan dapat ditemui arah dakwah sebenarnya. Sebab,
berdasarkan sejarah tradisi Islam, ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak
terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk
mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat
yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan selalu mendesak kemanusiaan,
tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan
dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.[11]
B. AKSIOLOGI DALAM PANDANGAN ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT
Aksiologi dalam
pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat
yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni :
1. Pandangan Aksiologi Progresivisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910),
Hans Vahinger, Ferdinant Sciller, Georger Santayana, dan Jhon Dewey. Menurut
progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan demikian,
adanya pergaulan dalam masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah
sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan
dan individu-individu. Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang
mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan
adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud sebagai
lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.
2. Pandangan Aksiologi Essensialisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini
adalah Desiderius Erasmus, John Amos Comenius (1592- 1670), John Locke
(1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-1827), John Frederich
Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841) dan William T.
Horris (1835-1909).[20] Bagi aliran ini, nilai-nilai
berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme
terbina dari dua pandangan tersebut, pandangan tersebut adalah :
·
Teori nilai menurut
idealisme. Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos
karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan
hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan
juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian
serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana
tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang
mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi
yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan pakaian dan suasana kesungguhan
tersebut.
·
Teori nilai menurut
realisme. Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada
keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya
keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan
seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan
pengaruh-pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan idealisme
dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu tidak
dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan
pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun
idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun tetap
mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya
sendiri.
3. Pandangan Aksiologi Perenialisme
Tokoh utama aliran ini diantaranya
Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas. Perenialisme memandang bahwa keadaan
sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh
kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai
sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral,
intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang lain. Sedangkan menyangkut
nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘,
yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya
ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi
juga aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan
keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam
perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima
universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia
terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah hakikat manusia itu juga menentukan
hakikat perbuatan-perbuatannya.
4. Pandangan Aksiologi Rekonstruksionisme
Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha
merombak kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang
memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh
kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam
memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan
manusia yang memerlukan kerja sama.
C. HAKIKAT NILAI DAN PENELUSURAN NILAI DAKWAH (AKSIOLOGI
DAKWAH)
Aksiologis adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai dari sudut pandang
filsafat. Sesuatu yang dikatakan bernilai jika ia memiliki unsur baik atau
manfaat dalam kehidupan, misalnya nilai sebuah pisau, nilai sehat, nilai sebuah
barang dan sebagainya. Menurut Kenneth Anderson yang dikutip oleh Onong Uchjana
Effendy menyatakan bahwa nilai merupakan komponen sentral yang membimbing dan
memandu tindakan atau kegiatan seseorang. Sebagai contoh, seseorang yang
menginginkan kekuatan, akan menghubungkan sikap dan kegiatannya dengan nilai
sentral, umpamanya dzikir-dzikir khusus yang berkaitan dengan keyakinan pada
Tuhan. Nilai sentral itulah yang menjadimotivasi untuk mendapatkan kekuatan
tersebut. Jika pengertian nilai tersebut dikaitkan dengan dakwah, maka akan
dikenal dengan nilai dakwah, yakni nilai-nili Islam yang bersumber dari
Al-Qur’an dan al-Hadits. Nilai-nilai dakwah bukanlah suatu “barang yang mati”,
melainkan nilai dinamis yang disesuaikan dengan semangat zaman dan perkembangan
ilmu pengetahuan yang ada di masyarakat. Menurut Muhammad Sulthon, tata nilai
Islami yang terdapat di dalam Al-Qur’an bersifat historis, dinamis, dialektis
dan transformatif.[12]
Kattsoff menjelaskan bahwa hakikat nilai itu ada
beberapa kemungkinan, diantaranya :
·
Nilai adalah kualitas empiris yang tidak dapat
didefinisikan
·
Nilai sebagai objek suatu kepentingan
·
Nilai pragmatis
·
Nilai sebagai esensi
Pada bagian lain, Kattsoff menjelaskan bagaimana mendekati nilai
(pendekatan aksiologis) yang dibedakan menjadi :
·
Nilai seluruhnya
berhakikat subjektif, artinya nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan
manusia sebagai pemberi nilai.Kaitannya dengan hal ini, maka sangat tergantung
pada pengalaman, penetahuan dan kemampuan pemberi nilai tersebut.
·
Nilai-nilai merupakan kenyataan ontologis,
artinya nilai merupakan esensi logis yang dapat diketahui melalui akal, yang
dikenal dengan objektivitasme logis.
·
Nilai merupakan unsur-unsur objektif yang
menyusun kenyataan, artinya nilai merupakan hasil dari pengenalan, penambahan
dan pembuktian dari suatu yang dinilai (objektivitas).
Berangkat dari penyataan nilai di atas, dapat kita
jadikan batu loncatan untuk melakukan penelusuran terhadap nilai dakwah.
Upaya dalam menelusuri nilai dakwah diantaranya :
a. Jika dilihat dari sudut ilmunya, maka yang muncul adalah nilai kebenaran
dari pengetahuan dakwah tentunya harus ada tolok ukur yang baku, yaitu :
v Koherensi antarkonsep dalam pengetahuan
v Korespondensi, sesuatu itu bernilai jika sesuai dengan kenyataan
v Empiris, sesuatu dikatakan bernilai jika dapat dibuktikan dengan cara
empirik/ didapat dari penelitian
v Unsur pragmatis, bernilai jika ada manfaatnya
b. Sudut empirik keberadaan dakwah (dakwah sbagai
proses). Nilai dakwah dilihat dalam kenyataan hidup masyarakat, yakni
adanya interaksi antara da’i, ajaran, umat manusia dan segala hal yang
mendukung proses dakwah. Ada dua hal penting
yang sebaiknya diyakini dalam nilai dakwah, yaitu: Pertama, Nilai
kerisalahan, dakwah dilihat sebagai penerus,penyambung dan menjalankan fungsi
dan tugas Rasul. Kedua, Nilai rahmat dalam dakwah, ajaran Islam harus memberikan manfaat bagi
kehidupan umat. Sehubungan dengan hal ini maka dakwah harus mampu
menterjemahkan ajran Islam, mengimplementasikan konsep ajaran dalam kehidupan
sehari-hari. Dakwah dalam hal ini
lebih menitikberatkan pada tujuan dakwah secara oprasional entah itu output
ataupun input dari kegiatan dakwah yang dilaksanakan.
Dakwah dari aspek keilmuan dapat ditelusuri dari
sejauh mana konsep-konsep dan teori ilmu dakwah memberikan kontribusi bagi
kehidupan manusia, baik sebagai individu, kelompok sosial maupun bangsa.
Menurut Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:
·
Mentransformasikan dan
menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islam menjadi tatanan Khoirul-Ummah
·
Mentransformasikan iman
menjadi amal sholeh jamaah
·
Membangun dan
mengembalikan tujaun hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut
Al-quran dan sunnah, oleh karena itu, ilmu dakwah dapat dipandang sebagai
perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban
islam.
Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang
harus dicermati dan ketiganya akan mengandung konsekuensi yang berbeda, yitu :
- Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai objek kajian atau bahkan sebuah ativitas konkrit.
- Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:
o Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu
tertentu dan kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi
yang lain. Histories tertentu dan histories yang lain.
o Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab,
orang musyrik dan orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi
tergantung kondisi yang ada.
·
Dakwah sebagai
panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog.
Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu
argumen adalah syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan
nilai kebenaran.
D. NILAI DAKWAH DAN INSTITUSIONALISASINYA
Nilai dan orientasi
nilai mengacu kepada konsepsi tentang hal-hal atau karakteristik manusia yang dikehendaki
dan terpuji. Tindakan yang dilakukan oleh seseorang dibangun dari pemahaman
yang mendalam tentang arti kehidupan bagi dirinya. Jika seseorang mengartikan
kehidupan sesuai dengan ajaran Islam bahwa hidup ini memiliki makna dan tujuan
yang jelas, maka mereka akan melakukan tindakan sesuai dengan ajaran Islam dan
akan mempersiapkan untuk menghadapi kehidupan akhirat yang abadi. Di dalamnya
seseorang berupaya untuk mengenal tentang dirinya sebagai manusia yang
sempurna, tugasnya di alam sebagai hamba Allah SWT dan khalifatullah, serta
hubungannya dengan Sang Khalik dengan menjalankan segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya. Dengan adanya pemahaman tersebut akan lahir
persepsi yang positif terhadap kehidupan dan dinamikanya. Dari persepsi yang
positif akan lahirlah kesadaran untuk bertanggung jawab dalam mengembangkan
kehidupan yang berguna dan pada akhirnya akan melakukan aktivitas-aktivitas
yang memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain.
Tindakan yang dilakukan
umat Islam mestinya dibangun dari pemahaman yang komprehensif tentang ajaran
Islam yang di dalamnya terdapat nilai-nilai dakwah yang bersifat universal.
Beberapa nilai-nilai dakwah universal yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan
umat, diantaranya sebagai berikut[13] :
1) Kedisiplinan
Disiplin bukan hanya milik tentara atau polisi saja,
tetapi menjadi milik semua orang yang ingin sukses. Kedidiplinan tidak
diartikan dengan kehidupan yang kaku dan susah tersenyum. Kedisiplinan terkait
erat dengan manajemen waktu. Bagaimana waktu yang diberikan oleh Tuhan selama
24 jam dalam sehari semalam dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk
meraih kesuksesan di dunia dan akhirat. Al-Qur’an sangat banyak bercerita dan
menyebutkan tentang pentingnya waktu, seperti demi masa (wal’ashr), demi
waktu dhuha (wadduha), demi waktu malam (wallaili), demi waktu
fajar (walfajr) dan lain sebagainya. Waktu tidak bisa diputar ulang,
karenanya amat rugi manakala waktu yang kita jalani hanya dilewatkan begitu
saja tanpa memberi makna yang berarti. Pepatah Arab mengatakan “al-waqtu ka
al-shaif” (waktu bagaikan pedang), artinya jika kita tidak mampu
memanfaatkan waktu, bagaikan kita ditebang oleh pedang, yakni mengalami
kerugian dan bahkan kematian.
Dalam ajaran ibadah shalat dan puasa, kita dilatih
betul bagaimana menjadi orang yang disiplin dalam memanfaatkan waktu. Tidak
bisa kita melaksanakan shalat di luar waktu yang telah ditentukan, begitu juga
dengan puasa, ada aturan main yang sudah jelas waktunya. Pembelajaran dan
pembiasaan yang diajarkan oleh Tuhan untuk memanfaatkan waktu dengan
sebaik-baiknya mestinya dapat berpengaruh terhadap kedisiplinan seseorang dalam
menjalani hidupnya.
2) Kejujuran
Rasulullah SAW merupakan teladan utama dalam kejujuran dan bahkanbeliau
memiliki sifat sidiq (jujur). Rasulullah SAW memerintahkan
umatnya untuk berlaku jujur, sesuai dengan sabda beliau :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى
اللّه عليه وسلم : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى
الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ
يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا
وَاِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ
الْفُجُورَ يَهْدِى إلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى
الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا (اخرجه مسلم)
Artinya : “Hendaklah
kamu semua bersikap jujur karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan
kebaikan membawa ke syurga, seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran
akan ditulis oleh Allah SWT sebagai orang yang jujur, dan jauhilah sifat bohong
karena kebohongan membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka.
Orang yang selalu berbohong dan mencari kebohongan akan ditulis oleh Allah SWT
sebagai pembohong” (HR. Muslim)
Kita bisa belajar dari umat yang dibinasakan oleh Allah SWT akibat tidak
jujur dan kejahatan lain yang dilakukannya, yaitu pada bangsa Madyan
sebagaimana yang difirmankan Allah SWT sebagai berikut :
4n<Î)ur tûtïôtB óOèd%s{r& $Y6øyèä© 4 tA$s% ÉQöqs)»t (#rßç7ôã$# ©!$# $tB Nà6s9 ô`ÏiB >m»s9Î) ¼çnçöxî ( wur (#qÝÁà)Zs? tA$uò6ÏJø9$# tb#uÏJø9$#ur 4 þÎoTÎ) Nà61ur& 9ös¿2 þÎoTÎ)ur ß$%s{r& öNà6øn=tæ z>#xtã 5Qöqt 7ÝÏtC ÇÑÍÈ ÏQöqs)»tur (#qèù÷rr& tA$uò6ÏJø9$# c#uÏJø9$#ur ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( wur (#qÝ¡yö7s? }¨$¨Z9$# öNèduä!$uô©r& wur (#öqsW÷ès? Îû ÇÚöF{$# tûïÏÅ¡øÿãB ÇÑÎÈ
Artinya :“Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka,
Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan
bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan,
sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya
aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)." Dan
Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan
adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan
janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” (Q.S.
Huud: 84-85)
Dari ayat di atas, ada tiga hal penting yang bisa diterapkan dalam
kehidupan kita untuk memberantas ketidakjujuran dankejahatan lainnya, yaitu:
Pertama, pelurusanakidah dengan meyakini dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada
Allah SWT semata. Kedua, berprilaku jujur dan jangan menyakiti orang lain.
Ketiga, jangan merusak bumi, maksudnya bisa diperluas bukan hanya arti
sempitnya tetapi juga bisa dimaksudkan jangan merusak sistem yang sudah
dibangun dengan baik, akibat dari prilaku individu yang tidak jujur.
3) Kerja Keras
Siapa yang sungguh-sungguhmaka dialah yang pasti dapat (man jadda wajada).
Pepatah Arab tersebut merupakan hukum sosial yang berlaku universal bagi
masyarakat, tidak mengenal etnis, agama maupun bahasa. Orang yang rajin dan
bekerja keras, pasti akan mendapatkan hasil dari kerja kerasnya. Sebaliknya,
orang yang malas akan menerima hasil yang sedikit karena kemalasannya. Allah
SWT dalam beberapa ayat mendorong umat-Nya untuk bekerja keras, seperti:
#sÎ*sù |Møîtsù ó=|ÁR$$sù ÇÐÈ
Artinya : “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (Q.S. Al-Insyiroh:
7)
Sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) telah selesai
berda'wah maka beribadahlah kepada Allah SWT, dan apabila kamu telah selesai
mengerjakan urusan dunia maka kerjakanlah urusan akhirat, dan ada lagi yang
mengatakan: “Apabila telah selesai mengerjakan shalat maka berdo’alah”.
Allah SWT juga berfirman :
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
Artinya :“Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S.
Al-Jumu’ah: 10)
Begitupun Rasulullah SAW yang telah mencontohkan sejak kecil telah bekerja
keras, seperti mengembala kambing, berdagang dan berupaya sekuat tenaga untuk
membebaskan umat (kaum dhuafa) dari kemiskinan, kebebasan, perbudakan,
eksploitasi kaum aghniya dan sebagainya. Rasulullah SAW
mengingatkan kita “yang paling aku khawatirkan dan takuti terhadap umatku
adalah suka membusungkan dada, banyak tidur dan malas bekerja”.
4) Kebersihan
Umat Islam sangat hafal sekali dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan
bahwa “Kebersihan adalah sebagian dari iman” (HR. Muslim). Sayangnya,
hafalan tersebut kurang diimbangi dengan praktikdi lapangan. Realitas
tempat-tempat umum milik umat Islam menunjukkan kurang terjaganya kebersihan,
seperti masjid, mushalla, pondok pesantren, asrama haji, majelis ta’lim dan
sebagainya. Padahal, umat Islam sering kali diperkenalkan dan dianjurkan untuk
menjaga kebersihan. Setiap bahasan pertama tentang fiqih Islam diawali dengan
pembahasan tentang kebersihan seperti menghilangkan hadas besar dan kecil,
menggunakan air yang bersih lagi mensucikan, berwudhu dan lain sebagainya.
Allah SWT mengingatkan umat Islam untuk menjaga kebersihan (kesucian) jiwa dan
juga kebersihan yang bersifat fisik, dengan simbol untuk membersikan pakaian.
Allah SWT berfirman :
$pkr'¯»t ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ óOè% öÉRr'sù ÇËÈ y7/uur ÷Éi9s3sù ÇÌÈ y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ
Artinya : “Hai orang yang
berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan, dan Tuhanmu
agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah” (Q.S. Al-Muddatssir: 1-4)
Dengan demikian, menjaga kebersihan merupakan nilai dakwah universal yang
dapat dilakukan oleh siapa saja, apalagi umat Islam jelas-jelas memiliki dasar
kuat untuk menjaga kebersihan.
5) Kompetisi
Islam tidak melarang umatnya untuk berkompetisi, karena kompetisi merupakan
salah satu motivasi psikologis yang sangat umum dimiliki oleh setiap manusia.
Setiap mahasiswa akan memiliki motivasi untuk berkompetisi diantara
teman-temannya. Meskipun masing-masing individu berbeda dalam tingkatan
motivasinya. Al-Qur’an telah menganjurkan umat Islam untuk berkompetisi dalam
peningkatan kualitas takwa, sebagaimana firman Allah SWT :
¨bÎ) u#tö/F{$# Å"s9 AOÏètR ÇËËÈ n?tã Å7ͬ!#uF{$# tbrãÝàZt ÇËÌÈ ß$Í÷ès? Îû óOÎgÏdqã_ãr nouôØtR ÉOÏè¨Z9$# ÇËÍÈ tböqs)ó¡ç `ÏB 9,Ïm§ BQqçG÷¨B ÇËÎÈ ¼çmßJ»tFÅz Ô7ó¡ÏB 4 Îûur y7Ï9ºs ħsù$uZoKuù=sù tbqÝ¡Ïÿ»oYtGßJø9$# ÇËÏÈ
Artinya :“Sesungguhnya
orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni'matan yang besar
(syurga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat
mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh keni'matan. Mereka
diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya). laknya adalah kesturi;
dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba” (Q.S.
Al-Muthaffifin: 22-26)
Kebanyakan manusia biasanya melakukan kompetisi dalam urusan materi dan
dunia yang fana. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan agar umat Islam
tidak berkompetisi secara berlebihan dalam urusan dunia. Hal ini dapat
menimbulkan konflik, dengki, rasa iri dan menjauhkan dari ingat kepada Allah
SWT. Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya :
“Demi Allah, bukan kekafiran yang aku khawatirkan atas kalian, tetapi
aku khawatir kalau dunia disodorkan kepada kalian sebagaimana telah disodorkan
kepada orang-orang sebelum kalian. Lantas kalian berlomba-lomba (berkompetisi)
sebagaimana mereka telah melaukannya juga. Akhirnya dunia akan menghancurkan
kalian, sebagaimana telah membinasakan mereka semua” (HR. Bukhari)
Masih banyak lagi nilai-nilai dakwah yang bisa dikembangkan atau diturunkan
dari sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan al-Hadist, kami hanya mencontohkan
sebagian kecil dari nilai-nilai dakwah yang ada. Nilai-nilai dakwah yang
berlaku universal tersebut senantiasa disosialisasikan kepada masyarakat
sehingga nilai-nilai tersebut menjadi kebiasaan, tradisi atau norma yang
berlaku dimasyarakat. Jika nilai-nilai dakwah universal telah berkembang dan
menjadi norma di masyarakat, maka nilai-nilai dakwah telah memasuki tahap
institusionalisasi atau pelembagaan. Dalam melaksankan proses pelembagaan
nilai-nilai dakwah, titik berangkatnya berasal dari pemahaman tentang konsepsi
dakwah menurut ajaran Islam. Di dalam konsepsi dakwah terkandung nilai-nilai
yang akan disosialisasikan dan ditanamkan kepada para pelaku dakwah.
Nilai-nilai yang telah menginternal dalam diri para pelaku dakwah akan terus
dibawa dan dikembangkan melalui interaksi sosial yang terjadi di organisasi
dakwah dan terbentuk menjadi nilai-nilai dakwah. Nilai-nilai dakwah tersebut
akan terus-menerus dipraktikkan oleh para pelaku dakwah menjadi kebiasaan dan
tata aturan yang pada akhirnya melahirkan institusi.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Aksiologi dakwah secara
sederhana adalah menelusuri nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan dakwah.
Nilai-nilai dakwah universal yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat
diantaranya, kedisiplinan, kejujuran, kerja keras, kebersiha dan kompetisi.
Selain itu, masih banyak lagi nilai-nilai dakwah universal yang terkandung di
dalam dakwah itu sendiri.
Dakwah hendaknya
dilakukan dengan menafikan unsur-unsur kebencian, dakwah hendaknya dilakukan
secara persuasif dan jauh dari sikap memaksa,menghindari pikiran dan sikap
menghina serta menjelek-jelekkan agama atau menghujat Tuhan yang menjadi
keyakinan agama lain, mengapresiasi peredaan dan menjauhi sikap ekstremisme
dalam beragama dan dakwah hendaknya dilakukan dengan jujur dan proporsinal.
Dalam mengemukakan dalil-dalil dan pembuktian hendaknya dilakukan secara baik.
B.
Kritik dan Saran
Dalam kesempatan ini
kami ingin menyampaikan kritik dan saran untuk kami pribadi khususnya dan untuk
pembaca sekalian umumnya. Kritik dan saran pokok yang ingin kami sampaikan
adalah pahamilah hakikat, metode dan nilai-nilai yang terkandung dalam dakwah
tersebut agar segala bentuk kegiatan dakwah yang kita lakukan dapat sukses guna
tetap tegaknya marwah Islam dalam kancah peradaban dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Supeno, M. Ag., Dr. Ilyas. 2013. Filsafat Ilmu
Dakwah : Perspektif Filsafat Ilmu Sosial. Yogyakarta : Penerbit Ombak
Suisyanto, Drs. 2014. Dakwah (Hakekat dan
Implementasi). Yogyakarta : Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Susanto, Ahmad. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu
Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis.
Jakarta: Penerbit Bumi Aksara
[1] Wan Mohd. Nor Wan Daud, The
Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan
oleh Hamid Fahmi, et. all dengan judulFilsafat dan Praktik
Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, Cet. I,
2003), hlm. 317.
[2] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu
dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Cet, IX, 1991),
hlm. 2.
[3] Burhanuddin Salam, Logika
Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta, Cet, 1, 1997),
hlm. 168.
[4] Ali Abri, (Sewaktu Menjadi Dosen Fak. Syari’ah IAIN SUSKA), Filsafat
Umum Suatu Pengantar, Untuk Kalangan Sendiri, hlm. 33.
[5] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: Sinar harapan, Cet, XIII, 2000), hlm. 234.
[6] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa oleh Soejono
Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 327.
[8] A. Susanto, Filsafat Ilmu; Suatu Kajian Dalam
Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi
Aksara, Cet ke-2, 2011), hlm. 117-118.
[10] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum; Edisi revisi, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 16.
[11] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, Cet ke-11, 2012), hlm. 173.
[12] Sukriyadi Sambas, Sembilan Pasal Pokok-pokok Filsafat Dakwah,
(Bandung: KP Hadid, 1999), hlm. 41.
Komentar
Posting Komentar