Kamis, 17 Desember 2015

Aksiologi Dakwah Dilihat Dari Segi Empiris dan Normatif

Aksiologi Dakwah Dilihat Dari Segi Empiris dan Normatif



A.    Pengertian Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu “axios” yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan “logos” yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Burhanuddin Salam juga sepakat menyatakan bahwa aksiologi adalah teori tentang nilai.[1] Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud. 
Menurut Richard Bender : Suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.[2]
Jujun S. Suriasumantri berpendapat bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[3] Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.[4]
Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.[5] Aksiologi adalah abang filsafat yang mempelajari cara-cara yang berbeda dimana sesuatu hal dapat baik atau buruk  (baca: mempunyai akibat positif atau negatif) dan hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta eksistensi obyektif di pihak lain. Aksiologi adalah teori tentang nilai dalam berbagai makna yang dikandungnya.
Aksiologi meliputi nilai-nilai yang bersifat normative dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan seperti kawasan social, kawasan simbolik ataupun fisik-materiil. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatucondition sine quanon yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Aksiologi memuat pemikiran tentang maslaah nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya, nilai moral, nilai agama dan nilai keindahan. Aksiologi ini juga mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of life (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf tinggi). Dilihat dari jenisnya, paling tidak terdapat dua bagian umum dari aksiologi, yaitu[6] :
1.      Etika
Etika adalah kajian tentang mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk, serta apa ukuran yang digunakan di dalam menentukan baik dan buruk.[7] Semiawan menerangkan bahwa etika sebagai prinsip atau standar berprilaku manusia, yang kadang-kadang disebut dengan “moral”. Kegiatan menilai (act of judgement) telah dibangun berdasarkan toleransi atau ketidakpastian, bahwa tidak ada kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti dengan zero tolerance. Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik dan buruknya. Sementara dari kalangan nonfilsafat, etika sering digunakan sebagai pola bertindak praktis (etika profesi), misalnya bagaimana menjalankan bisnis yang bermoral dalam etika bisnis.[8]

2.      Estetika
Mengenai estetika, Semiawan menjelskan bahwa estetika adalah mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode-mode yang estetis dari suatu pengetahuan ilmiah itu.

Tujuan dasar ilmu menurut beberapa ahli tidak selalu sama. Seperti dikutip Muslim A Kadir, Fred Kerlinger berpendapat bahwa tujuan dasar ilmu hanyalah menjelaskan realitas (gejala yang ada), bagin bronowsky, tujuan ilmu adalah menemukan yang benar sedangkan menurut Mario Bunge, tujuan ilmu lebih dari sekadar menemukan kebenaran. Kemudian, jika kita hubungkan dengan dakwah Islam atau lebih khususnya kepada ilmu dakwah, akan dapat ditemui arah dakwah sebenarnya. Sebab, berdasarkan sejarah tradisi Islam, ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan selalu mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.[9]
B.     Aksiologi Dalam Pandangan Aliran-Aliran Filsafat
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni :
1.      Pandangan Aksiologi Progresivisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910), Hans Vahinger, Ferdinant Sciller,  Georger Santayana, dan Jhon Dewey. Menurut progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan demikian, adanya pergaulan dalam masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu. Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.

2.      Pandangan Aksiologi Essensialisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini   adalah  Desiderius Erasmus, John Amos Comenius (1592- 1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-1827),  John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841) dan William T. Horris (1835-1909).[20] Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan tersebut, pandangan tersebut adalah :
·         Teori nilai menurut idealisme. Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.
·         Teori nilai menurut realisme. Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan idealisme dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri.

3.      Pandangan Aksiologi Perenialisme
Tokoh utama aliran  ini diantaranya  Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas. Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang lain. Sedangkan menyangkut nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya.

4.      Pandangan Aksiologi Rekonstruksionisme
Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.

C.    Pengertian Aksiologi dalam Ilmu Dakwah
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai dari sudut pandang filsafat. Pembicaraan nilai dalam bahasa yang paling umum dan sederhana menurut konsep orang awam sering kali dikaitkan dengan baik dan buruknya sesuatu, bermanfaat atau tidak bermanfaatnya sesuatu, berharga atau tidak berharganya sesuatu, dan lain-lain. Sesuatu itu dapat dikatakan bernilai jika ia memiliki unsur yang baik atau bermanfaat bagi kehidupan. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari ada sesuatu yang bernilai dan ada pula yang diberi nulai yaitu nilai intrinsik dan nilai instrumental.
Jika dikaitikan dengan ilmu pengetahuan, banyak cabang pengetahuan yang berbicara secara khusus soal nilai, seperti ekonomi yang membahas tentang nilai yang bersangkutan tentang suatu harga, dalam etika berkaitan dengan baik dan buruknya suatu perilaku, estetika tentang indah atau tidak indahnya sesuatu, logika berkaitan dengan kebenaran, agama berkaitan dengan al-Quddus dan al-Haq dan juga mengenai dakwah yang kita cari.
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari cara-cara yang berbeda dimana sesuatu hal dapat baik atau buruk dan hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta eksistensi obyektif di pihak lain. Aksiologi adalah perluasan dari bidang etika tradisional. Etika memusatkan perhatiannya pada nilai-nilai moral, aksiologi memperluas diri dengan memusatkan perhatiannya pada semua jenis nilai. Nilai dalam etika tradisional diartikan sama dengan baik dan jahat sedangkan dalam aksiologi, nilai memiliki arti lebih luas lagi meliputi baik dan buruk/jahat, indah dan jelek, serta benar dan salah. Aksiologi adalah teori tentang nilai dalam berbagai makna yang dikandungnya.[10]
Tujuan dasar ilmu dakwah, dengan merujuk pada beberapa ayat al-Qur’an yang relevan, adalah untuk :
·         Menjelaskan realitas dakwah sebagai suatu kebenaran.
·         Mendekatkan diri kepada Allah sebagai Kebenaran.
·         Merealisasikan kesejahteraan untuk seluruh alam.
Menurut Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:
·         Mentransformasikan dan menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islam  menjadi tatanan Khoirul-Ummah.
·         Mentransformasikan iman menjadi amal sholeh jamaah.
·         Membangun dan mengembalikan tujaun hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut Al-quran dan sunnah, oleh karena itu, ilmu dakwah dapat dipandang sebagai perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban islam.

Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganya akan mengandung konsekuensi yang berbeda.
1.      Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai objek kajian atau bahkan sebuah ativitas konkrit.
2.      Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:
·         Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi yang lain. Histories tertentu dan histories yang lain.
·         Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung kondisi yang ada.
·         Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog. Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran.

D.    Pendekatan dalam Aksiologi
Louis O. Katsoff dalam bukunya The Element of Philosophy menjelaskan bagaimana cara mendekati nilai menggunakan pendekatan aksiologi dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :
1.      Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif, artinya nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan manusia sebagai pemberi nilai. Kaitannya dengan hal ini, maka sangat tergantung pada pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan pemberi nilai dimana sampai sejauh mana ia dapat merespons sesuatu yang dinilainya. Yang demikian ini disebut dengan subjektivitas.
2.      Nilai-nilai merupakan kenyataan ontologis dimana tidak terdapat dalam ruang dan waktu artinya nilai merupakan esensi logis yang dapat diketahui melalui akal, yang dikenal dengan objektivitasme logis.
3.      Nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan artinya nilai merupakan hasil dari pengenalan, pemahaman, dan pembuktian dari suatu objek yang dinilai yang disebut objektivitas.

Berdasarkan dari ketiga pendekatan tersebut yang dianggap lebih cocok dalam melihat dan mendekati dakwah itu adalah pendekatan ketiga. Karena nampaknya pendekatan ketiga lebih mampu untuk menghampiri nilai dakwah itu sendiri dan hal yang akan dicari adalah apa yang ada dibalik dakwah atau ilmu dakwah itu sendiri. Dalam hal ini, nilai dakwah akan dilihat dari kenyataan dalam kehidupan sosial dimana apakah masyarakat penerima dakwah (mad’u) merasakan manfaat atau tidak dari kegiatan dakwah tersebut, hal ini dapat diukur dengan ukuran yang jelas.
E.     Upaya Menelusuri Nilai Dakwah Normatif
Dapat terlihat dimana pendekatan ketiga diatas berusaha untuk melihat nilai itu sendiri dari segi esensi, artinya kita melihat nilai itu sendiri dari sudut ontologis, yakni bahwa nilai sudah ada sejak semula, ia terdapat dalam sesuatu yang mungkin ada dan yang ada. Nilai dakwah itu sendiri merupakan nilai intrinsik dimana esensinya harus dicari dan bukan sekedar diberi nilai. Berikut ini ada beberapa penjelasan dalam menelusuri nilai dakwah itu sendiri, yaitu :
1.      Jika dilihat dari sudut ilmunya, maka yang muncul adalah nilai kebenaran dari pengetahuan dakwah yang tentunya harus ada tolok ukur yang baku. Dari sudut ini, dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu :
·         Koherensinya, yaitu dilihat dari hubungan antar konsep dalam pengetahuan tersebut.
·         Korespondensi, yakni sesuatu yang bernilai jika sesuatu itu sesuai dengan kenyataannya.
·         Empiris, berarti sesuatu itu benar atau bernilai jika didukung dengan bukti empiris.
2.      Jika dilihat dari sudut empirik keberadaan dakwah itu sendiri dimana dakwah sebagai sebuah proses. Dari sudut pandang ini, nilai dakwah dapat dilihat dari kenyataan dalam masyarakat, yaitu adanya interaksi antara da’i, mad’u yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah, ajaran berupa pesan dakwah, dan segala hal yang mendukung proses kegiatan dakwah. Dari sudut ini, ada dua hal yang penting diyakini sebagai nilai dakwah yaitu sebagai berikut.
·         Nilai kerisalahan yaitu nilai kerisalahan yang digagas berdasarkan kepada Q.S. Yusuf ayat 108 dan Q.S. al-Furqan ayat 56. Dari aspek ini dapat dilihat dakwah itu sebagai penerus, penyambung, dan menjelaskan fungsi dan tugas Rasul. Dalam hal ini, yang menjadi titik sentral dalam melaksanakan tugas sepeninggal Nabi Muhammad SAW yaitu da’i. Dilihat dari fungsi ini, maka da’i mengemban tugas yang besar sebagai agen pembangunan yang berkewajiban menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia dan menjaga umat agar tidak tergelincir ke dalam jurang bahaya. Dalam era global ini, seorang da’i berparan ganda yaitu mampu menjadi benteng peradaban umat yang menyeleksi segala informasi dan perubahan yang masuk dalam masyarakat dan mampu mengembangkan budaya lokal dan pembaruan ajaran yang betentangan dengan Islam dan budaya lokal.
·         Nilai rahmat yaitu nilai rahmat ini berfungsi bahwa ajaran Islam itu harus memberi manfaat bagi kehidupan umat dimana petunjuk bagi hati, obat spiritual, dan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang sejahtera lahir dan batin serta mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin. Berkaitan dengan ini, dakwah berusaha untuk menjabarkan materi yang bersifat normatif yaitu al-Qur’an dan Hadist ke dalam konsep yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Dalam hal ini, nilai dakwah harus mampu menerjemahkan ajaran Islam dalam konsep kehidupan, mengimplementasikan konsel tersebut dalam kehidupan aktual yaitu individu, keluarga, dan masyarakat. Jadi, dakwah berfungsi sebagai problem solving persoalan saat ini dan mengantisipasi masalah yang muncul saat mendatang.

F.     Hakikat Nilai Dan Penelusuran Nilai Dakwah (Aksiologi Dakwah)
Aksiologis adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai dari sudut pandang filsafat. Sesuatu yang dikatakan bernilai jika ia memiliki unsur baik atau manfaat dalam kehidupan, misalnya nilai sebuah pisau, nilai sehat, nilai sebuah barang dan sebagainya. Menurut Kenneth Anderson yang dikutip oleh Onong Uchjana Effendy menyatakan bahwa nilai merupakan komponen sentral yang membimbing dan memandu tindakan atau kegiatan seseorang. Sebagai contoh, seseorang yang menginginkan kekuatan, akan menghubungkan sikap dan kegiatannya dengan nilai sentral, umpamanya dzikir-dzikir khusus yang berkaitan dengan keyakinan pada Tuhan. Nilai sentral itulah yang menjadimotivasi untuk mendapatkan kekuatan tersebut. Jika pengertian nilai tersebut dikaitkan dengan dakwah, maka akan dikenal dengan nilai dakwah, yakni nilai-nili Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits. Nilai-nilai dakwah bukanlah suatu “barang yang mati”, melainkan nilai dinamis yang disesuaikan dengan semangat zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada di masyarakat. Menurut Muhammad Sulthon, tata nilai Islami yang terdapat di dalam Al-Qur’an bersifat historis, dinamis, dialektis dan transformatif.[11]
Kattsoff menjelaskan bahwa hakikat nilai itu ada beberapa kemungkinan, diantaranya :
·         Nilai adalah kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan
·         Nilai sebagai objek suatu kepentingan
·         Nilai pragmatis
·         Nilai sebagai esensi

Pada bagian lain, Kattsoff menjelaskan bagaimana mendekati nilai (pendekatan aksiologis) yang dibedakan menjadi :
·         Nilai seluruhnya berhakikat subjektif, artinya nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan manusia sebagai pemberi nilai.Kaitannya dengan hal ini, maka sangat tergantung pada pengalaman, penetahuan dan kemampuan pemberi nilai tersebut.
·         Nilai-nilai merupakan kenyataan ontologis, artinya nilai merupakan esensi logis yang dapat diketahui melalui akal, yang dikenal dengan objektivitasme logis.
·         Nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, artinya nilai merupakan hasil dari pengenalan, penambahan dan pembuktian dari suatu yang dinilai (objektivitas).

Berangkat dari penyataan nilai di atas, dapat kita jadikan batu loncatan untuk melakukan penelusuran terhadap nilai dakwah. Upaya dalam menelusuri nilai dakwah diantaranya :
a.       Jika dilihat dari sudut ilmunya, maka yang muncul adalah nilai kebenaran dari pengetahuan dakwah tentunya harus ada tolok ukur yang baku, yaitu :
v  Koherensi antarkonsep dalam pengetahuan
v  Korespondensi, sesuatu itu bernilai jika sesuai dengan kenyataan
v  Empiris, sesuatu dikatakan bernilai jika dapat dibuktikan dengan cara empirik/ didapat dari penelitian
v  Unsur pragmatis, bernilai jika ada manfaatnya

b.      Sudut empirik keberadaan dakwah (dakwah sebagai proses). Nilai dakwah dilihat dalam kenyataan hidup masyarakat, yakni adanya interaksi antara da’i, ajaran, umat manusia dan segala hal yang mendukung proses dakwah. Ada dua hal penting yang sebaiknya diyakini dalam nilai dakwah, yaitu: Pertama, Nilai kerisalahan, dakwah dilihat sebagai penerus,penyambung dan menjalankan fungsi dan tugas Rasul. Kedua, Nilai rahmat dalam dakwah, ajaran Islam harus memberikan manfaat bagi kehidupan umat. Sehubungan dengan hal ini maka dakwah harus mampu menterjemahkan ajran Islam, mengimplementasikan konsep ajaran dalam kehidupan sehari-hari. Dakwah dalam hal ini lebih menitikberatkan pada tujuan dakwah secara oprasional entah itu output ataupun input dari kegiatan dakwah yang dilaksanakan.

Dakwah dari aspek keilmuan dapat ditelusuri dari sejauh mana konsep-konsep dan teori ilmu dakwah memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu, kelompok sosial maupun bangsa.
Menurut Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:
·         Mentransformasikan dan menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islam menjadi tatanan Khoirul-Ummah
·         Mentransformasikan iman menjadi amal sholeh jamaah
·         Membangun dan mengembalikan tujaun hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut Al-quran dan sunnah, oleh karena itu, ilmu dakwah dapat dipandang sebagai perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban islam.



Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganya akan mengandung konsekuensi yang berbeda, yitu :
  • Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai objek kajian atau bahkan sebuah ativitas konkrit.
  • Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:
o   Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi yang lain. Histories tertentu dan histories yang lain.
o   Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung kondisi yang ada.
·         Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog. Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran.

G.    Persoalan Rekayasa Masa Depan 
Perubahan sosial adalah perubahan dalam segi struktur dan hubungan sosial. Bisakah arah perubahan sosial diramalkan dan dikendalikan menjadi perdebatan terutama di kalangan ilmuan social. Sebagian dari mereka menolak kemungkinan manusia memberi arah atau mengarahkan perubahan sosial. Namun demikian, ada juga yang berpendapat sebaliknya. Bahwa manusia dapat memberikan pengaruh tertentu terhadap arah perubahan sosial. Merujuk pendapat terakhir, perubahan sosial yang direncanakan disebut dengan beberapa istilah, diantaranya rekayasa-sosial, perencanaan-sosial, dan manajemen-perubahan.
Ilmuan dakwah sepakat bahwa arah perubahan sosial dapat diramalkan, diarahkan dan direncanakan. Perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial terutama dapat dimulai dari perubahan individual, baik dalam cara berfikir maupun bersikap. Dalam konteks dakwah, arah perubahan yang dituju adalah pembentukan khairu ummah. Dalam al-Quran khairu ummah disebut dengan istilah ummah muslimah atau ummat wasat dalam QS 2:128 dan 143.
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau(Ummat Muslimah) dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi maha penyayang. (QS.2: 128)
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (umat wasath) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…(QS. 2: 143).
Dengan merujuk pada pendapat Jalaluddin Rakhmat, rekayasa sosial dapat dipahami sebagai pemasaran sosial. Dalam pengertian tersebut, dalam upaya merekayasa umat menuju kearah pembentukan khaira ummat, da’I dalam proses da’wahnya dapat dikatakan sebagai memasarkan rencana atau solusi atas problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat, dalam konteks penegakan kebenaran dan keadilan.
Dalam QS 57: 25 terkandung antara lain tiga istilah yang dipahami oleh Jalaluddin Rakhmat sebagai tiga macam cara bagaimana rasulullah merekayasa ummat.
·         Al-Kitab, yaitu mengembalikan umat manusia pada fitrah kemanusiaan dan nilai-nilai ilahiyah,
·         Al-Mizan, yaitu mengembangkan argumentasi rasional dan akal sehat agar tercipta kejernihan pola fikir,
·         Al-Hadid, yaitu berusaha memiliki kekuasaan yang sepenuhnya digunakan untuk menegakkan keadilan, seperti yang telah diberikan oleh Allah kepada Rasulullah.
·         Sebagai suatu system, rekayasa social mempunyai beberapa unsur yaitu,
§  Strategi perubahan dapat berupa strategi pembangunan, strategi revolusi, strategi persuasi, strategi normatif re-edukatif.
§  Pelaku perubahan pada pokoknya terdiri dari dua kelompok, yaitu leaders dan supporters.
§  Adapun unsur target perubahan, maka hal itu bersifat kondisional disesuaikan dengan rekomendasi hasil penelitian dan pertimbangan di lapangan tentang apa yang dirasa mendesak untuk diselesaikan.
§  Sedangkan unsur media secara garis besar dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu media pengaruh dan media respon.

H.    Persoalan Nilai-Nilai Islam
Nilai (value) merupakan suatu konsep yang sangat bermakna ganda. Nilai adalah pandangan tertentu yang berkaitan dengan apa yang penting dan yang tidak penting. Dalam ilmu social persoalan nilai dapat dimaknai dalam pengertiannya yang terdiri dari dua subkelas: yaitu nilai sebagai obyek dari tujuan-tujuan yang disetujui secara social dan nilai sebagai sumbangan untuk mencapai kemakmuran masyarakat. Istilah nilai terkadang dilawankan dengan “fakta” dan juga dianggap sebanding dengan kebaikan untuk dilawankan dengan ketepatan. Al-Quran dipercaya memuat nilai-nilai tertinggi yang ditetapkan oleh Allah dan merupakan nilai-nilai resmi dari-Nya. Nilai-nilai yang termuat dalam al-Quran selamanya “ada di langit” kecuali setelah melalui proses dakwah.
Apa yang paling dasar dan paling sentral dari nilai-nilai islam adalah tauhid. Tauhid adalah suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Konsep tauhid itu ternyata mempunyai arus balik kepada manusia. Di dalam al-Quran banyak dijumpai seruan agar manusia beriman dan beramal. Sebagaimana ayat berikut ini:
(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.(QS 2: 3).
Ayat diatas mengajarkan trilogi: iman-shalat-zakat. Sementara dalam formulasi lain, dapat ditemukan juga trilogi iman-ilmu-amal. Dengan memperhatikan hal itu, maka dapat dikemukakan bahwa iman berujung pada amal. Artinya, iman yang berpangkal pada Tuhan harus diaktualisasikan dalam kehidupan nyata yang berujung aktualisasinya adalah manusia. Dengan demikian, islam itu agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral. Penanaman nilai-nilai islami yang tidak disertai dengan proses dialog yang sungguh-sungguh dengan tata nilai yang secara real telah berlaku di masyarakat, hanya akan menimbulkan kesenjangan yang semakin tajam antara tata-tata nilai yang diidam-idamkan dan kenyataan yang ada. Cara itu hanya akan menimbulkan pernyataan nilai-nilai secara verbal. Penanaman nilai-nilai islami ke dalam realitas kehidupan manusia pada dasarnya adalah suatu rekayasa budaya dan strategi kebudayaan yang berlandaskan pada konsep-konsep yang matang sesuai dengan arus perubahan zaman yang tidak pernah berhenti. Itulah sebabnya tata nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat tidak bisa berdiri sendiri, terlepas dari kenyataan dan realitas sosial yang mengitarinya. Agar tata nilai islami dapat hidup dan berkembang di masyarakat, dengan demikian tidak cukup hanya disampaikan dengan menggunakan dakwah bi al-lisan semata, lebih dari itu diperlukan juga tahap-tahap lain secara berkesinambungan dalam wujud rekayasa social yang terpadu.
Gagasan fazlurrahman tentang pola penafsiran al-Quran terbagi ke dalam dua gerakan.
§  Langkah memahami arti atau makna dari suatu pernyataan al-Quran dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan al-Quran tersebut merupakan jawabannya.
§  Langkah melakukan generalisasi jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral social umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan rasiologis yang sering dinyatakan.

I.       Nilai Dakwah dan Institusionalisasinya
Nilai dan orientasi nilai mengacu kepada konsepsi tentang hal-hal atau karakteristik manusia yang dikehendaki dan terpuji. Tindakan yang dilakukan oleh seseorang dibangun dari pemahaman yang mendalam tentang arti kehidupan bagi dirinya. Jika seseorang mengartikan kehidupan sesuai dengan ajaran Islam bahwa hidup ini memiliki makna dan tujuan yang jelas, maka mereka akan melakukan tindakan sesuai dengan ajaran Islam dan akan mempersiapkan untuk menghadapi kehidupan akhirat yang abadi. Di dalamnya seseorang berupaya untuk mengenal tentang dirinya sebagai manusia yang sempurna, tugasnya di alam sebagai hamba Allah SWT dan khalifatullah, serta hubungannya dengan Sang Khalik dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan adanya pemahaman tersebut akan lahir persepsi yang positif terhadap kehidupan dan dinamikanya. Dari persepsi yang positif akan lahirlah kesadaran untuk bertanggung jawab dalam mengembangkan kehidupan yang berguna dan pada akhirnya akan melakukan aktivitas-aktivitas yang memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain.
Tindakan yang dilakukan umat Islam mestinya dibangun dari pemahaman yang komprehensif tentang ajaran Islam yang di dalamnya terdapat nilai-nilai dakwah yang bersifat universal. Beberapa nilai-nilai dakwah universal yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat, diantaranya sebagai berikut[12] :
1)      Kedisiplinan
Disiplin bukan hanya milik tentara atau polisi saja, tetapi menjadi milik semua orang yang ingin sukses. Kedidiplinan tidak diartikan dengan kehidupan yang kaku dan susah tersenyum. Kedisiplinan terkait erat dengan manajemen waktu. Bagaimana waktu yang diberikan oleh Tuhan selama 24 jam dalam sehari semalam dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk meraih kesuksesan di dunia dan akhirat. Al-Qur’an sangat banyak bercerita dan menyebutkan tentang pentingnya waktu, seperti demi masa (wal’ashr), demi waktu dhuha (wadduha), demi waktu malam (wallaili), demi waktu fajar (walfajr) dan lain sebagainya. Waktu tidak bisa diputar ulang, karenanya amat rugi manakala waktu yang kita jalani hanya dilewatkan begitu saja tanpa memberi makna yang berarti. Pepatah Arab mengatakan “al-waqtu ka al-shaif” (waktu bagaikan pedang), artinya jika kita tidak mampu memanfaatkan waktu, bagaikan kita ditebang oleh pedang, yakni mengalami kerugian dan bahkan kematian.
Dalam ajaran ibadah shalat dan puasa, kita dilatih betul bagaimana menjadi orang yang disiplin dalam memanfaatkan waktu. Tidak bisa kita melaksanakan shalat di luar waktu yang telah ditentukan, begitu juga dengan puasa, ada aturan main yang sudah jelas waktunya. Pembelajaran dan pembiasaan yang diajarkan oleh Tuhan untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya mestinya dapat berpengaruh terhadap kedisiplinan seseorang dalam menjalani hidupnya.

2)      Kejujuran
Rasulullah SAW merupakan teladan utama dalam kejujuran dan bahkanbeliau memiliki sifat sidiq (jujur). Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk berlaku jujur, sesuai dengan sabda beliau :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى اللّه عليه وسلم : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَاِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا (اخرجه مسلم)
Artinya : “Hendaklah kamu semua bersikap jujur karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke syurga, seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah SWT sebagai orang yang jujur, dan jauhilah sifat bohong karena kebohongan membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka. Orang yang selalu berbohong dan mencari kebohongan akan ditulis oleh Allah SWT sebagai pembohong” (HR. Muslim)

Kita bisa belajar dari umat yang dibinasakan oleh Allah SWT akibat tidak jujur dan kejahatan lain yang dilakukannya, yaitu pada bangsa Madyan sebagaimana yang difirmankan Allah SWT sebagai berikut :
وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ وَلا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِنِّي أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُحِيطٍ (٨٤)وَيَا قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلا تَعْثَوْا فِي الأرْضِ مُفْسِدِينَ (٨٥)
Artinya :“Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)." Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” (Q.S. Huud: 84-85)

Dari ayat di atas, ada tiga hal penting yang bisa diterapkan dalam kehidupan kita untuk memberantas ketidakjujuran dankejahatan lainnya, yaitu: Pertama, pelurusanakidah dengan meyakini dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah SWT semata. Kedua, berprilaku jujur dan jangan menyakiti orang lain. Ketiga, jangan merusak bumi, maksudnya bisa diperluas bukan hanya arti sempitnya tetapi juga bisa dimaksudkan jangan merusak sistem yang sudah dibangun dengan baik, akibat dari prilaku individu yang tidak jujur.

3)      Kerja Keras
Siapa yang sungguh-sungguhmaka dialah yang pasti dapat (man jadda wajada). Pepatah Arab tersebut merupakan hukum sosial yang berlaku universal bagi masyarakat, tidak mengenal etnis, agama maupun bahasa. Orang yang rajin dan bekerja keras, pasti akan mendapatkan hasil dari kerja kerasnya. Sebaliknya, orang yang malas akan menerima hasil yang sedikit karena kemalasannya. Allah SWT dalam beberapa ayat mendorong umat-Nya untuk bekerja keras, seperti:
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ (٧)
Artinya : “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (Q.S. Al-Insyiroh: 7)

Sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) telah selesai berda'wah maka beribadahlah kepada Allah SWT, dan apabila kamu telah selesai mengerjakan urusan dunia maka kerjakanlah urusan akhirat, dan ada lagi yang mengatakan: “Apabila telah selesai mengerjakan shalat maka berdo’alah”.
Allah SWT juga berfirman :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٠)
Artinya :“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S. Al-Jumu’ah: 10)

Begitupun Rasulullah SAW yang telah mencontohkan sejak kecil telah bekerja keras, seperti mengembala kambing, berdagang dan berupaya sekuat tenaga untuk membebaskan umat (kaum dhuafa) dari kemiskinan, kebebasan, perbudakan, eksploitasi kaum aghniya dan sebagainya. Rasulullah SAW mengingatkan kita “yang paling aku khawatirkan dan takuti terhadap umatku adalah suka membusungkan dada, banyak tidur dan malas bekerja”.

4)      Kebersihan
Umat Islam sangat hafal sekali dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “Kebersihan adalah sebagian dari iman” (HR. Muslim). Sayangnya, hafalan tersebut kurang diimbangi dengan praktikdi lapangan. Realitas tempat-tempat umum milik umat Islam menunjukkan kurang terjaganya kebersihan, seperti masjid, mushalla, pondok pesantren, asrama haji, majelis ta’lim dan sebagainya. Padahal, umat Islam sering kali diperkenalkan dan dianjurkan untuk menjaga kebersihan. Setiap bahasan pertama tentang fiqih Islam diawali dengan pembahasan tentang kebersihan seperti menghilangkan hadas besar dan kecil, menggunakan air yang bersih lagi mensucikan, berwudhu dan lain sebagainya. Allah SWT mengingatkan umat Islam untuk menjaga kebersihan (kesucian) jiwa dan juga kebersihan yang bersifat fisik, dengan simbol untuk membersikan pakaian. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ (١)قُمْ فَأَنْذِرْ (٢)وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ (٣)وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ (٤)
Artinya : Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah” (Q.S. Al-Muddatssir: 1-4)

Dengan demikian, menjaga kebersihan merupakan nilai dakwah universal yang dapat dilakukan oleh siapa saja, apalagi umat Islam jelas-jelas memiliki dasar kuat untuk menjaga kebersihan.

5)      Kompetisi
Islam tidak melarang umatnya untuk berkompetisi, karena kompetisi merupakan salah satu motivasi psikologis yang sangat umum dimiliki oleh setiap manusia. Setiap mahasiswa akan memiliki motivasi untuk berkompetisi diantara teman-temannya. Meskipun masing-masing individu berbeda dalam tingkatan motivasinya. Al-Qur’an telah menganjurkan umat Islam untuk berkompetisi dalam peningkatan kualitas takwa, sebagaimana firman Allah SWT :
إِنَّ الأبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ (٢٢)عَلَى الأرَائِكِ يَنْظُرُونَ (٢٣)تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِ (٢٤)يُسْقَوْنَ مِنْ رَحِيقٍ مَخْتُومٍ (٢٥)خِتَامُهُ مِسْكٌ وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ (٢٦)
Artinya :“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni'matan yang besar (syurga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh keni'matan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya). laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba” (Q.S. Al-Muthaffifin: 22-26)

Kebanyakan manusia biasanya melakukan kompetisi dalam urusan materi dan dunia yang fana. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan agar umat Islam tidak berkompetisi secara berlebihan dalam urusan dunia. Hal ini dapat menimbulkan konflik, dengki, rasa iri dan menjauhkan dari ingat kepada Allah SWT. Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya :
Demi Allah, bukan kekafiran yang aku khawatirkan atas kalian, tetapi aku khawatir kalau dunia disodorkan kepada kalian sebagaimana telah disodorkan kepada orang-orang sebelum kalian. Lantas kalian berlomba-lomba (berkompetisi) sebagaimana mereka telah melaukannya juga. Akhirnya dunia akan menghancurkan kalian, sebagaimana telah membinasakan mereka semua” (HR. Bukhari)

Masih banyak lagi nilai-nilai dakwah yang bisa dikembangkan atau diturunkan dari sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan al-Hadist, kami hanya mencontohkan sebagian kecil dari nilai-nilai dakwah yang ada. Nilai-nilai dakwah yang berlaku universal tersebut senantiasa disosialisasikan kepada masyarakat sehingga nilai-nilai tersebut menjadi kebiasaan, tradisi atau norma yang berlaku dimasyarakat. Jika nilai-nilai dakwah universal telah berkembang dan menjadi norma di masyarakat, maka nilai-nilai dakwah telah memasuki tahap institusionalisasi atau pelembagaan. Dalam melaksankan proses pelembagaan nilai-nilai dakwah, titik berangkatnya berasal dari pemahaman tentang konsepsi dakwah menurut ajaran Islam. Di dalam konsepsi dakwah terkandung nilai-nilai yang akan disosialisasikan dan ditanamkan kepada para pelaku dakwah. Nilai-nilai yang telah menginternal dalam diri para pelaku dakwah akan terus dibawa dan dikembangkan melalui interaksi sosial yang terjadi di organisasi dakwah dan terbentuk menjadi nilai-nilai dakwah. Nilai-nilai dakwah tersebut akan terus-menerus dipraktikkan oleh para pelaku dakwah menjadi kebiasaan dan tata aturan yang pada akhirnya melahirkan institusi.


[1]  Burhanuddin Salam, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta, Cet, 1, 1997), hlm. 168.
[2]  Ali Abri, (Sewaktu Menjadi Dosen Fak. Syari’ah IAIN SUSKA), Filsafat Umum Suatu Pengantar, Untuk Kalangan Sendiri, hlm. 33.
[3]  Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar harapan, Cet, XIII, 2000), hlm. 234.
[4]  Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa oleh Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 327.
[5]  Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 36.
[6] A. Susanto, Filsafat Ilmu; Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, Cet ke-2, 2011), hlm. 117-118.
[7]  Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), hlm. 75.
[8] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum; Edisi revisi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 16.
[9]  Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet ke-11, 2012), hlm. 173.
[10] The Liang Gie, Suatu Konsepsi Ke Arah Penertiban Bidang Filsafat, terj. Ali Mudhofir, (Yogyakarta:Karya Kencana, 1977), hal. 144-145
[11]  Sukriyadi Sambas, Sembilan Pasal Pokok-pokok Filsafat Dakwah, (Bandung: KP Hadid, 1999), hlm. 41.
[12]  Abdul Basit, Filsafat Dakwah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 203-207.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna Veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat.

0 komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Phone :

+62 812 6892 8954

Address :

Solok Regency, West Sumatera,
Indonesia

Email :

hayatulkhairul@gmail.com