Makalah Pancasila
PANCASILA DALAM
KONTEKS LINTASAN
SEJARAH
PERJUANGAN BANGSA INDONESIA
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Makalah
Pada Mata
Kuliah Pancasila
Disusun Oleh :
KELOMPOK I
No.
|
Nama
|
NIM
|
1.
|
Hayatul Khairul Rahmat
|
15220011
|
2.
|
Eli Yulianti
|
15220005
|
3.
|
Endang Santika
|
15220048
|
4.
|
Kartika Apriliana
|
15220035
|
5.
|
Inesya Sekar Novela
|
15220042
|
Dosen Pengampu
:
Drs. H. Rifa’i Abubakar, M. A.
NIP. 19610704 199203 1 001
PROGRAM STUDI BIMBINGAN
DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
KATA
PENGANTAR
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$#
الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى اَشْرَفِ اْلاَنْبِيَاءِ
وَ اْلمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ اَجْمَعِيْنَ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ
اِلَهَ اِلاَّ اللهِ وَ حْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ. اَمَّا بَعْدُ :
Puji dan syukur senantiasa penulis haturkan ke hadirat
Allah SWT karena berkat rahmat dan nikmat -Nya, penulis dapat menyelesaikan buku ini dengan baik dan tepat waktu. Pembuatan
buku ini bertujuan untuk memenuhi Tugas Makalah
pada Mata
Kuliah Pancasila yang diampu oleh Bapak Drs. H. Rifa’i Abubakar, M.A.
Buku yang penulis buat ini berjudul “Pancasila
dalam Konteks Lintasan Sejarah Perjuangan Bangsa
Indonesia” dibuat berdasarkan hasil penyusunan data-data yang diperoleh dari
berbagai buku referensi yang berkaitan dengan Mata Kuliah Pancasila, serta
berbagai informasi dari berbagai literatur dan
sumber lainnya yang berhubungan dengan Mata Kuliah Pancasila. Dalam pembuatan buku ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. H. Rifa’i Abubakar, M.A. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Pancasila
dimana beliau telah memberikan bimbingan dan arahan serta masukan dalam
penulisan buku ini. Selain itu, kami selaku penulis
tidak lupa mengucapkan kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan bekerja
sama dalam penyelesaian makalah ini,
sehingga pembaca dapat membaca buku ini.
Demikianlah
yang dapat penulis sampaikan. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
dan seluruh pembaca. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna,
maka penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan makalah ini menuju lebih baik.
Yogyakarta, September 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
PENDAHULUAN 1
A.
Latar
Belakang 3
B.
Rumusan Masalah 3
C.
Tujuan
3
D.
Manfaat 3
BAB II
PEMBAHASAN 4
A. Pengantar 4
B. Pengertian Pancasila 7
C. Zaman Pra Sejarah 9
D. Zaman Kerajaan Kutai 11
E. Zaman Kerajaan Sriwijaya 12
F. Zaman Kerajaan-kerajaan Sebelum Kerajaan Majapahit 14
G. Zaman Kerajaan Majapahit 15
H. Zaman Penjajahan 17
I. Zaman Kebangkitan Nasional 20
J. Zaman Sebelum Proklamasi 21
K. Era Kemerdekaan 24
L. Era Orde Lama 26
M. Era Orde Baru 27
N. Era Reformasi 35
BAB III
PENUTUP 44
A.
Kesimpulan
44
B.
Kritik
dan Saran 44
DAFTAR PUSTAKA 45
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak
tahun 1945, Pancasila telah menjadi dasar negara Indonesia dan sekaligus
menjadi ciri dari kepribadian bangsa Indonesia itu sendiri. Kelima dari sila
dalam Pancasila itu telah diotentikkan dalam alinea keempat dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai landasan
pendirian sebuah negara. Dalam hal ini, dalam pendirian sebuah negara yang
berdaulat haruslah memenuhi dua syarat yaitu syarat konstitutif[1]
dan syarat fakultatif[2].
Dalam
hal ini dapat kita pahami, secara utuh dan
konkret dari kelima sila dalam Pancasila tersebut telah menunjukkan ciri
dan kepribadian bangsa Indonesia itu sendiri.
Kelima
sila dalam Pancasila ini mengandung nilai essensial yaitu Ketuhanan,
Kemanusian, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan, dalam realitasnya secara
objektif telah dimiliki oleh bangsa ini sejak zaman dahulu kala.
Dalam
pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, telah memperlihatkan bahwa
pluralisme bangsa ini dimana tidak bisa kita pungkiri bahwa kita yang berbeda
gugusan kepulauan, mulai dari Sabang sampai Merauke, mulai dari pulau Sumatera,
pulau Jawa, pulau Kalimantan, pulau Sulawesi, pulau Papua, dan puluhan ribu
pulau lainnya dapat dipersatukan dibawah naungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Hal
ini terjadi karena bangsa yang ini yang berbeda suku bangsa memiliki kesamaan
nilai-nilai yang kemudian dihayati sebagai nilai dasar dalam bentuk lima sila
yang terlingkup dalam Pancasila. Kata Bhinneka Tunggal Ika yang selalu terlihat
di lambang negara ini telah mengungkapkan jati diri kita sebagai bangsa
Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa, agama, ras, budaya, dan
bahasa, namun bersatu dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
menjadi bangsa Indonesia.
Dalam
menjadikan Pancasila sebagai dasar negara ini sebelum disahkan pada tanggal 18
Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)[3]
dapat dinyatakan telah melalui perjalanan panjang untuk menjadi sebuah dasar
negara ini. Kita sebagai kausa materialis Pancasila telah menyatakan bahwa
Pancasila itu secara yuridis telah menjadi dasar negara ini dan mengalami
proses panjang hingga saat ini.
Ir.
Soekarno menyebutkan Pancasila itu sebagai Phylosofiche Grondslag atau
fundamen, filsafat, pikiran sedalam-dalamnya, jiwa, dan hasrat untuk menjadikan
negara Indonesia merdeka ini akan senantiasa kekal abadi. Selain itu, Ir.
Soekarno juga menyebutkan Pancasila itu sebagai weltanschauung bangsa
dan negara Indonesia ini. Artinya Pancasila ini mencakup cita-cita, harapan,
dan tujuan dari dibentuknya negara Indonesia yang merdeka ini.
Proses
terbentuknya negara Indonesia ini melalui proses sejarah yang panjang. Dimana
dimulai sejak zaman batu kemudian timbulnya kerajaan-kerajaan pada abad ke- IV,
pada abad ke- V, kemudian dasar-dasar kebangsaan itu terlihat.
Dalam
hal ini dapat kita lihat, manusia diciptakan sebagai makhluk oleh Sang
Khaliqnya Allah SWT sebagai umat yang paling sempurna, dan tertinggi dari
makhluk ciptaan lainnya. Manusia dapat mengubah apa yang yang ada di jagat raya
ini dengan akal budinya. Jadi dengan akal budi inilah muncul dasar-dasar
kebangsaan ini yang mulai tampak pada abad ke- VII. Kemudian dirintis hingga
kemerdekaan bangsa ini.
Dalam
proses pembentukan negara ini tidak bisa dipungkiri bahwa prosesnya melewati
pemikiran dan perumusan Pancasila yang dipengaruhi oleh interaksi dengan sistem
berpikir dan nilai-nilai budaya lainnya. Hal ini merefleksikan bahwa setiap
saat sistem berpikir seorang manusia terus berkembang hingga saat ini. Oleh
karena itu, penulis akan menjelaskan proses lahirnya Pancasila sampai yang
terjadi saat ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Mengetahui
pengertian Pancasila.
2.
Mengetahui
rumusan awal Pancasila.
3.
Mengetahui
rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta.
4.
Mengetahui
rumusan Pancasila dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945
5.
Mengetahui
proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara.
C.
TUJUAN
Tujuan
penulisan buku ini adalah agar kita bisa memahami bagaimana Pancasila itu dalam
sejarah lintasan bangsa ini. Dalam hal ini kita akan mengetahui sejak dari awal
munculnya Pancasila sampai masa reformasi saat ini.
D.
MANFAAT
Manfaat
dari penulisan buku ini adalah bisa digunakan sebagai sumber informasi dan
bahan bacaan dalam memahami sejarah munculnya dan berkembangnya Pancasila
sampai masa reformasi saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGANTAR
Corak
suatu bangsa akan terbentuk melalui proses panjang yang dilewati oleh generasi
yang mendiami wilayah tempat mereka tinggal yang disebut bangsa. Kita sebagai
manusia yang lahir disebut tempat yang mana tempat tersebut memiliki kebudayaan
yang bersumber dari akal pikiran manusia itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa
kita diciptakan oleh Sang Khaliq kita Allah SWT sebagai makhluk yang paling
sempurna dan tertinggi dibandingkan makhluk yang lainnya[4].
Dimana manusia itu diberi daya kreasi dan daya inovasi untuk mengembangkan alam
ini. Hal inilah yang menjadikan kita sebagai insan dapat merubah keadaan hidup
dari zaman ke zaman.
Pendekatan
yang dilakukan secara religi dapat memberikan kesimpulan bahwa seorang manusia
sepanjang zaman akan tetap sebagai manusia, bagaimanapun sesempurnanya hewan
tersebut. Oleh karena itu, manusia bukanlah perkembangan yang paling sempurna
dari hewan yang bernama kera, walaupun terdapat kemiripan yang sangat dekat
antara keduanya.
Letak
Kepulauan Indonesia yang strategis merupakan faktor yang ikut juga menentukan
terbentuknya ciri kebudayaan Indonesia
itu sendiri. Jadi, lingkungan alam melahirkan sendiri kesadaran akan kekuasaan
dimana manusia itu berada.
Pada
zaman prasejarah penduduk di Kepulauan Indonesia ini telah memiliki kebudayaan
yang tinggi dan tingkat peradaban yang tinggi. Ini terlihat dimana mereka sudah
mengenal upacara keagamaan, perbintangan, pertanian, pengairan, musik, gamelan,
wayang, sistem pemerintahan, hukum adat, mata uang, pengecoran logam, dan
lain-lain.
Jadi,
dengan adanya tingkat kebudayaan yang tinggi ini melahirkan sifat-sifat
kekeluargaan, bermusyawarah, dan gotong royong yang akhirnya dapat memupuk
persaudaraan antar mereka dan menjadi alat pembinaan rasa kesatuan antar bangsa
Indonesia itu sendiri. Meskipun mereka tersebar di ribuan pulau di Kepulauan
Indonesia mereka tetap bersatu dibawah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
tetap bersifatkan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu juga).
Ciri ini telah mengurat dan mengakar di negeri ini.[5]
Beberapa
contoh nilai-nilai Pancasila yang hidup di tengah masyarakat Indonesia[6]
yang terlihat dari ungkapan berikut ini:
Minangkabau : Adaik
basandi syarak, syarak basandi Kitabullah
Minahasa : Pangilekenta
waja si Empung si Rumer reindeng rojor (Sekalian kita maklum bahwa yang
memberikan rahmat yakni Tuhan Yang Maha Esa)
Madura : Abantal
sadat, sapo’ iman, payung Allah (Iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa)
Bugis/ Makasar
: Tak sakrakai allowa ritang ngana langika (Matahari tak akan tenggelam
di tengah langit)
Nilai-nilai
adat istiadat tersebut yang telah terpadu dan melekat dalam kehidupan
sehari-hari bangsa Indonesia itu sendiri. Sebelum Pancasila disahkan pada
tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
nilai-nilai diatas telah menjadi pandangan hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai tersebut diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri
negara untuk dijadikan sebagai dasar filsafat negara Indonesia.
Pancasila
itu sendiri adalah nilai-nilai yang sudah hidup di tengah-tengah masyarakat.
Pola-pola yang telah ada di tengah-tengah masyarakat yang berbeda-beda
memancarkan falsafah Pancasila. Soekarno mengakui bahwa dia bukanlah pencipta
Pancasila, ia hanya sekadar perumus. Baginya Pancasila adalah ciptaan dari
bangsa Indonesia sendiri dan terkubur 350 tahun karena penjajahan.[7]
Pancasila merupakan karya bersama bangsa ini, ia tidak hanya milik satu
golongan atau partai sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno dalam
ceramahnya pada pertemuan Gerakan Pembela Pancasila di Istana Negara pada
tanggal 17 Juni 1954. Bung Karno secara gamblang mengatakan, “... Pancasila
adalah dasar negara dan harus kita pertahankan sebagai dasar negara jika tidak
mau mengalami bahaya besar terpecahnya negara ini ... jangan ada sesuatu partai
berkata Pancasila asasku. PNI ini tetaplah pada asas Marhaenisme, oleh karena
itulah PNI mempertahankan Pancasila, tetapi jangan berkata PNI berdasar pada
Pancasila. Sebab jikalau dikatakan Pancasila adalah ideologi partai, maka lalu
partai-partai lain tidak mau ...”[8]
Proses
perumusan materi pancasila ini dilakukan secara formal dalam sidang Badan Usaha
Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) I, sidang Panitia Sembilan,
sidang Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) II,
serta akhirnya disahkan secara yuridis sebagai dasar filsafat negara Republik
Indonesia.
Berdasarkan
kenyataan tersebut, maka untuk memahami Pancasila secara lengkap dan utuh
terutama dalam kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia, mutlak diperlukan
pemahaman sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk membentuk suatu bangsa dan
negara yang berdasarkan suatu asas hidup bersama demi mencapai kesejahteraan
hidup bersama, yaitu negara yang berdasarkan kepada Pancasila. Selain itu,
secara epistemologis sekaligus sebagai pertanggung jawaban ilmiah, bahwa
Pancasila selain sebagai dasar negara Indonesia juga sebagai pandangan hidup
bangsa, jiwa, kepribadian bangsa serta sebagai penjanjian luhur bangsa
Indonesia pada waktu mendirikan negara.
Nilai
essensial yang terkandung dalam Pancasila tersebut yaitu Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, serta Keadilan, dalam kenyataannya secara
objektif telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Proses terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang
yaitu sejak zaman batu kemudian timbulnya kerajaan-kerajaan pada abad ke- IV,
pada abad ke- V, kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai nampak
pada abad ke- VII, yaitu ketika berdirinya kerajaan Sriwijaya dibawah naungan
Wangsa Syailendra di daerah Palembang, Sumatera Selatan. Kemudian kerajaan
Airlangga dan Majapahit di daerah Jawa Timur serta kerajaan-kerajaan lainnya.
Dasar-dasar
pembentukan nasionalisme modern dirintis oleh para pejuang kemerdekaan bangsa,
antara lain rintisan yang dilakukan oleh para tokoh pejuang kebangkitan
nasional pada tahun 1908, kemudian pada tahun 1928 dicetuskanlah sumpah pemuda.
Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1945 perjuangan bangsa Indonesia berhasil
mencapai kemerdekaan dan berdirilah negara Indonesia yang diproklamirkan pada
tanggal tersebut.
B. PENGERTIAN PANCASILA
Pancasila adalah landasan dari segala keputusan bangsa dan menjadi
ideologi tetap bangsa serta mencerminkan kepribadian bangsa. Pancasila
merupakan ideologi bagi negara Indonesia. Dalam hal ini Pancasila dipergunakan
sebagai dasar mengatur pemerintahan negara. Pancasila merupakan kesepakatan
bersama bangsa Indonesia yang mementingkan semua komponen dari Sabang sampai
Merauke.
1. Asal Mula Kata Pancasila
Secara etimologi kata “Pancasila” berasal dari bahasa Sansekerta
dari India (bahasa kasta Brahmana) yaitu panca yang berarti
“lima” dan sila yang berarti “dasar”. Jadi secara harfiah,
“Pancasila” dapat diartikan sebagai “lima dasar”.
2. Sejarah Istilah Pancasila
Istilah
Pancasila telah dikenal sejak zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dimana sila-sila
yang terdapat dalam Pancasila itu sudah diterapkan dalam kehidupan masyarakat
maupun kerajaan meskipun sila-sila tersebut belum dirumuskan secara konkrit.
Menurut kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, Pancasila berarti “berbatu sendi
yang lima” atau “pelaksanaan kesusilaan yang lima”.
3. Pengertian Pancasila Menurut Para Ahli
Beberapa
pengertian Pancasila menurut para tokoh pendiri bangsa sebagai berikut.[9]
a. Muhammad Yamin
Pancasila
berasal dari kata Panca yang berarti lima dan Sila yang berarti sendi, atas,
dasar atau peraturan tingkah laku yang penting dan baik. Dengan demikian
Pancasila merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang tingkah
laku yang penting dan baik.
b. Notonegoro
Pancasila
adalah dasar falsafah negara indonesia, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa
Pancasila merupakan dasar falsafah dan ideologi negara yang diharapkan menjadi
pandangan hidup bangsa Indonesia sebagai dasar pemersatu, lambang persatuan dan
kesatuan serta sebagai pertahanan bangsa dan negara Indonesia.
c. Ir. Soekarno
Pancasila
adalah isi jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian abad lamanya
terpendam bisu oleh kebudayaan Barat. Dengan demikian, Pancasila tidak saja
falsafah negara, tetapi lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia.
C. ZAMAN PRA SEJARAH
Ahli Geologi menyatakan bahwa kepulauan Indonesia terjadi dalam
pertengahan Zaman Tersier, kira-kira 60 juta tahun silam. Baru pada Zaman
Quarter yang dimulai sekitar 600.000 tahun yang silam Indonesia didiami oleh
manusia berdasarkan fosil-fosil yang ditemukan. Berdasarkan artefak yang mereka
tinggalkan, mereka mengalami hidup tiga zaman yaitu: Paleolitikum, Mesolitikum,
Neolitikum. Pada masa pra sejarah tersebut, sebenarnya inti dari kehidupan
mereka adalah nilai-nilai Pancasila itu sendiri, yaitu :
1. Nilai Religious
Adanya sistem penguburan mayat diketahui dari ditemukannya kuburan
serta kerangka di dalamnya. Selain itu juga ditemukan alat-alat yang digunakan
untuk aktivitas religi seperti upacara mendatangkan hujan, dll. Adanya
keyakinan terhadap pemujaan roh leluhur juga dan penempatan menhir (kubur batu)
di tempat-tempat yang tinggi yang dianggap sebagai tempat roh leluhur, tempat
yang penuh keajaiban dan sebagai batas antara dunia manusia dan roh leluhur.
2. Nilai Perikemanusiaan
Tampak dalam perilaku kehidupan saat itu misalnya penghargaan
terhadap hakikat kemanusiaan yang ditandai dengan penghargaan yang tinggi
terhadap manusia meskipun sudah meninggal. Hal ini menggambarkan perilaku
berbuat baik terhadap sesama manusia, yang pada hakekatnya merupakan wujud
kesadaran akan nilai kemanusiaan. Mereka juga sudah mengenal sistem barter
antara kelompok pedalaman dengan pantai dan persebaran kapak. Selain itu mereka
juga menjalin hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Hal ini menandakan bahwa
mereka sudah bisa menjalin hubungan sosial.
3. Nilai Kesatuan
Adanya kesamaan bahasa Indonesia sebagai rumpun bahasa
Austronesia, sehingga muncul kesamaan dalam kosa kata dan kebudayaan. Hal ini
sesuai dengan teori perbandingan bahasa menurut H. Kern dan benda- benda kebudayaan
Pra Sejarah Von Heine Gildern. Kecakapan berlayar karena menguasai pengetahuan
tentang laut, musim, perahu, dan astronomi, menyebabkan adanya kesamaan
karakteristik kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu tidak mengherankan jika
lautan juga merupakan tempat tinggal selain daratan. Itulah sebabnya mereka
menyebut negerinya dengan istilah Tanah Air.
4. Nilai Musyawarah
Kehidupan bercocok tanam dilakukan secara bersama-sama. Mereka
sudah memiliki aturan untuk kepentingan bercocok tanam, sehingga memungkinkan
tumbuh kembangnya adat sosial. Kehidupan mereka berkelompok dalam desa-desa,
klan, marga atau suku yang dipimpin oleh seorang kepala suku yang dipilih
secara musyawarah berdasarkan Primus Interpares (yang pertama diantara
yang sama).
5. Nilai Keadilan Sosial
Dikenalnya pola kehidupan bercocok tanam secara gotong-royong
berarti masyarakat pada saat itu telah berhasil meninggalkan pola hidup
foodgathering menuju ke pola hidup foodproducing. Hal ini menunjukkan bahwa
pada saat itu upaya kearah perwujudan kesejahteraan dan kemakmuran bersama
sudah ada.
D.
ZAMAN KERAJAAN KUTAI
Menurut
Ismaun, Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M, dengan ditemukan
prasasti yang berjumlah tujuh buah yang berbentuk yupa (tiang batu).
Berdasarkan prasasti tersebut dapat diketahui bahwa Raja Mulawarman merupakan
keturunan dari Raja Aswawarman dan keturunan dari Raja Kudungga. Raja
Mulawarman menurut prasasti tersebut mengadakan kenduri dan memberikan kepada
para Brahmana dan para Brahmana membangun yupa itu sebagai tanda terima kasih
para Brahmana kepada Raja Mulawarman yang sangat dermawan. (Kaelan, 2014 : 20).
Masyarakat
Kutai yang membuka zaman sejarah Indonesia pertama kalinya dengan menampilkan
nilai-nilai sosial politik, dan ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri, serta
sedekah kepada para Brahmana.
Bentuk
kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat kewibawaan Raja ini tampak dalam
kerajaan yang muncil kemudian di pulau Jawa dan Sumatera.
E.
ZAMAN KERAJAAN SRIWIJAYA
Menurut
Mr. Muhammad Yamin bahwa berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak dapat
dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan dari nenek
moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga
tahap. Pertama, zaman kerajaan Sriwijaya di bawah Wangsa Syailendra (600-1400)
yang bercirikan kedatuan. Kedua, negara kebangsaan pada zaman kerajaan
Majapahit (1239-1525) yang bercirikan keprabuan, kedua tahap tersebut merupakan
negara kebangsaan Indonesia lama. Ketiga, negara kebangsaan modern yaitu negara
Indonesia merdeka yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
(Sekretariat Negara RI, 1995 : 11).
Pada
abad ke- VII muncullah sebuah kerajaan di daerah Sumatera yaitu kerajaan
Sriwijaya, dibawah kekuasaan wangsa Syailendra. Hal ini termuat dalam prasasti
Kedukan Bukit di kaki bukit Siguntang dekat Palembang Sumatera Selatan yang
bertahun 605 Caka atau 683 M dalam bahasa Melayu Kuno dan huruf Pallawa.
Kerajaan
Sriwijaya ini adalah kerajaan maritim yang mengandalkan kekuatan armada
lautnya. Kunci-kunci lalu lintas laut di sebelah barat dikuasainya seperti
Selat Sunda (686 M), kemudian Selat Malaka (775 M). Pada zaman itu, Kerajaan
Sriwijaya merupakan suatu kerajaan besar yang cukup disegani di kawasan Asia
Selatan. Perdagangan dilakukan dengan mempersatukan pedagang perajin dengan
pegawai kerajaan sehinggga rakyat mudah untuk memasarkan barang dagangannya.
(Keneth R. Hall, 1976 : 75-77).
Demikian
pula dalam sistem pemerintahannya terdapat pegawai pengurus pajak, harta benda
kerajaan, rohaniawan yang menjadi pengawas teknis pembangunan gedung-gedung dan
patung suci sehingga pada saat itu kerajaan dalam menjalankan sistem negaranya
tidak terlepas dari nilai Ketuhanan. (Suwarno, 1993 : 19).
Agama
dan kebudayaan dikembangkannya dengan mendirikan suatu universitas agama
Buddha, yang sangat terkenal di negara lain di Asia. Banyak para musafir dari
negara lain misalnya dari Cina yang belajar terlebih dahulu di universitas
tersebut terutama agama Buddha dan bahasa Sansekerta sebelum melanjutkan
studinya ke India. Malahan banyak guru-guru besar tamu dari India yang mengajar
di Sriwijaya misalnya Dharmakitri. Cita-cita tentang kesejahteraan bersama
dalam suatu negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya tersebut yaitu
berbunyi marvuat vanua Criwijaya siddhaya subhiksa yang berarti suatu
cita-cita negara yang adil dan makmur. (Sulaiman, tanpa tahun : 53).
Unsur-unsur yang
terdapat di dalam Pancasila yaitu: Ke-Tuhan-an, Kemanusiaan, Persatuan, Tata
Pemerintahan atas dasar musyawarah dan keadilan sosial telah terdapat sebagai
asas-asas yang menjiwai bangsa Indonesia, yang dihayati serta dilaksanakan pada
waktu itu, hanya saja belum dirumuskan secara konkret. Dokumen tertulis yang
membuktikan terdapatnya unsur-unsur tersebut ialah Prasasti-prasasti di Talaga
Batu, Kedukan Bukit, Karang Brahi, Talang Tuo dan Kota Kapur (Dardji
Darmodihardji, 1974 : 22-23).
Pada hakekatnya
nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah menunjukkan
nilkai-nilai Pancasila, yaitu :
·
Nilai Sila pertama,
terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu hidup berdampingan
secara damai. Pada kerajaan Sriwijaya terdapat pusat kegiatan pembinaan
dan pengembangan agama Budha.
·
Nilai Sila Kedua,
terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti Harsha). Pengiriman
para pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh nilai-nilai politik luar
negeri yang bebas dan aktif.
·
Nilai Sila Ketiga,
sebagai negara martitim, Sriwijaya telah menerapkan konsep negara kepulauan
sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara.
·
Nilai Sila
Keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas, meliputi
(Indonesia sekarang) Siam, semenanjung Melayu.
·
Nilai Sila Kelima,
Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan, sehingga kehidupan rakyatnya
sangat makmur.
F.
ZAMAN KERAJAAN-KERAJAAN SEBELUM KERAJAAN MAJAPAHIT
Sebelum
kerajaan Majapahit muncul sebagai sebuah kerajaan yang memancangkan nilai-nilai
nasionalisme, telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur
secara silih berganti. Keraja Holing pada abad ke- VII, Sanjaya pada abad ke-
VIII yang ikut membantu membantu candi Kalasan untuk Dewa Tara dan sebuah
wihara untuk pendeta Buddha didirikan di Jawa Tengah bersama dengan dinasti
Syailendra (abad ke- VII dan abad ke- IX). Refleksi
puncak dari Jawa Tengah dalam periode-periode kerajaan-kerajaan tersebut adalah
dibangunnya candi Borobudur (candi agama Buddha pada abad ke- IX), dan candi
Prambanan (candi agama Hindhu pada abad ke- X).
Selain kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah tersebut di Jawa Timur
muncullah kerajaan-kerajaan Isana (pada abad ke- IX), Darmawangsa (abad ke- X),
demikian juga kerajaan Airlangga pada abad ke- XI. Raja Airlangga membuat
bangunan keagamaan dan asrama, dan raja ini memiliki sikap toleransi dalam
beragama. Agama yang diakui oleh kerajaan adalah agama Buddha, agama Wisnu dan
agama Syiwa yang hidup berdampingan secara damai. (Toyibin, 1997 : 26).
Menurut prasasti Kelagen, Raja Airlangga telah mengadakan hubungan
dagang dan bekerja sama dengan Benggala, Chola dan Champa. Hal ini menunjukkan
nilai-nilai kemanusiaan. Demikian pula Airlangga mengalami penggemblengan lahir
dan batin di hutan dan tahun 1019 para pengikutnya, rakyat dan para Brahmana
bermusyawarah dan memutuskan untuk memohon Airlangga bersedia menjadi raja,
meneruskan tradisi istana, sebagai nilai-nilai sila keempat. Demikian pula
menurut prasasti Kelagen, pada tahun 1037, raja Airlangga memerintahkan untuk
membuat tanggul dan waduk demi kesejahteraan rakyat yang merupakan nilai-nilai
sila kelima. (Toyibin, 1997 : 28-29).
Di wilayah Kediri Jawa Timur berdiri pula kerajaan Singasari (pada
abad ke- XIII), yang kemudian sangat erat hubungannya dengan berdirinya
kerajaan Majapahit.
G. ZAMAN KERAJAAN MAJAPAHIT
Pada tahun 1293 berdirilah kerajaan Majapahit yang mencapai zaman
keemasannya pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan mahapatih Gajah Mada yang
dibantu oleh Laksamana Nala dalam memimpin armadanya untuk menguasai nusantara.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit semasa jayanya itu membentang dari
Semenanjung Melayu (Malaysia sekarang) sampai Irian Barat melalui Kalimantan Utara.
Pada waktu itu, agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan dengan
damai dalam satu kerajaan. Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365).
Dalam kitab tersebut telah terdapat istilah “Pancasila”. Empu Tantular
mengarang buku Sutasoma, dan di dalam buku itulah kita jumpai seloka persatuan
nasional yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang bunyi lengkapnya Bhinneka
Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua, artinya walaupun berbeda namun satu
jua adanya sebab tidak adanya agama yang dimiliki Tuhan yang berbeda.
Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada
dalam sidang Ratu dan Menteri-menteri di paseban keprabuan Majapahit pada tahun
1331, yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya sebagai
berikut: “Saya baru akan berhenti berpuasa makan pelapa, jikalau seluruh
Nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jikalau Gurun, Seram, Tanjung,
Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan.”.
(M. Yamin, 1960 : 60).
Dalam hubungannya dengan negara lain raja Hayam Wuruk mengadakan
hubungan bertetangga dengan baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayodya, Champa, dan
Kamboja. Majapahit menjulang dalam arena sejarah kebangsaan Indonesia dan
banyak meninggalkan nilai-nilai yang diangkat dalam nasionalisme negara
kebangsaan Indonesia 17 Agustus 1945. Kemudian disebabkan oleh faktor keadaan
dalam negeri sendiri seperti perselisihan dan perang saudara pada permulaan
abad ke- XV, maka sinar kejayaan Kerajaan Majapahit berangsur-angsur melalui
memudar dan akhirnya mengalami keruntuhan dengan “Sinar Hilang Kertaning Bumi”
pada permulaan abad ke- XVI (1520).
Pengamalan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu agama Hindu dan
Budhahidup berdampingan secara damai, Empu Prapanca menulis
Negarakertagama (1365) yang di dalamnya telah terdapat istilah “Pancasila”.
Empu Tantular mengarang buku Sutasoma dimana dalam buku itu tedapat seloka
persatuan nasional yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangrua”, artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak ada agama
yang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas beragama
saat itu. Seloka toleransi ini juga diterima oleh kerajaan Pasai di
Sumatera sebagai bagian kerajaan Majapihit yang telah memeluk agama Islam.
Sila
kemanusiaan telah terwujud, yaitu hubungan
raja Hayam Wuruk dengan baik dengan kerajaanTiongkok, Ayoda,
Champa dan Kamboja. Mengadakan persahabatan dengan negara-negara tetangga
atas dasar “ Mitreka Satata”.
Sebagai
perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan Indonesia telah terwujud
dengan keutuhan kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang
diucapkan oleh Gajah Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu dan
Menteri-menteri pada tahun 1331 yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh
nusantara raya yang berbunyi : Saya baru akan berhenti berpuasa makan
palapa, jika seluruh nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jika gurun,
Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah
dikalahkan (Muh. Yamin. 1960: 60).
Sila
Kerakyatan (keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah
dan mufakat yang dilakukan oleh sistim pemerintahan kerajaan Majapahit Menurut
prasasti Brumbung (1329) dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat
semacam penasehat kerajaan seperti Rakryan I Hino, I Sirikan dan
I Halu yang berarti memberikan nasehat kepada raja. Kerukuan dan
gotong royong dalam kehidupan masyarakat telah menumbuhkan adat bermusyawarah
untuk mufakat dalam memutuskan masalah bersama.
Sedangkan
perwujudan sila keadilan sosial adalah sebagai wujud dari
berdirinya kerajaan beberapa abad yang tentunya ditopang dengan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyatnya.
Berdasarkan
uraian diatas dapat kita fahami bahwa zaman Sriwijaya dan Majapahit
adalah sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam
mencapai cita-citanya.
H. ZAMAN PENJAJAHAN
Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad ke- XVI maka
berkembanglah agama Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersama dengan itu
berkembang pulalah Kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Demak, dan mulailah
berdatangan orang-orang Eropa di Nusantara,. Mereka itu antara lain orang
Portugis yang kemudian di ikuti oleh orang-orang Spanyol yang ingin mencari
pusat tanaman rempah-rempah.
Bangsa asing yang masuk ke Indonesia yang awalnya berdagang adalah
orang-orang bangsa Portugis. Namun lama kelamaan bangsa Portugis mulai
menunjukkan peranannya dalam bidang perdagangan yang meningkat menjadi praktek
penjajahan misalnya Malaka sejak tahun 1511 dikuasai oleh Portugis.
Pada akhir abad ke- XVI, bangsa Belanda datang juga ke Indonesia.
Untuk menghindarkan persaingan diantara mereka sendiri (Belanda) kemudian
mereka mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama Verenigde Oost
Indische Compagnie (VOC), yang dikalangan rakyat dikenal dengan istilah “Kompeni”.
Mataram dibawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) berupaya
mengadakan perlawananan dan penyerangan ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629,
walaupun tidak berhasil meruntuhkan namun Gubernur Jendral J. P. Coen tewas
dalam serangan Sultan Agung yang ke dua itu.
Beberapa saat setelah sultan Agung mangkat maka mataram menjadi
bagian kekuasaan kompeni. Di Makasar yang memiliki kedudukan yang sangat vital
berhasil juga dikuasai oleh Kompeni tahun 1667 dan timbullah perlawanan dari
rakyat Makasar di bawah Hasanudin. Menyusul pula wilayah Banten (Sultan Agung
Tirtoyoso) dapat di tundukkan pula oleh Kompeni pada tahun 1684. Perlawanan
Trunojoyo, Untung Suropati di Jawa Timur pada akhir abad ke- XVII, nampaknya
tidak mampu meruntuhkan kekuasaan Kompeni pada saat itu. Demikian Belanda pada
awalnya menguasai daerah-daerah yang strategis yang kaya akan hasil
rempah-rempah pada abad ke- XVII dan nampaknya semakin memperkuat kedudukannya
dengan didukung oleh kekuatan militer.
Pada abad itu sejarah mencatat bahwa Belanda berusaha dengan keras
untuk memperkuat dan mengintensifkan kekuasaan di Indonesia. Melihat
praktek-praktek penjajahan Belanda tersebut maka meledaklah perlawanan rakyat
di berbagai wilayah Nusantara, antara lain : Pattimura di Maluku (1817),
Baharudin di Palembang (1819), Imam Bonjol di Minangkabau (1821-1837). Pangeran
Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830), I Ketut Gusti Jelanntik, Panglima Polim,
Teuku Tjik di Tiro, Teuku Umar dalam Perang Aceh (1860), Anak Agung Made dalam
Perang Lombok (1894-1895), Sisingamangaraja XII di Tanah Batak (1900) dan masih
banyak perlawanan lainnya.
Penghisapan mulai memuncak ketika Belanda mulai menerapkan sistem
monopoli melalui tanam paksa (1830-1870) dengan memaksakan beban kewajiban
terhadap rakyat yang tidak berdosa.
Soekarno
pernah mengatakan “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Dari perkataan
tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang beragam bagi
kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero (106-43
SM) yang mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”, yang bermakna,
“sejarah memberikan kearifan”. Pengertian yang lebih umum yaitu “Sejarah
merupakan guru kehidupan”. Sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa
semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak
memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka
bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989: 64).
Cita-cita
ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh
cendekiawan-politisi Amerika Serikat, John Gardner, “No nation can achieve
greatness unless it believes in something, and unless that something has moral
dimensions to sustain a great civilization” (Tidak ada bangsa yang dapat
mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu
yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban
besar) (Madjid dalam Latif, 2011: 42).
Kuat dan
mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya
sepanjang masa. karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar “confirm and
deepen” identitas Bangsa Indonesia sepanjang masa. Sejak Pancasila
digali dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara, maka ia
membangunkan dan membangkitkan 2 identitas yang “tertidur” dan yang “terbius”
selama kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).
I. ZAMAN KEBANGKITAN NASIONAL
Pada abad ke- XX di panggung politik Internasional terjadilah
pergolakan kebangkitan Dunia Timur dengan suatu kesadaran akan kekuatan
sendiri. Partai Kongres di India dengan tokoh Tilak dan Gandhi, adapun di
Indonesia bergolaklah kebangkitan akan kesadaran berbangsa yaitu Kebangkitan
Nasional (1908) dipelopori oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Budi Utomonya.
Gerakan inilah yang merupakan awal gerakan Nasional untuk mewujudkan suatu
bangsa yang memiliki kehormatan akan kemerdekaan dan kekuasaannya sendiri.
Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 inilah yang
merupakan pergerakan Nasional, sehingga segera setelah itu muncullah
organisasi-organisasi pergerakan lainnya. Organisasi-organisasi pergerakan
nasional itu antara lain : Sarekat Dagang Islam (SDI) (1909), yang kemudian
dengan cepat mengubah bentuknya menjadi gerakan politik dengan mengganti
namanya menjadi Sarekat Islam (SI) tahun (1911) di bawah H.O.S. Cokroaminoto.
Berikutnya muncullah Indische Partij (1913), yang di pimpin oleh
Tiga Serangkai yaitu : Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat
(yang kemudian lebih di kenal dengan nama Ki Hajar Dewantoro), Partai ini sejak
awal menunjukkan keradikalannya, sehingga tidak dapat berumur panjang karena
pemimpinnya di buang di luar negeri (1913).
Dalam siuasi yang mengguncangkan itu muncullah Partai Nasional
Indonesia (PNI) pada tahun 1927 yang dipelopori oleh Soekarno, Cipto
Mangunkusumo, Sartono dan tokoh lainnya. Perjuangan Nasional Indonesia di titik
beratkan pada kesatuan nasional dengan tujuan Indonesia Merdeka. Tujuan itu
kemudian diikuti dengan tampilnya golongan pemuda yang tokoh-tokohnya antara
lain Muhammad Yamin, Wongsonegoro,
Kuncoro Purbopranoto, serta tokoh-tokoh muda lainnya. Perjuangan rintisan
kesatuan Nasional kemudian diikuti dengan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober
1928, satu bahasa, satu bangsa dan satu tanah air Indonesia. Lagu Indonesia
Raya pada saat ini pertama kali dikumandangkan dan sekaligus sebagai penggerak
kebangkitan kesadaran berbangsa.
Kemudian PNI oleh para pengikutnya dibubarkan, dan diganti
bentuknya dengan partai Indonesia dengan singkatan Partindo (1931). Kemudian
golongan Demokrat antara lain Moh. Hatta, dan St. Syahrir mendirikan PNI baru
yaitu Pendidikan Nasional Indonesia (1933), dengan semboyan Kemerdekaan
Indonesia harus dicapai dengan kekuatan sendiri.
J. ZAMAN SEBELUM PROKLAMASI
Sebagai realisasi janji dari Pemerintahan Jepang maka pada hari
ulang tahun Kaisar Hirohito tanggal 29 April 1945 Jepang memberi semacam hadiah
ulang tahun kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kedua dari pemerintahan Jepang
berupa kemerdekaan tanpa syarat. Tindak lanjutnya, pada tanggal 29 Mei 1945
dibentuk suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan
kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) atau Dokuritu Zyunbi Tioosakai.[10]
Pada hari itu juga di umumkan nama-nama ketua, wakil ketua serta
para anggota sebagai berikut.
Ketua : Dr.
K.R.T. Radjiman Wediodiningrat
Ketua Muda : Itibangase
Ketua Muda : R.P. Soeroso
Enam puluh anggota biasa
bangsa Indonesia tidak termasuk ketua dan ketua muda dan mereka kebanyakan
berasal dari Jawa, tetapi juga ada yang berasal dari Sumatera, Sulawesi,
Maluku, dan beberapa peranakan Eropa, Cina, dan Arab.
Sidang BPUPKI I dilakukan untuk menentukan dasar Negara Indonesia.
Sidang berlangsung selama empat hari, berturut-turut yang tampil untuk
berpidato menyampaikan usulannya adalah sebagai berikut :
a. Mr. Muh Yamin (29 Mei 1945)
Dalam pidatonya 29 Mei 1945, Muhammad Yamin mengusulkan calon
rumusan dasar negara Indonesia sebagai berikut :
·
Peri Kebangsaan
·
Peri Kemanusiaan,
·
Peri Ketuhanan,
·
Peri Kerakyatan (Permusyawaratan,
Perwakilan, Kebijaksanaan)
·
Kesejahteraan Rakyat (Keadilan
Sosial).
b. Prof. Dr. Soepomo (31 Mei 1945)
Prof. Dr. Soepomo mengemukakan teori-teori sebagai berikut.
·
Teori negara perseorangan (Individualis).
·
Paham negara kelas (Class Theory)
·
Paham negara Integralistik,
yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muler Hegel (Abad ke- 18 dan 19).
Selanjutnya dalam kaitannya dengan dasar filsafat negara Indonesia
Soepomo mengusulkan hal-hal mengenai kesatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir
dan batin, musyawarah, keadilan rakyat.
c. Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
Usulan dasar negara dalam sidang BPUPKI I berikutnya adalah pidato
dari Ir. Soekarno yang disampaikan lisan tanpa teks. Beliau mengusulkan dasar
negara yang terdiri atas lima prinsip yang rumusannya adalah sebagai berikut.
·
Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
·
Internasionalisme (Peri
Kemanusiaan)
·
Mufakat (Demokrasi)
·
Kesejahteraan Sosial
·
Ketuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan
Yang Berkebudayaan)
Beliau juga mengusulkan bahwa pancasila adalah sebagai dasar
filsafat negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Soekarno mengemukakan
dasar-dasar sebagai berikut: Sekarang banyaknya prinsip yaitu Kebangsaan,
Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan, dan Ketuhanan, lima bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang
teman kita ahli bahasa namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar,
dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan
abadi.
Oleh karena itu, ditetapkan pada tanggal 1 Juni 1945 ditetapkan
sebagai hari lahir Pancasila.
Sidang BPUPKI kedua (10-16 Juni 1945)
Dalam
sidang BPUPKI kedua ini pemakaian istilah hukum dasar diganti dengan istilah
Undang Undang Dasar. Keputusan penting dalam rapat ini adalah tentang bentuk
negara republik dan luas wilayah negara baru. Tujuan anggota badan penyelidik
adalah menghendaki Indonesia Raya yang sesungguhnya, yang mempersatukan semua
kepulauan Indonesia. Susunan Undang Undang Dasar yang diusulkan terdiri atas
tiga bagian yaitu:
o Pernyataan Indonesia merdeka, yang berupa dakwaan dimuka dunia atas
Penjajahan Belanda
o Pembukaan yang didalamnya terkandung dasar negara Pancasila
o Pasal-pasal Undang Undang Dasar.
K. ERA KEMERDEKAAN
Kemenangan
sekutu dalam perang dunia membawa hikmah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal 9
Agustus 1945 Jendral Terauci memberikan tiga cap kepada Ir. Soekarno yaitu:
o
Soekarno diangkat sebagai
Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan, Moh. Hatta sebagai Wakil Ketua, Radjiman
sebagai anggota.
o
Panitia persiapan sudah
mulai bekerja pada tanggal 9Agustus1945.
o
Cepat atau tidak
pekerjaan panitia diserahkan sepenuhnya oleh panitia.
Panitia persiapan
kemerdekaan menyelenggarakan Undang Undang Dasar Negara republik Indonesia dan
memilih presiden dan wakil presiden yang pada hakikatnya sebagai komite
nasional memiliki sifat representatif, atau bersifat perwakilan seluruh rakyat
Indonesia. Panitia persiapan kemerdekaan Indonesia merupakan badan bentukan
Jepang, setelah Jepang jatuh badan berubah menjadi badan nasional.
Era kemerdekaan dimulai dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945.
Secara ilmiah proklamasi kemerdekaan dapat mengandung pengertian
sebagai berikut.
·
Dari sudut ilmu hukum proklamasi
merupakan saat tidak berlakunya tertib hukum kolonial, dan saat mulai
berlakunya tertib hukum nasional.
·
Secara politis ideologi proklamasi
mengandung arti bahwa bangsa Indonesia terbatas nasib sendiri dalam suatu
Negara Proklamasi Republik Indonesia.
Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945
Perbedaan pendapat
antara golongan tua dan golongan muda membuat diamankannya Ir. Soekarno dan
Moh. Hatta ke Rengas Dengklok agar tidak dapat pengaruh dari Jepang. Setelah
diadakan pertemuan di Pejambon Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945 diperoleh
kepastian bahwa Proklamasi kemerdekaan akan tetap dilaksanakan di Jakarta,
untuk mempersiapkan proklamasi tersebut Soekarno-Hatta pergi ke rumah Laksamana
Maeda untuk merumuskan naskah proklamasi dan pada akhirnya konsep Soekarno yang
diterima dan diketik oleh Sayuti Melik. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945
di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tepat pada hari Jum’at Legi jam 10.00 WIB, Bung
Karno dengan didampingi oleh Bung Hatta membacakan naskah Proklamasi
Sidang PPKI
a. Sidang PPKI pertama (18 Agustus 1945)
Pada sidang pertama ini PPKI menghasilkan suatu kesepakatan tentang naskah
pembukaan Undang Undang Dasar 1945, memilih presiden dan wakil presiden
pertama.
b. Sidang PPKI kedua (19 Agustus 1945)
Sidang PPKI yang kedua menentukan tentang daerah propinsi dengan pembagian
dareah propinsi Jawa, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil.
c. Sidang PPKI ketiga (20 Agustus 1945)
Pada sidang ketiga PPKI dilakukan pembahasan terhadap agenda tentang Badan
Penolong Korban Perang. Adapun keputusan yang dihasilkan adalah terdiri atas
delapan pasal, salah satu dari delapan pasal tersebut yaitu : pasal 2
dibentuklah suatu badan yang disebut Badan Keamanan Rakyat (BKR).
d. Sidang PPKI keempat (22 Agustus 1945)
Pada sidang keempat PPKI membahas agenda tentang Komite Nasional Partai
Nasional Indonesia, yang pusatnya berkedudukan di Jakarta.
Setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 ternyata bangsa Indonesia masih menghadapi kekuatan
sekutu yang berupaya menanamkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia, yaitu
pemaksaan untuk mengakui pemerintahan Nica (Netherland Indies
Civil Administration). Selain itu Belanda secara licik mempropagandakan
kepada dunia luar bahwa negara Proklamasi RI hadiah pasis Jepang.
Untuk melawan
propaganda Belanda pada dunia internasional, maka pemerintah RI mengelurkan
tiga buah maklumat :
·
Maklumat Wakil Presiden
No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang menghentikan kekuasaan luar biasa dari
Presiden sebelum masa waktunya (seharusnya berlaku selama enam bulan).
·
Maklumat pemerintah
tanggal 03 Nopember 1945, tentang pembentukan partai politik yang sebanyak
–banyaknya oleh rakyat.
·
Maklumat pemerintah
tanggal 14 Nopember 1945, yang intinya maklumat ini mengubah sistem kabinet
Presidental menjadi kabinet parlementer berdasarkan asas demokrasi liberal.
Kemudian tanggal 18 Agustus pada rapat PPKI, ditetapkan UUD 1945
dan Presiden serta Wakilnya. Sesudah itu dimulailah pergolakan politik dalam
negeri seperti berikut ini.
1.
Pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
Sebagai hasil dari konferensi meja bundar (KMB) maka ditanda
tangani suatu persetujuan (Mantel resolusi) oleh Ratu Belanda Yuliana
dan Wakil Pemerintah RI di Kota Den Haag pada tanggal 27 Desember 1949, maka
berlaku pulalah secara otomatis anak-anak persetujuan hasil KMB lainnya dengan
konstitusi RIS, antara lain:
·
Konstitusi RIS menentukan bentuk
negara serikat (federalis) yaitu 16 Negara. (Pasal 1 dan 2)
·
Konstitusi RIS menentukan sifat
pemerintah berdasarkan asas demokrasi liberal dimana mentri-mentri bertanggung
jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah terhadap parlemen (Pasal 118 Ayat
2).
·
Mukadimah RIS telah menghapuskan
sama sekali jiwa dan semangat maupun isi pembukaan UUD 1945, proklamasi kemerdekaan
sebagai naskah Proklamasi yang terinci.
Sebelum persetujuan KMB, bangsa Indonesia telah memiliki
kedaulatan, oleh karena itu persetujuan 27 Desember 1949 tersebut bukannya
penyerahan kedaulatan melainkan “pemulihan kedaulatan” atau “pengakuan kedaulatan”.
2.
Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1950
Berdirinya negara RIS dalam Sejarah ketatanegaraan Indonesia
adalah sebagai suatu taktik secara politis untuk tetap konsisten terhadap
deklarasi Proklamasi yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yaitu negara
persatuan dan kesatuan sebagaimana termuat dalam alinea IV, bahwa Pemerintah
Negara “..... yang melindungi segenap
bangsa Indoneia dan seluruh tumpah darah negara Indonesia .....” yang
berdasarkan kepada UUD 1945 dan Pancasila. Maka terjadilah gerakan unitaristis
secara spontan dan rakyat untuk membentuk negara kesatuan yaitu menggabungkan
diri dengan Negara Proklamasi RI yang berpusat di Yogyakarta, walaupun pada
saat itu Negara RI yang berpusat di Yogyakarta itu hanya berstatus sebagai
negara bagian RIS saja.
Pada suatu ketika negara bagian dalam RIS tinggalah 3 buah negara
bagian saja yaitu Negara Bagian RI Proklamasi, Negara Indonesia Timur (NIT),
dan Negara Sumatera Timur (NST).
Akhirnya berdasarkan persetujuan RIS dengan Negara RI tanggal 19
Mei 1950, maka seluruh negara bersatu dalam negara kesatuan, dengan Konstitusi
Sementara yang berlaku sejak 17 Agustus 1950.
Walaupun UUDS 1950 telah merupakan tonggak untuk menuju cita-cita
Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945, namun kenyataannya masih berorientasi
kepada Pemerintah yang berasas Demokrasi Liberal sehingga isi maupun jiwanya
merupakan penyimpangan terhadap Pancasila. Hal ini disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut :
·
Sistem multi partai dan kabinet
Parlementer berakibat silih bergantinya kabinet yang rata-rata hanya berumur 6
atau 8 tahun. Hal ini berakibat tidak mempunyai pemerintah yang menyusun
program serta tidak mampu menyalurkan dinamika Masyarakat ke arah pembangunan,
bahkan menimbulkan pertentangan-pertentangan, gangguan-gangguan keamanan serta
penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat.
·
Secara Ideologis Mukadimah
Konstitusi Sementara 1950, tidak berhasil mendekati perumusan otentik Pembukaan
UUD 1945, yang dikenal sebagai Declaration of Independence Bangsa
Indonesia. Demikian pula perumusan Pancasila dasar negara juga terjadi
penyimpangan. Namun bagaimanapun juga RIS yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 dari negara Republik Indonesia Serikat.
Pada akhir era ini, terjadi pergolakan politik yang tidak
berujung. Hal inilah yang mendorong Presiden Soekarno megeluarkan Dekrit
Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.
3. Dekrit Presiden 05 Juli 1959
Pada pemilu tahun 1955 dalam kenyataannya tidak dapat
memenuhi harapan dan keinginan masyarakat, bahkan mengakibatkan ketidakstabilan
pada politik, sosial, ekonomi dan hukum. Hal ini disebabkan oleh konstituante
yang seharusnya membuat UUD negara RI ternyata membahas kembali dasar negara,
maka presiden sebagai badan yang harus bertanggung jawab mengeluarkan dekrit
atau pernyataan pada tanggal 5 Juli 1959, yang isinya :
o Membubarkan Konstituante
o Menetapkan kembali UUD 45 dan tidak berlakunya kembali UUD 50
o Dibentuknya MPR dan DPR dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
Berdasarkan Dekrit Presiden tersebut maka UUD 1945
berlaku kembali di negara Republik Indonesia hingga saat ini. Dekrit adalah
suatu putusan dari orang tertinggi (kepala negara atau orang lain) yang
merupakan penjelmaan kehendak yang sifatnya sepihak. Dekrit dilakukan bila
negara dalam keadaan darurat, keselamatan bangsa dan negara terancam oleh
bahaya. Landasan hukum dekrit adalah “Hukum Darurat” yang dibedakan atas dua
macam yaitu :
a. Hukum Tatanegara Darurat Subjektif
Hukum Tatanegara
Darurat Subjektif yaitu suatu keadaan hukum yang memberi wewenang kepada orang
tertinggi untuk mengambil tindakan-tindakan hukum.
b. Hukum Tatanegara Darurat Objektif
Hukum Tatanegara
Darurat Objektif yaitu suatu keadaan hukum yang memberikan wewenang kepada
organ tertinggi negara untuk mengambil tindakan-tindakan hukum, tetapi
berlandaskan konstitusi yang berlaku.
Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959 keadaan tatanegara Indonesia mulai
stabil, keadaan ini dimanfaatkan oleh kalangan komunis dengan menanamkan
ideologi yang belum selesai. Ideologi pada saat itu dirancang oleh PKI dengan
ideologi Manipol Usdek serta konsep Nasakom. Puncak peristiwa pemberontakan PKI
pada tanggal 30 September 1965 untuk merebut kekuasaan yang sah negara RI,
pemberontakan ini disertai dengan pembunuhan para Jendral yang tidak berdosa.
Pemberontakan PKI tersebut berupaya untuk mengganti secara paksa ideologi dan
dasar filsafat negara Pancasila dengan ideologi komunis Marxis. Atas dasar
tersebut maka pada tanggal 1 Oktober 1965 diperingati bangsa Indonesia sebagai
“Hari Kesaktian Pancasila”.
L. ERA ORDE LAMA
Era Orde Lama ditandai dengan dikeluarkannya dekrit Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959. Pada masa itu berlaku demokrasi terpimpin. Setelah
menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno meletakkan dasar
kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi terimpin yaitu demokrasi khas
Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam prakteknya tidak sesuai dengan makna yang
terkandung didalamnya dan bahkan terkenal menyimpang. Dimana demokrasi dipimpin
oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah
sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD 1945 pada
masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena
penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan
lemahnya kontrol yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan.
Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang
berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanaan dan kehidupan ekonomi makin
memburuk puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G30S/PKI
yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.
Mengingat keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden
RI memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret
1969 (Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi
terjaminnya keamanaan, ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan jalannya
pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru.
M. ERA ORDE BARU
Setelah
jatuhnya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal Soeharto yang
memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi kepresidenan
tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki. Pada
peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan,
“Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita
mempertahankan Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan,
“Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila
bukan dasar falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD,
melainkan Pancasila harus diamalkan (Setiardja, 1994: 5).
Pancasila
dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan
ritual. Begitu kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1
Juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup
bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada
pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari
Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42). Selanjutnya
pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12
tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar
negara, yaitu:
Satu :
Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa
Dua :
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga :
Persatuan Indonesia
Empat :
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan
Lima :
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Instruksi Presiden
tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada tanggal 22 Maret 1978
dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) Pasal 4 menjelaskan,
“Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila merupakan penuntun dan pegangan
hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga
negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan
dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara
bulat dan utuh”.
Nilai dan norma-norma
yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya
Pancakarsa) tersebut meliputi 36 butir, yaitu :
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
·
Percaya dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masingmasing
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
·
Hormat-menghormati dan
bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang
berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
·
Saling menghormati
kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
·
Tidak memaksakan suatu
agama dan kepercayaan kepada orang lain.
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
·
Mengakui persamaan
derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
·
Saling mencintai sesama
manusia.
·
Mengembangkan sikap
tenggang rasa dan teposeliro.
·
Tidak semena-mena
terhadap orang lain.
·
Menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan.
·
Gemar melakukan
kegiatan kemanusiaan.
·
Berani membela
kebenaran dan keadilan.
·
Bangsa Indonesia merasa
dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap
hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
3. Sila Persatuan Indonesia
·
Menempatkan persatuan,
kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan
pribadi dan golongan.
·
Rela berkorban untuk
kepentingan bangsa dan negara.
·
Cinta tanah air dan
bangsa.
·
Bangga sebagai bangsa
Indonesia dan bertanah air Indonesia.
·
Memajukan pergaulan
demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
·
Mengutamakan
kepentingan negara dan masyarakat.
·
Tidak memaksakan
kehendak kepada orang lain.
·
Mengutamakan musyawarah
dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
·
Musyawarah untuk
mencapai mufakat diliputi olehsemangat kekeluargaan.
·
Dengan itikad baik dan
rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
·
Musyawarah dilakukan
dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
·
Keputusan yang diambil
harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan
·
Yang Maha Esa,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan
keadilan.
5. Sila Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia
·
Mengembangkan
perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
·
Kekeluargaan dan
kegotong-royongan.
·
Bersikap adil.
·
Menjaga keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
·
Menghormati hak-hak
orang lain.
·
Suka memberi
pertolongan kepada orang lain.
·
Menjauhi sikap
pemerasan terhadap orang lain.
·
Tidak bersifat boros.
·
Tidak bergaya hidup
mewah.
·
Tidak melakukan
perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
·
Suka bekerja keras.
·
Menghargai hasil karya
orang lain.
·
Bersama-sama mewujudkan
kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada
tahun 1994 disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4.
Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir;
Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir;
Sila Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas)
butir. Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangundangan di negara
Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini
menegaskan, “Amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan
pengamalan Pancasila secara paripurna dalam segala segi kehidupan kenegaraan
dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa serta
ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu
negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam pembukaan
UUS 1945” (Ali, 2009: 37).
Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak reinforcing oleh
pemerintah dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila.
Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara
keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya Orba tidak akan
mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan diperkuat sebagai comparatist
ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru merasa perlu
membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak seorang pun
warga negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.),
2010: 43).
Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan
“Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal, bahwa
setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa
(Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44). Dengan semakin terbukanya
informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada akhir 1990-an
yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer mengkritik praktek
pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter, represif, korup dan
manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian
kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei
1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010: 45).
Era Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa
pemerintahan yang terlama, dan bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan
yang paling stabil. Stabil dalam artian tidak banyak gejolak yang mengemuka,
layaknya keadaan dewasa ini. Stabilitas yang diiringi dengan maraknya
pembangunan di segala bidang. Era pembangunan, Era penuh kestabilan,
menimbulkan romantisme dari banyak kalangan.
Di Era Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta
tidak lepas dari keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah
untuk semakin menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu
diagung-agungkan; Pancasila begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya
kepada rakyat; dan rakyat tidak memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal.
Menurut Hendro Muhaimin bahwa Pemerintah di Era Orde Baru sendiri
terkesan “menunggangi” Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara
sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Disamping hal tersebut,
penanaman nilai-nilai Pancasila di Era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik
dalam kehidupan sosial rakyat Indonesia. Kepedulian antarwarga sangat kental,
toleransi di kalangan masyarakat cukup baik, dan budaya gotong-royong sangat
dijunjung tinggi. Selain penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari
penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi, yang
menyatakan bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, baik itu organisasi
masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan sebagainya haruslah mengunakan
Pancasila sebagai asas utamanya.
Di Era Orde Baru, terdapat kebijakan Pemerintah terkait penanaman
nilai-nilai Pancasila, yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Materi penataran P4 bukan hanya Pancasila, terdapat juga materi lain seperti
UUD 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Wawasan Nusantara, dan materi
lain yang berkaitan dengan kebangsaan, Nasionalisme dan Patriotisme. Kebijakan
tersebut disosialisaikan pada seluruh komponen bangsa sampai level bawah
termasuk penataran P4 untuk siswa baru Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah
Menengah Atas (SMA), yang lalu dilanjutkan di Perguruan Tinggi hingga di
wilayah kerja. Pelaksanaannya dilakukan secara menyeluruh melalui Badan
Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7)
dengan metode indoktrinasi.
Visi Orde Baru pada saat itu adalah untuk mewujudkan tatanan
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen.
Sejalan dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila
dan UUD 1945 menjadi semacam senjata bagi pemerintahan Orde Baru dalam hal
mengontrol perilaku masyarakat. Seakan-akan ukurannya hanya satu: sesuatu
dianggap benar kalau hal tersebut sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya
dianggap salah kalau bertentangan dengan kehendaknya. Sikap politik masyarakat
yang kritis dan berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya malah dengan
mudahnya dikriminalisasi.
Penanaman nilai-nilai Pancasila pada saat itu dilakukan tanpa
sejalan dengan fakta yang terjadi di masyarakat, berdasarkan perbuatan
pemerintah. Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam
kehidupan masyarakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat.
Sebab setiap ungkapan para pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan tidak
disertai dengan keteladanan serta tindakan yang nyata, sehingga banyak
masyarakat pun tidak menerima adanya penataran yang tidak dibarengi dengan
perbuatan pemerintah yang benar-benar pro-rakyat.
Pada Era Orde Baru sebagai era “dimanis-maniskannya” Pancasila.
Secara pribadi, Soeharto sendiri seringkali menyatakan pendapatnya mengenai
keberadaan Pancasila, yang kesemuanya memberikan penilaian setinggi-tingginya
terhadap Pancasila. Ketika Soeharto memberikan pidato dalam Peringatan Hari Lahirnya
Pancasila, 1 Juni 1967. Soeharto mendeklarasikan Pancasila sebagai suatu force
yang dikemas dalam berbagai frase bernada angkuh, elegan, begitu superior.
Dalam pidato tersebut, Soeharto menyatakan Pancasila sebagai “tuntunan hidup”,
menjadi “sumber tertib sosial” dan “sumber tertib seluruh perikehidupan”, serta
merupakan “sumber tertib negara” dan “sumber tertib hukum”. Kepada pemuda
Indonesia dalam Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1974, Soeharto menyatakan,
“Pancasila janganlah hendaknya hanya dimiliki, akan tetapi harus dipahami dan
dihayati!” Dapat dikatakan tidak ada yang lebih kuat maknanya selain Pancasila
di Indonesia, pada saat itu, dan dalam Era Orde Baru.
Meskipun dianggap Pancasila hal yang paling luhur dan
diagung-agungkan, pada tahun-tahun akhir pemerintahan Presiden Soeharto malah
banyak timbul KKN dan meningkatnya inflasi. Hutang Indonesia semakin banyak dan
ekonomi pun terpuruk. Puncaknya yaitu Mei 1998 yang akhirnya menyebabkan
Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh wakilnya B.J. Habibie.
Meskipun pada awalnya Pancasila begitu diagung-agungkan, dan masa
Orde Baru ini menunjukkan kinerja positif, tetapi lama kelamaan hanya menjadi
alat untuk orang yang berkepentingan. Sehingga Indonesia mencapai masa terburuk
pada tahun 1998. Peristiwa lengsernya Soeharto membawa Indonesia pada Era
Reformasi.
N. ERA REFORMASI
Memahami peran Pancasila di Era Reformasi, khususnya dalam konteks
sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar
setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya
memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi
kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar
negara ia sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara
hukum, setiap perbuatan baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat
harus berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam
kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya.
Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila Pancasila. Substansi produk hukumnya tidak bertentangan dengan
sila-sila pancasila.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik
mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia
merdeka di implementasikan sebagai berikut :
·
Penerapan dan pelaksanaan keadilaan
sosial mencakup keadilan politik, agama, dan ekonomi dalam kehidupan
sehari-hari.
·
Mementingkan kepentingan rakyat/
demokrasi dalam pengambilan keputusan.
·
Melaksanakan keadilaan sosial dan
penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan.
·
Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan
keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.
·
Nilai-nilai keadilan, kejujuran,
dan toleransi bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila sebagai paradigma nasional bidang ekonomi mengandung
pengertian bagaimana suatu falsafah itu diimplementasikan secara riil dan
sistematis dalam kehidupan nyata.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan
mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan, dimana
pembangunan kebudayaan sebagai sarana pengikat persatuan dalam masyarakat
majemuk.
Oleh karena itu semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan UUD
1945 yang menyangkut pembangunan kebudayaan bangsa hendaknya menjadi prioritas,
karena kebudayaan nasional sangat diperlukan sebagai landasan media sosial yang
memperkuat persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa
persatuan.
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hankam, maka paradigma baru TNI terus diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran sosial politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem nasional.
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hankam, maka paradigma baru TNI terus diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran sosial politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem nasional.
Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, dengan memasuki
kawasan filsafat ilmu (Philosophy of Science) ilmu pengetahuan yang
diletakkan diatas pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah
penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistomologis, dan aksiologis.
Ontologis, yaitu bahwa hakikat ilmu pengetahuan aktivitas manusia yang tidak
mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan
kenyataan. Ilmu pengetahuan harus dipandang secara utuh, dalam dimensinya
sebagai proses menggambarkan suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang melalui
abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi
dan eksplorasi mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk,
adanya hasil yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah
beserta aplikasinya yang berwujud fisik ataupun non fisik. Epistimologi, yaitu
bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijadikan metode
berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah didalam pengembangan ilmu
pengetahuan yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil-hasil yang
dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri.
Aksilogis, yaitu bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut diatas,
pemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan
dengan Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal
Pancasila.
Dunia masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan secara
cepat, mendasar, spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda
seluruh penjuru dunia, khususnya di abad ke- XXI sekarang ini, bersamaan arus
reformasi yang sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah merombak
semua segi kehidupan secara mendasar, maka semakin terasa orgensinya untuk
menjadi Pancasila sebagai dasar negara dalam kerangka mempertahankan jati diri
bangsa dan persatuan dan kesatuan nasional, lebih-lebih kehidupan perpolitikan
nasional yang tidak menentu di era reformasi ini. Berdasarkan hal tersebut
diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi Pancasila sebagai dasar
negara yang mengandung makna Pancasila harus diletakkan dalam keutuhannya
dengan Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat
padanya.
Realitasnya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya
dikonkritisasikan sebagai ceminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat “sein im sollen
dan sollen im sein”.
Idealitasnya bahwa idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah
sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobyektifitasikan sebagai akta kerja
untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat
hari depan secara prospektif.
Fleksibilitasnya dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi
yang sudah selesai dan dalam kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan terbuka
bagi tafsi-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus menerus
berkembang, dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi
tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai penyangga bagi kehidupan bangsa
dan negara.
Di Era Reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan
mempengaruhi dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada
masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan
implementasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab
utamannya karena rezim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai
alat kekuasaan yang otoriter.
Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari
berdirinya bangsa ini, yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah
pendekatan-pendekatan yang lebih konseptual, komprehensif, konsisten,
integratif, sederhana dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Pancasila
yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat
pelaksana Negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik.
Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka
timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa,
cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya
“reformasi” di segala bidang politik, ekonomi dan hukum (Kaelan, 2000: 245).
Saat
Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara itu untuk
sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde
Baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber
nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha tahu mana yang benar dan mana yang
salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui indoktrinasi
(Ali, 2009: 50).
Dengan
seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya
memang tidak nampak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari
dampaknya makin terasa dan berdampak sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa
dan bernegara Indonesia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali
atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik horisontal dan vertikal secara
masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa
dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya, kesadaran masyarakat atas keluhuran
budaya bangsa Indonesia mulai luntur, yang pada akhirnya terjadi disorientasi
kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi muda.
Dalam
bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai sektor diperparah
lagi dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang
politik, terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik
seolah-olah hanya tertuju pada kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari
itu, aktivitas politik hanya sekedar merupakan libido dominandi atas
hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas memperjuangkan
kepentingan nasional yang pada akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan
bernegara seperti dewasa ini (Hidayat, 2012).
Namun
demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara
normatif, tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR NomorXVIII/MPR/1998
Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD
1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan
ini terus dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan menghadapi
Amandeman Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Selain
kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum
yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang
menyebutkan, “Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang
tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia,
dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945”.
Semakin
memudarnya Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
membuat khawatir berbagai lapisan elemen masyarakat. Oleh sebab itu, sekitar
tahun 2004 Azyumardi Azra menggagas perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai
faktor integratif dan salah satu fundamen identitas nasional. Seruan demikian
tampak signifikan karena proses amandeman UUD 1945 saat itu sempat memunculkan
gagasan menghidupkan kembali Piagam Jakarta (Ali, 2009: 51).
Selain
keadaan di atas, juga terjadi terorisme yang mengatasnamakan agama. Tidak lama
kemudian muncul gejala Perda Syariah disejumlah daerah. Rangkaian gejala
tersebut seakan melengkapi kegelisahan publik selama reformasi yang
mempertanyakan arah gerakan reformasi dan demokratisasi. Seruan Azyumardi Azra
direspon sejumlah kalangan. Diskursus tentang Pancasila kembali menghangat dan
meluas usai Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila yang diselenggarakan
FISIP-UI pada tanggal 31 Mei 2006 (Ali, 2009: 52).
Sekretariat
Wapres Republik Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara intensif melakukan
diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Tahun
2009 Dirjen Dikti, juga membentuk Tim Pengkajian Pendidikan Pancasila di
Perguruan Tinggi. Sementara itu, beberapa perguruan tinggi telah menyelenggarakan
kegiatan sejenis, yaitu antara lain: Kongres Pancasila di Universitas Gadjah
Mada, Simposium Nasional Pancasila dan Wawasan Kebangsaan di Universitas
Pendidikan Indonesia, dan Kongres Pancasila di Universitas Udayana. Lebih dari
itu MPR-RI melakukan kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang dikenal
dengan sebutan “Empat Pilar Kebangsaan”, yang terdiri dari: Pancasila,
Undang-Undang Dasar tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika.
Akan
tetapi, istilah “Empat Pilar Kebangsaan” ini menurut Kaelan (2012: 249-252)
mengandung; 1) linguisticmistake (kesalahan linguistik) atau dapat
pula dikatakan kesalahan terminologi; 2) ungkapan tersebut tidak mengacu pada
realitas empiris sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa, melainkan
mengacu pada suatu pengertian atau ide, ‘berbangsa dan bernegara’ itu
dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar); 3) kesalahan kategori (category
mistake), karena secara epistemologis kategori pengetahuan Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama. Ketidaksamaan itu berkaitan
dengan realitas atau hakikat pengetahuannya, wujud pengetahuan, kebenaran
pengetahuannya serta koherensi pengetahuannya.
Selain
TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk mensosialisasikan kembali Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menyebutkan dalam penjelasan Pasal 2 bahwa: Penempatan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea
keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis
negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Hal
tersebut berkorelasi bahwa Undang-Undang ini penekanannya pada kedudukan
Pancasila sebagai dasar negara. Sudah barang tentu hal tersebut tidak cukup.
Pancasila dalam kedudukannya sebagai pandangan hidup bangsa perlu dihayati dan
diamalkan oleh seluruh komponen bangsa. Kesadaran ini mulai tumbuh kembali,
sehingga cukup banyak lembaga pemerintah di pusat yang melakukan kegiatan
pengkajian sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Salah satu kebijakan nasional
yang sejalan dengan semangat melestarikan Pancasila di kalangan mahasiswa
adalah Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
yang menyatakan bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat mata kuliah
Agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia.
Makna
penting dari kajian historis Pancasila ini ialah untuk menjaga eksistensi
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu seluruh komponen bangsa harus
secara imperatif kategoris menghayati dan melaksanakan Pancasila baik sebagai
Dasar Negara maupun sebagai Pandangan Hidup Bangsa, dengan berpedoman kepada
nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dan secara konsisten menaati ketentuan-ketentuan
dalam pasal-pasal UUD 1945.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan kenyataan tersebut maka untuk memahami
Pancasila secara lengkap dan utuh tertama dalam kaitannya dengan jati diri
bangsa indonesia. Secara epistemologis sekaligus sebagai pertanggung jawaban
Ilmiah, bahwa Pancasila selain sebagai dasar negara Indonesia juga sebagai
pandangan hidup bangsa, jiwa dan kepribadian bangsa serta sebagai perjanjian
luruh bangsa indonesia pada waktu mendirikan negara.
Keputusan-keputusan lain adalah untuk membentuk panitia
kecil yaitu: (1) Panitia Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai Ir.
Soekarno, (2) Panitia Ekonomi dan Keuangan yang diketuai Drs. Moh. Hatta, (3)
Panitia Pembelaan Tanah Air diketuai oleh Abikusno Tjokrosoejoso.
Nilai-nilai Pancasila diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para
pendiri negara dan dijadikan sebagai dasar negara RI. Proses cara formal
tersebut di lakukan dalam sidang-sidang BPUPKI pertama, bidang panitia 9,
sidang BPUPKI kedua, serta akhirnya disahkan secara yuridis sebagai dasar
negara RI. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia ini membentuk negara yang sangat
erat kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia. Ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan serta keadilan. Dalam kenyataannya secara objektif telah
di miliki oleh bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Isi Tritura sebagai berikut:
o Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya
o Pembersihan kabinet dari unsure-unsur G30S PKI
o Penurunan harga
B.
KRITIK DAN SARAN
Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan pemilihan kata dalam pembuatan
makalah ini. Oleh karena itu, penulis mohon sumbangan pemikiran dalam perbaikan
makalah ini yang bersifat membangun sehingga makalah ini dapat dipahami oleh
seluruh kalangan, baik akademisi atau umum.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan, M.S., Prof. Dr. 2014. Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta : Penerbit Paradigma
Kaelan, M.S., Prof. Dr. 2010. Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta : Penerbit Paradigma
Hartono, Drs. 1992. Pancasila
(Ditinjau dari Segi Historis). Jakarta : PT. Rineka Cipta
Bolo, Andreas Bolo, dkk. 2012. Pancasila
Kekuatan Pembebas. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Ahmad, Ubaedillah, Abdul Rozak.
2003. Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani.
Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press
Fauzi, M.Soc.Sc., Nabil Ahmad. 2013.
Modul Perkuliahan Pendidikan Pancasila. Yogyakarta : Universitas Mercu
Buana Press
Soebachman, Agustina. 2014. Sejarah
Nusantara Berdasarkan Urutan Tahun. Yogyakarta : Penerbit Syura Media Utama
Srijanti, A. Rahman HI, Purwanto SK.
2013. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa. Yogyakarta : Kerjasama
Penerbit Graha Ilmu dengan Universitas Mercu Buana
Srijanti, A. Rahman HI, Purwanto SK.
2009. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Mengembangkan Etika
Berwarga Negara. Jakarta : Penerbit Salemba Empat
Rukiyati, M.Hum., dkk. 2008. Pendidikan
Pancasila (Buku Pegangan Kuliah). Yogyakarta : Universitas Negeri
Yogyakarta (UNY) Press
Karsadi, M.Si., Prof. Dr. 2014. Pendidikan
Pancasila di Perguruan Tinggi Upaya Membangun Moral dan Karakter Bangsa.
Jakarta : PT Pustaka Pelajar
Syarbaini, MA., Drs. Syahrial. 2009.
Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta : Penerbit Ghalia
Indonesia
http://restipitasari.blogspot.co.id/2014/10/pancasila-dalam-konteks-sejarah.html diakses pada tanggal 4 September 2015 pukul 14.36 WIB
https://alexandramahandita.wordpress.com/2014/11/03/pancasila-dalam-kajian-sejarah/ diakses pada tanggal 4
September 2015 pukul 14.42 WIB
http://muflihiesp.blogspot.co.id/2014/12/pancasila-dalam-kajian-sejarah-bangsa.html diakses pada tanggal 4 September 2015 pukul 14.43 WIB
[1] Syarat
konstitusional tersebut meliputi adanya rakyat, adanya wilayah, dan adanya
pemerintahan yang berdaulat. Syarat ini menjadi syarat multlak dalam pendirian
sebuah negara.
[2] Syarat
fakultatif meliputi pendirian sebuah negara harus mendapat pengakuan dari
negara lain. Lihat Negara Indonesia ini telah diproklamirkan menjadi negara
yang merdeka yang terbebas dari penjajahan pada tanggal 17 Agustus 1945, tetapi
dunia Internasional belum mengakui adanya Negara Indonesia, baru pada tanggal
27 Desember 1949 resmi Indonesia itu telah diakui dunia Internasional.
[3] Lihat catatan
kaki dari pidato Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Moh. Mahfud MD.
Menyatakan bahwa dalam naskah asli belum terdapat nama Indonesia, kemudian
secara umum diterima oleh masyarakat dalam studi-studi menjadi Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
[4] Dalam hal ini
kita ketahui bahwa Allah SWT telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang
paling baik dan sempurna. Sesuai dengan QS. At- Tin Ayat 4 yang berbunyi :
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? ÇÍÈ
[5] Berdasarkan
buku karangan Parkitri Simbolon, Menjadi Indonesia, halaman 8
[6] Untuk
pemikiran ini bandingkan, Lembaha Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan
Bernegara (LPPKB), Pedoman Umum Implementasi Pancasila dalam Kehidupan
Bernegara, halaman 18
[7] Berdasarkan buku karangan Prof. Mr. Soediman
Kartohadiprodjo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, halaman
118 dan 122-123
[8] Pernyataan
Bung Karno dikutip dari, Adnan Buyung Nasution, Menabur Benih Reformasi,
halaman 216
[9] http://hedisasrawan.blogspot.com
/ 2014 / 01 / pengertian-pancasila-artikel-lengkap.html diakses pada tanggal 9 September 2015 Pukul 09.40 WIB
[10] Kata Indonesia
pada naskah asli sebenarnya belum ada. Nama aslinya adalah Panitia Persiapan
Kemerdekaan (PPK), namun kemudian kata Indonesia diterima secara umum dalam
berbagai studi dan pernyataan resmi sehingga namanya menjadi Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Berdasarkan catatan kaki dari Pidato Ketua
Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD.
Komentar
Posting Komentar