Aksiologi Dakwah Dilihat Dari Segi Empiris dan Normatif
Aksiologi Dakwah Dilihat Dari Segi Empiris dan Normatif
A. Pengertian Aksiologi
Aksiologi adalah
istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu “axios” yang berarti sesuai
atau wajar. Sedangkan “logos” yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami
sebagai teori nilai. Burhanuddin Salam juga sepakat menyatakan bahwa aksiologi
adalah teori tentang nilai.[1] Menurut
John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau
suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan
bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian
terhadap satu institusi dapat terwujud.
Menurut Richard Bender
: Suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan
yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau
yang menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang
bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa
bertambah.[2]
Jujun S. Suriasumantri
berpendapat bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[3] Aksiologi
ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau
dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang
pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti
epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah
kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika
bersangkutan dengan masalah keindahan.[4]
Secara etimologis,
istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios”
yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi
merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.[5] Aksiologi
adalah abang filsafat yang mempelajari cara-cara yang berbeda dimana sesuatu
hal dapat baik atau buruk (baca: mempunyai akibat positif atau negatif)
dan hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta
eksistensi obyektif di pihak lain. Aksiologi adalah teori tentang nilai dalam
berbagai makna yang dikandungnya.
Aksiologi meliputi
nilai-nilai yang bersifat normative dalam pemberian makna terhadap kebenaran
atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi
berbagai kawasan seperti kawasan social, kawasan simbolik ataupun
fisik-materiil. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini
sebagai suatucondition sine quanon yang wajib dipatuhi dalam
kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Aksiologi memuat
pemikiran tentang maslaah nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan.
Misalnya, nilai moral, nilai agama dan nilai keindahan. Aksiologi ini juga
mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of
life (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf tinggi). Dilihat dari
jenisnya, paling tidak terdapat dua bagian umum dari aksiologi, yaitu[6] :
1. Etika
Etika adalah kajian tentang mana perbuatan baik dan
mana perbuatan buruk, serta apa ukuran yang digunakan di dalam menentukan baik
dan buruk.[7] Semiawan
menerangkan bahwa etika sebagai prinsip atau standar berprilaku manusia, yang
kadang-kadang disebut dengan “moral”. Kegiatan menilai (act of judgement)
telah dibangun berdasarkan toleransi atau ketidakpastian, bahwa tidak ada
kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti dengan zero tolerance.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia.
Kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal,
perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi
norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik dan
buruknya. Sementara dari kalangan nonfilsafat, etika sering digunakan sebagai
pola bertindak praktis (etika profesi), misalnya bagaimana menjalankan bisnis
yang bermoral dalam etika bisnis.[8]
2. Estetika
Mengenai estetika, Semiawan menjelskan bahwa estetika
adalah mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupakan
cabang filsafat yang mengkaji hakikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan
dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia
dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan
kualitas dan pembentukan mode-mode yang estetis dari suatu pengetahuan ilmiah
itu.
Tujuan dasar ilmu
menurut beberapa ahli tidak selalu sama. Seperti dikutip Muslim A Kadir, Fred
Kerlinger berpendapat bahwa tujuan dasar ilmu hanyalah menjelaskan realitas
(gejala yang ada), bagin bronowsky, tujuan ilmu adalah menemukan yang benar
sedangkan menurut Mario Bunge, tujuan ilmu lebih dari sekadar menemukan
kebenaran. Kemudian, jika kita hubungkan dengan dakwah Islam atau lebih
khususnya kepada ilmu dakwah, akan dapat ditemui arah dakwah sebenarnya. Sebab,
berdasarkan sejarah tradisi Islam, ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak
terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk
mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat
yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan selalu mendesak kemanusiaan,
tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan
dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.[9]
B. Aksiologi Dalam Pandangan Aliran-Aliran Filsafat
Aksiologi dalam
pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat
yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni :
1. Pandangan Aksiologi Progresivisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910),
Hans Vahinger, Ferdinant Sciller, Georger Santayana, dan Jhon Dewey. Menurut
progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan demikian,
adanya pergaulan dalam masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah
sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan
dan individu-individu. Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama
yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat
mempertahankan adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yang
terwujud sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.
2. Pandangan Aksiologi Essensialisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini
adalah Desiderius Erasmus, John Amos Comenius (1592- 1670), John Locke
(1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-1827), John Frederich Frobel
(1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841) dan William T. Horris
(1835-1909).[20] Bagi aliran ini, nilai-nilai
berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran
essensialisme terbina dari dua pandangan tersebut, pandangan tersebut adalah :
·
Teori nilai menurut
idealisme. Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos
karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan
hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan
juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian
serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana
tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang
mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi
yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan pakaian dan suasana kesungguhan
tersebut.
·
Teori nilai menurut
realisme. Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada
keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya
keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan
seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan
pengaruh-pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan idealisme
dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu tidak
dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan
pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun
idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun tetap
mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya
sendiri.
3. Pandangan Aksiologi Perenialisme
Tokoh utama aliran ini diantaranya
Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas. Perenialisme memandang bahwa keadaan
sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh
kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai
sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral,
intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang lain. Sedangkan menyangkut
nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘,
yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya
ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan supernatural,
tetapi juga aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan
dan keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama
dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima
universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia
terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah hakikat manusia itu juga menentukan
hakikat perbuatan-perbuatannya.
4. Pandangan Aksiologi Rekonstruksionisme
Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang
berusaha merombak kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang
memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh
kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam
memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan
manusia yang memerlukan kerja sama.
C.
Pengertian Aksiologi dalam Ilmu Dakwah
Aksiologi
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai dari sudut pandang
filsafat. Pembicaraan nilai dalam bahasa yang paling umum dan sederhana menurut
konsep orang awam sering kali dikaitkan dengan baik dan buruknya sesuatu,
bermanfaat atau tidak bermanfaatnya sesuatu, berharga atau tidak berharganya
sesuatu, dan lain-lain. Sesuatu itu dapat dikatakan bernilai jika ia memiliki
unsur yang baik atau bermanfaat bagi kehidupan. Oleh karena itu, dalam
kehidupan sehari-hari ada sesuatu yang bernilai dan ada pula yang diberi nulai
yaitu nilai intrinsik dan nilai instrumental.
Jika
dikaitikan dengan ilmu pengetahuan, banyak cabang pengetahuan yang berbicara
secara khusus soal nilai, seperti ekonomi yang membahas tentang nilai yang
bersangkutan tentang suatu harga, dalam etika berkaitan dengan baik dan
buruknya suatu perilaku, estetika tentang indah atau tidak indahnya sesuatu,
logika berkaitan dengan kebenaran, agama berkaitan dengan al-Quddus dan al-Haq
dan juga mengenai dakwah yang kita cari.
Aksiologi adalah cabang filsafat
yang mempelajari cara-cara yang berbeda dimana sesuatu hal dapat baik atau
buruk dan hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta
eksistensi obyektif di pihak lain. Aksiologi adalah perluasan dari bidang etika
tradisional. Etika memusatkan perhatiannya pada nilai-nilai moral, aksiologi
memperluas diri dengan memusatkan perhatiannya pada semua jenis nilai. Nilai
dalam etika tradisional diartikan sama dengan baik dan jahat sedangkan dalam
aksiologi, nilai memiliki arti lebih luas lagi meliputi baik dan buruk/jahat,
indah dan jelek, serta benar dan salah. Aksiologi adalah teori tentang nilai
dalam berbagai makna yang dikandungnya.[10]
Tujuan dasar ilmu dakwah, dengan
merujuk pada beberapa ayat al-Qur’an yang relevan, adalah untuk :
·
Menjelaskan realitas dakwah sebagai
suatu kebenaran.
·
Mendekatkan diri kepada Allah
sebagai Kebenaran.
·
Merealisasikan kesejahteraan untuk
seluruh alam.
Menurut Sambas, aksiologi ilmu
dakwah adalah:
·
Mentransformasikan dan menjadi
manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islam menjadi tatanan Khoirul-Ummah.
·
Mentransformasikan iman menjadi amal
sholeh jamaah.
·
Membangun dan mengembalikan tujaun
hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut Al-quran dan sunnah,
oleh karena itu, ilmu dakwah dapat dipandang sebagai perjuangan bagi ummat
islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban islam.
Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan
ketiganya akan mengandung konsekuensi yang berbeda.
1.
Perlu dijernihkan terlebih dahulu
pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai objek kajian atau bahkan
sebuah ativitas konkrit.
2.
Kesadaran akan pluralitas sebagai
keniscayaan, yang meliputi:
·
Perbedaan kebudayaan antara wilayah
tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan kurun waktu yang lain.
Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi yang lain. Histories tertentu dan
histories yang lain.
·
Adanya realitas bahwa diluar Islam
ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan orang kafir. Yang
dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung kondisi yang ada.
·
Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan
komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog. Keterbukaan mejadi syarat
mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah syarat
aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran.
D.
Pendekatan dalam Aksiologi
Louis
O. Katsoff dalam bukunya The Element of Philosophy menjelaskan bagaimana
cara mendekati nilai menggunakan pendekatan aksiologi dapat dibedakan menjadi
tiga bagian, yaitu :
1.
Nilai
sepenuhnya berhakikat subjektif, artinya nilai merupakan reaksi-reaksi
yang diberikan manusia sebagai pemberi nilai. Kaitannya dengan hal ini, maka
sangat tergantung pada pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan pemberi nilai
dimana sampai sejauh mana ia dapat merespons sesuatu yang dinilainya. Yang
demikian ini disebut dengan subjektivitas.
2.
Nilai-nilai
merupakan kenyataan ontologis dimana tidak terdapat dalam ruang dan waktu
artinya nilai merupakan esensi logis yang dapat diketahui melalui akal, yang
dikenal dengan objektivitasme logis.
3.
Nilai-nilai
merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan artinya nilai merupakan
hasil dari pengenalan, pemahaman, dan pembuktian dari suatu objek yang dinilai
yang disebut objektivitas.
Berdasarkan dari ketiga pendekatan
tersebut yang dianggap lebih cocok dalam melihat dan mendekati dakwah itu
adalah pendekatan ketiga. Karena nampaknya pendekatan ketiga lebih mampu untuk
menghampiri nilai dakwah itu sendiri dan hal yang akan dicari adalah apa yang
ada dibalik dakwah atau ilmu dakwah itu sendiri. Dalam hal ini, nilai dakwah
akan dilihat dari kenyataan dalam kehidupan sosial dimana apakah masyarakat
penerima dakwah (mad’u) merasakan manfaat atau tidak dari kegiatan
dakwah tersebut, hal ini dapat diukur dengan ukuran yang jelas.
E.
Upaya Menelusuri Nilai Dakwah Normatif
Dapat
terlihat dimana pendekatan ketiga diatas berusaha untuk melihat nilai itu
sendiri dari segi esensi, artinya kita melihat nilai itu sendiri dari sudut
ontologis, yakni bahwa nilai sudah ada sejak semula, ia terdapat dalam sesuatu
yang mungkin ada dan yang ada. Nilai dakwah itu sendiri merupakan nilai
intrinsik dimana esensinya harus dicari dan bukan sekedar diberi nilai. Berikut
ini ada beberapa penjelasan dalam menelusuri nilai dakwah itu sendiri, yaitu :
1.
Jika
dilihat dari sudut ilmunya, maka yang muncul adalah nilai kebenaran dari
pengetahuan dakwah yang tentunya harus ada tolok ukur yang baku. Dari sudut
ini, dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu :
·
Koherensinya,
yaitu dilihat dari hubungan antar konsep dalam pengetahuan tersebut.
·
Korespondensi,
yakni sesuatu yang bernilai jika sesuatu itu sesuai dengan kenyataannya.
·
Empiris,
berarti sesuatu itu benar atau bernilai jika didukung dengan bukti empiris.
2.
Jika
dilihat dari sudut empirik keberadaan dakwah itu sendiri dimana dakwah sebagai
sebuah proses. Dari sudut pandang ini, nilai dakwah dapat dilihat dari
kenyataan dalam masyarakat, yaitu adanya interaksi antara da’i, mad’u
yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah, ajaran berupa pesan dakwah, dan
segala hal yang mendukung proses kegiatan dakwah. Dari sudut ini, ada dua hal
yang penting diyakini sebagai nilai dakwah yaitu sebagai berikut.
·
Nilai
kerisalahan yaitu nilai
kerisalahan yang digagas berdasarkan kepada Q.S. Yusuf ayat 108 dan Q.S.
al-Furqan ayat 56. Dari aspek ini dapat dilihat dakwah itu sebagai
penerus, penyambung, dan menjelaskan fungsi dan tugas Rasul. Dalam hal ini,
yang menjadi titik sentral dalam melaksanakan tugas sepeninggal Nabi Muhammad
SAW yaitu da’i. Dilihat dari fungsi ini, maka da’i mengemban
tugas yang besar sebagai agen pembangunan yang berkewajiban menyampaikan ajaran
Islam kepada umat manusia dan menjaga umat agar tidak tergelincir ke dalam
jurang bahaya. Dalam era global ini, seorang da’i berparan ganda yaitu
mampu menjadi benteng peradaban umat yang menyeleksi segala informasi dan
perubahan yang masuk dalam masyarakat dan mampu mengembangkan budaya lokal dan
pembaruan ajaran yang betentangan dengan Islam dan budaya lokal.
·
Nilai
rahmat yaitu nilai rahmat ini berfungsi
bahwa ajaran Islam itu harus memberi manfaat bagi kehidupan umat dimana
petunjuk bagi hati, obat spiritual, dan mengantarkan manusia kepada kehidupan
yang sejahtera lahir dan batin serta mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Berkaitan dengan ini, dakwah berusaha untuk menjabarkan materi yang bersifat
normatif yaitu al-Qur’an dan Hadist ke dalam konsep yang dapat
diaplikasikan dalam kehidupan. Dalam hal ini, nilai dakwah harus mampu
menerjemahkan ajaran Islam dalam konsep kehidupan, mengimplementasikan konsel
tersebut dalam kehidupan aktual yaitu individu, keluarga, dan masyarakat. Jadi,
dakwah berfungsi sebagai problem solving persoalan saat ini dan
mengantisipasi masalah yang muncul saat mendatang.
F. Hakikat Nilai Dan Penelusuran Nilai Dakwah (Aksiologi
Dakwah)
Aksiologis adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai dari sudut pandang
filsafat. Sesuatu yang dikatakan bernilai jika ia memiliki unsur baik atau
manfaat dalam kehidupan, misalnya nilai sebuah pisau, nilai sehat, nilai sebuah
barang dan sebagainya. Menurut Kenneth Anderson yang dikutip oleh Onong Uchjana
Effendy menyatakan bahwa nilai merupakan komponen sentral yang membimbing dan
memandu tindakan atau kegiatan seseorang. Sebagai contoh, seseorang yang
menginginkan kekuatan, akan menghubungkan sikap dan kegiatannya dengan nilai
sentral, umpamanya dzikir-dzikir khusus yang berkaitan dengan keyakinan pada
Tuhan. Nilai sentral itulah yang menjadimotivasi untuk mendapatkan kekuatan tersebut.
Jika pengertian nilai tersebut dikaitkan dengan dakwah, maka akan dikenal
dengan nilai dakwah, yakni nilai-nili Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan
al-Hadits. Nilai-nilai dakwah bukanlah suatu “barang yang mati”, melainkan
nilai dinamis yang disesuaikan dengan semangat zaman dan perkembangan ilmu
pengetahuan yang ada di masyarakat. Menurut Muhammad Sulthon, tata nilai Islami
yang terdapat di dalam Al-Qur’an bersifat historis, dinamis, dialektis dan
transformatif.[11]
Kattsoff menjelaskan bahwa hakikat nilai itu ada
beberapa kemungkinan, diantaranya :
·
Nilai adalah kualitas empiris yang tidak dapat
didefinisikan
·
Nilai sebagai objek suatu kepentingan
·
Nilai pragmatis
·
Nilai sebagai esensi
Pada bagian lain, Kattsoff menjelaskan bagaimana mendekati nilai (pendekatan
aksiologis) yang dibedakan menjadi :
·
Nilai seluruhnya
berhakikat subjektif, artinya nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan
manusia sebagai pemberi nilai.Kaitannya dengan hal ini, maka sangat tergantung
pada pengalaman, penetahuan dan kemampuan pemberi nilai tersebut.
·
Nilai-nilai merupakan kenyataan ontologis,
artinya nilai merupakan esensi logis yang dapat diketahui melalui akal, yang
dikenal dengan objektivitasme logis.
·
Nilai merupakan unsur-unsur objektif yang
menyusun kenyataan, artinya nilai merupakan hasil dari pengenalan, penambahan
dan pembuktian dari suatu yang dinilai (objektivitas).
Berangkat dari penyataan nilai di atas, dapat kita
jadikan batu loncatan untuk melakukan penelusuran terhadap nilai dakwah.
Upaya dalam menelusuri nilai dakwah diantaranya :
a. Jika dilihat dari sudut ilmunya, maka yang muncul adalah nilai kebenaran
dari pengetahuan dakwah tentunya harus ada tolok ukur yang baku, yaitu :
v Koherensi antarkonsep dalam pengetahuan
v Korespondensi, sesuatu itu bernilai jika sesuai dengan kenyataan
v Empiris, sesuatu dikatakan bernilai jika dapat dibuktikan dengan cara
empirik/ didapat dari penelitian
v Unsur pragmatis, bernilai jika ada manfaatnya
b. Sudut empirik keberadaan dakwah (dakwah sebagai proses). Nilai dakwah dilihat dalam kenyataan hidup masyarakat,
yakni adanya interaksi antara da’i, ajaran, umat manusia dan segala hal yang
mendukung proses dakwah. Ada dua hal penting
yang sebaiknya diyakini dalam nilai dakwah, yaitu: Pertama, Nilai
kerisalahan, dakwah dilihat sebagai penerus,penyambung dan menjalankan fungsi
dan tugas Rasul. Kedua, Nilai rahmat dalam dakwah, ajaran Islam harus memberikan manfaat bagi
kehidupan umat. Sehubungan dengan hal ini maka dakwah harus mampu
menterjemahkan ajran Islam, mengimplementasikan konsep ajaran dalam kehidupan
sehari-hari. Dakwah dalam hal ini
lebih menitikberatkan pada tujuan dakwah secara oprasional entah itu output
ataupun input dari kegiatan dakwah yang dilaksanakan.
Dakwah dari aspek keilmuan dapat ditelusuri dari
sejauh mana konsep-konsep dan teori ilmu dakwah memberikan kontribusi bagi
kehidupan manusia, baik sebagai individu, kelompok sosial maupun bangsa.
Menurut Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:
·
Mentransformasikan dan
menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islam menjadi tatanan Khoirul-Ummah
·
Mentransformasikan iman
menjadi amal sholeh jamaah
·
Membangun dan
mengembalikan tujaun hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut
Al-quran dan sunnah, oleh karena itu, ilmu dakwah dapat dipandang sebagai
perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban
islam.
Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang
harus dicermati dan ketiganya akan mengandung konsekuensi yang berbeda, yitu :
- Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai objek kajian atau bahkan sebuah ativitas konkrit.
- Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:
o Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu
tertentu dan kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi
yang lain. Histories tertentu dan histories yang lain.
o Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab,
orang musyrik dan orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi
tergantung kondisi yang ada.
·
Dakwah sebagai
panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog.
Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu
argumen adalah syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan
nilai kebenaran.
G.
Persoalan
Rekayasa Masa Depan
Perubahan sosial adalah perubahan
dalam segi struktur dan hubungan sosial. Bisakah arah perubahan sosial
diramalkan dan dikendalikan menjadi perdebatan terutama di kalangan ilmuan
social. Sebagian dari mereka menolak kemungkinan manusia memberi arah atau
mengarahkan perubahan sosial. Namun demikian, ada juga yang berpendapat
sebaliknya. Bahwa manusia dapat memberikan pengaruh tertentu terhadap arah
perubahan sosial. Merujuk pendapat terakhir, perubahan sosial yang direncanakan
disebut dengan beberapa istilah, diantaranya rekayasa-sosial, perencanaan-sosial,
dan manajemen-perubahan.
Ilmuan dakwah sepakat bahwa arah
perubahan sosial dapat diramalkan, diarahkan dan direncanakan. Perubahan sosial
yang bergerak melalui rekayasa sosial terutama dapat dimulai dari perubahan
individual, baik dalam cara berfikir maupun bersikap. Dalam konteks dakwah,
arah perubahan yang dituju adalah pembentukan khairu ummah. Dalam al-Quran
khairu ummah disebut dengan istilah ummah muslimah atau ummat wasat dalam QS
2:128 dan 143.
Ya Tuhan
kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan
(jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau(Ummat
Muslimah) dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji
kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi maha penyayang.
(QS.2: 128)
Dan demikian
(pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan
(umat wasath) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…(QS. 2: 143).
Dengan merujuk pada pendapat
Jalaluddin Rakhmat, rekayasa sosial dapat dipahami sebagai pemasaran sosial.
Dalam pengertian tersebut, dalam upaya merekayasa umat menuju kearah
pembentukan khaira ummat, da’I dalam proses da’wahnya dapat dikatakan sebagai
memasarkan rencana atau solusi atas problem-problem sosial yang dihadapi
masyarakat, dalam konteks penegakan kebenaran dan keadilan.
Dalam QS 57: 25 terkandung antara
lain tiga istilah yang dipahami oleh Jalaluddin Rakhmat sebagai tiga macam cara
bagaimana rasulullah merekayasa ummat.
·
Al-Kitab, yaitu mengembalikan umat
manusia pada fitrah kemanusiaan dan nilai-nilai ilahiyah,
·
Al-Mizan, yaitu mengembangkan
argumentasi rasional dan akal sehat agar tercipta kejernihan pola fikir,
·
Al-Hadid, yaitu berusaha memiliki
kekuasaan yang sepenuhnya digunakan untuk menegakkan keadilan, seperti yang
telah diberikan oleh Allah kepada Rasulullah.
·
Sebagai suatu system, rekayasa
social mempunyai beberapa unsur yaitu,
§
Strategi perubahan dapat berupa
strategi pembangunan, strategi revolusi, strategi persuasi, strategi normatif
re-edukatif.
§
Pelaku perubahan pada pokoknya
terdiri dari dua kelompok, yaitu leaders dan supporters.
§
Adapun unsur target perubahan, maka
hal itu bersifat kondisional disesuaikan dengan rekomendasi hasil penelitian
dan pertimbangan di lapangan tentang apa yang dirasa mendesak untuk
diselesaikan.
§
Sedangkan unsur media secara garis
besar dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu media pengaruh dan media respon.
H.
Persoalan
Nilai-Nilai Islam
Nilai (value) merupakan suatu konsep
yang sangat bermakna ganda. Nilai adalah pandangan tertentu yang berkaitan
dengan apa yang penting dan yang tidak penting. Dalam ilmu social persoalan
nilai dapat dimaknai dalam pengertiannya yang terdiri dari dua subkelas: yaitu
nilai sebagai obyek dari tujuan-tujuan yang disetujui secara social dan nilai
sebagai sumbangan untuk mencapai kemakmuran masyarakat. Istilah nilai terkadang
dilawankan dengan “fakta” dan juga dianggap sebanding dengan kebaikan untuk
dilawankan dengan ketepatan. Al-Quran dipercaya memuat nilai-nilai tertinggi
yang ditetapkan oleh Allah dan merupakan nilai-nilai resmi dari-Nya. Nilai-nilai
yang termuat dalam al-Quran selamanya “ada di langit” kecuali setelah melalui
proses dakwah.
Apa yang paling dasar dan paling
sentral dari nilai-nilai islam adalah tauhid. Tauhid adalah suatu konsep
sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu dan
bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Konsep tauhid itu
ternyata mempunyai arus balik kepada manusia. Di dalam al-Quran banyak dijumpai
seruan agar manusia beriman dan beramal. Sebagaimana ayat berikut ini:
(Yaitu)
mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan
sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.(QS 2: 3).
Ayat diatas mengajarkan trilogi:
iman-shalat-zakat. Sementara dalam formulasi lain, dapat ditemukan juga trilogi
iman-ilmu-amal. Dengan memperhatikan hal itu, maka dapat dikemukakan bahwa iman
berujung pada amal. Artinya, iman yang berpangkal pada Tuhan harus
diaktualisasikan dalam kehidupan nyata yang berujung aktualisasinya adalah
manusia. Dengan demikian, islam itu agama yang sangat mementingkan manusia
sebagai tujuan sentral. Penanaman nilai-nilai islami yang tidak disertai dengan
proses dialog yang sungguh-sungguh dengan tata nilai yang secara real telah
berlaku di masyarakat, hanya akan menimbulkan kesenjangan yang semakin tajam
antara tata-tata nilai yang diidam-idamkan dan kenyataan yang ada. Cara itu
hanya akan menimbulkan pernyataan nilai-nilai secara verbal. Penanaman
nilai-nilai islami ke dalam realitas kehidupan manusia pada dasarnya adalah
suatu rekayasa budaya dan strategi kebudayaan yang berlandaskan pada
konsep-konsep yang matang sesuai dengan arus perubahan zaman yang tidak pernah
berhenti. Itulah sebabnya tata nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat
tidak bisa berdiri sendiri, terlepas dari kenyataan dan realitas sosial yang
mengitarinya. Agar tata nilai islami dapat hidup dan berkembang di masyarakat,
dengan demikian tidak cukup hanya disampaikan dengan menggunakan dakwah bi
al-lisan semata, lebih dari itu diperlukan juga tahap-tahap lain secara
berkesinambungan dalam wujud rekayasa social yang terpadu.
Gagasan fazlurrahman tentang pola
penafsiran al-Quran terbagi ke dalam dua gerakan.
§
Langkah memahami arti atau makna
dari suatu pernyataan al-Quran dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana
pernyataan al-Quran tersebut merupakan jawabannya.
§ Langkah
melakukan generalisasi jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya
sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral social umum
yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang
sosio-historis dan rasiologis yang sering dinyatakan.
I. Nilai Dakwah dan Institusionalisasinya
Nilai dan orientasi
nilai mengacu kepada konsepsi tentang hal-hal atau karakteristik manusia yang
dikehendaki dan terpuji. Tindakan yang dilakukan oleh seseorang dibangun dari
pemahaman yang mendalam tentang arti kehidupan bagi dirinya. Jika seseorang mengartikan
kehidupan sesuai dengan ajaran Islam bahwa hidup ini memiliki makna dan tujuan
yang jelas, maka mereka akan melakukan tindakan sesuai dengan ajaran Islam dan
akan mempersiapkan untuk menghadapi kehidupan akhirat yang abadi. Di dalamnya
seseorang berupaya untuk mengenal tentang dirinya sebagai manusia yang
sempurna, tugasnya di alam sebagai hamba Allah SWT dan khalifatullah, serta
hubungannya dengan Sang Khalik dengan menjalankan segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya. Dengan adanya pemahaman tersebut akan lahir
persepsi yang positif terhadap kehidupan dan dinamikanya. Dari persepsi yang
positif akan lahirlah kesadaran untuk bertanggung jawab dalam mengembangkan
kehidupan yang berguna dan pada akhirnya akan melakukan aktivitas-aktivitas yang
memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain.
Tindakan yang dilakukan
umat Islam mestinya dibangun dari pemahaman yang komprehensif tentang ajaran
Islam yang di dalamnya terdapat nilai-nilai dakwah yang bersifat universal.
Beberapa nilai-nilai dakwah universal yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan
umat, diantaranya sebagai berikut[12] :
1) Kedisiplinan
Disiplin bukan hanya milik tentara atau polisi saja,
tetapi menjadi milik semua orang yang ingin sukses. Kedidiplinan tidak
diartikan dengan kehidupan yang kaku dan susah tersenyum. Kedisiplinan terkait
erat dengan manajemen waktu. Bagaimana waktu yang diberikan oleh Tuhan selama
24 jam dalam sehari semalam dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk
meraih kesuksesan di dunia dan akhirat. Al-Qur’an sangat banyak bercerita dan
menyebutkan tentang pentingnya waktu, seperti demi masa (wal’ashr), demi
waktu dhuha (wadduha), demi waktu malam (wallaili), demi waktu
fajar (walfajr) dan lain sebagainya. Waktu tidak bisa diputar ulang,
karenanya amat rugi manakala waktu yang kita jalani hanya dilewatkan begitu
saja tanpa memberi makna yang berarti. Pepatah Arab mengatakan “al-waqtu ka
al-shaif” (waktu bagaikan pedang), artinya jika kita tidak mampu
memanfaatkan waktu, bagaikan kita ditebang oleh pedang, yakni mengalami
kerugian dan bahkan kematian.
Dalam ajaran ibadah shalat dan puasa, kita dilatih
betul bagaimana menjadi orang yang disiplin dalam memanfaatkan waktu. Tidak
bisa kita melaksanakan shalat di luar waktu yang telah ditentukan, begitu juga
dengan puasa, ada aturan main yang sudah jelas waktunya. Pembelajaran dan
pembiasaan yang diajarkan oleh Tuhan untuk memanfaatkan waktu dengan
sebaik-baiknya mestinya dapat berpengaruh terhadap kedisiplinan seseorang dalam
menjalani hidupnya.
2) Kejujuran
Rasulullah SAW merupakan teladan utama dalam kejujuran dan bahkanbeliau
memiliki sifat sidiq (jujur). Rasulullah SAW memerintahkan
umatnya untuk berlaku jujur, sesuai dengan sabda beliau :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى اللّه عليه وسلم : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ
يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ
الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ
صِدِّيقًا وَاِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ
وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ
وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا (اخرجه مسلم)
Artinya : “Hendaklah
kamu semua bersikap jujur karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan
membawa ke syurga, seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan
ditulis oleh Allah SWT sebagai orang yang jujur, dan jauhilah sifat bohong
karena kebohongan membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka.
Orang yang selalu berbohong dan mencari kebohongan akan ditulis oleh Allah SWT
sebagai pembohong” (HR. Muslim)
Kita bisa belajar dari umat yang dibinasakan oleh Allah SWT akibat tidak
jujur dan kejahatan lain yang dilakukannya, yaitu pada bangsa Madyan
sebagaimana yang difirmankan Allah SWT sebagai berikut :
وَإِلَى
مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ
إِلَهٍ غَيْرُهُ وَلا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِنِّي أَرَاكُمْ
بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُحِيطٍ (٨٤)وَيَا قَوْمِ
أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلا تَبْخَسُوا النَّاسَ
أَشْيَاءَهُمْ وَلا تَعْثَوْا فِي الأرْضِ مُفْسِدِينَ (٨٥)
Artinya :“Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka,
Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan
bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan,
sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya
aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)." Dan Syu'aib
berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan
janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu
membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” (Q.S. Huud:
84-85)
Dari ayat di atas, ada tiga hal penting yang bisa diterapkan dalam
kehidupan kita untuk memberantas ketidakjujuran dankejahatan lainnya, yaitu:
Pertama, pelurusanakidah dengan meyakini dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada
Allah SWT semata. Kedua, berprilaku jujur dan jangan menyakiti orang lain.
Ketiga, jangan merusak bumi, maksudnya bisa diperluas bukan hanya arti
sempitnya tetapi juga bisa dimaksudkan jangan merusak sistem yang sudah
dibangun dengan baik, akibat dari prilaku individu yang tidak jujur.
3) Kerja Keras
Siapa yang sungguh-sungguhmaka dialah yang pasti dapat (man jadda wajada).
Pepatah Arab tersebut merupakan hukum sosial yang berlaku universal bagi
masyarakat, tidak mengenal etnis, agama maupun bahasa. Orang yang rajin dan
bekerja keras, pasti akan mendapatkan hasil dari kerja kerasnya. Sebaliknya,
orang yang malas akan menerima hasil yang sedikit karena kemalasannya. Allah
SWT dalam beberapa ayat mendorong umat-Nya untuk bekerja keras, seperti:
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ (٧)
Artinya : “Maka
apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (Q.S. Al-Insyiroh: 7)
Sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu
(Muhammad) telah selesai berda'wah maka beribadahlah kepada Allah SWT, dan
apabila kamu telah selesai mengerjakan urusan dunia maka kerjakanlah urusan
akhirat, dan ada lagi yang mengatakan: “Apabila telah selesai mengerjakan
shalat maka berdo’alah”.
Allah SWT juga berfirman :
فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٠)
Artinya :“Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S.
Al-Jumu’ah: 10)
Begitupun Rasulullah SAW yang telah mencontohkan sejak
kecil telah bekerja keras, seperti mengembala kambing, berdagang dan berupaya
sekuat tenaga untuk membebaskan umat (kaum dhuafa) dari kemiskinan, kebebasan,
perbudakan, eksploitasi kaum aghniya dan sebagainya.
Rasulullah SAW mengingatkan kita “yang paling aku khawatirkan dan takuti
terhadap umatku adalah suka membusungkan dada, banyak tidur dan malas bekerja”.
4) Kebersihan
Umat Islam sangat hafal sekali dengan hadist Nabi
Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “Kebersihan adalah sebagian dari iman”
(HR. Muslim). Sayangnya, hafalan tersebut kurang diimbangi dengan praktikdi
lapangan. Realitas tempat-tempat umum milik umat Islam menunjukkan kurang
terjaganya kebersihan, seperti masjid, mushalla, pondok pesantren, asrama haji,
majelis ta’lim dan sebagainya. Padahal, umat Islam sering kali diperkenalkan
dan dianjurkan untuk menjaga kebersihan. Setiap bahasan pertama tentang fiqih
Islam diawali dengan pembahasan tentang kebersihan seperti menghilangkan hadas
besar dan kecil, menggunakan air yang bersih lagi mensucikan, berwudhu dan lain
sebagainya. Allah SWT mengingatkan umat Islam untuk menjaga kebersihan
(kesucian) jiwa dan juga kebersihan yang bersifat fisik, dengan simbol untuk
membersikan pakaian. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ (١)قُمْ فَأَنْذِرْ
(٢)وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ (٣)وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ (٤)
Artinya : “Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah,
lalu berilah peringatan, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah”
(Q.S. Al-Muddatssir: 1-4)
Dengan demikian, menjaga kebersihan merupakan nilai
dakwah universal yang dapat dilakukan oleh siapa saja, apalagi umat Islam
jelas-jelas memiliki dasar kuat untuk menjaga kebersihan.
5) Kompetisi
Islam tidak melarang umatnya untuk berkompetisi,
karena kompetisi merupakan salah satu motivasi psikologis yang sangat umum
dimiliki oleh setiap manusia. Setiap mahasiswa akan memiliki motivasi untuk
berkompetisi diantara teman-temannya. Meskipun masing-masing individu berbeda
dalam tingkatan motivasinya. Al-Qur’an telah menganjurkan umat Islam untuk
berkompetisi dalam peningkatan kualitas takwa, sebagaimana firman Allah SWT :
إِنَّ
الأبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ (٢٢)عَلَى الأرَائِكِ يَنْظُرُونَ (٢٣)تَعْرِفُ فِي
وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِ (٢٤)يُسْقَوْنَ مِنْ رَحِيقٍ مَخْتُومٍ
(٢٥)خِتَامُهُ مِسْكٌ وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ (٢٦)
Artinya :“Sesungguhnya
orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni'matan yang besar
(syurga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat
mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh keni'matan. Mereka
diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya). laknya adalah kesturi;
dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba” (Q.S.
Al-Muthaffifin: 22-26)
Kebanyakan manusia biasanya melakukan kompetisi dalam
urusan materi dan dunia yang fana. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan
agar umat Islam tidak berkompetisi secara berlebihan dalam urusan dunia. Hal
ini dapat menimbulkan konflik, dengki, rasa iri dan menjauhkan dari ingat
kepada Allah SWT. Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya :
“Demi Allah, bukan kekafiran yang aku khawatirkan atas kalian, tetapi
aku khawatir kalau dunia disodorkan kepada kalian sebagaimana telah disodorkan
kepada orang-orang sebelum kalian. Lantas kalian berlomba-lomba (berkompetisi)
sebagaimana mereka telah melaukannya juga. Akhirnya dunia akan menghancurkan
kalian, sebagaimana telah membinasakan mereka semua” (HR. Bukhari)
Masih banyak lagi nilai-nilai dakwah yang bisa dikembangkan atau diturunkan
dari sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan al-Hadist, kami hanya mencontohkan
sebagian kecil dari nilai-nilai dakwah yang ada. Nilai-nilai dakwah yang
berlaku universal tersebut senantiasa disosialisasikan kepada masyarakat
sehingga nilai-nilai tersebut menjadi kebiasaan, tradisi atau norma yang
berlaku dimasyarakat. Jika nilai-nilai dakwah universal telah berkembang dan
menjadi norma di masyarakat, maka nilai-nilai dakwah telah memasuki tahap
institusionalisasi atau pelembagaan. Dalam melaksankan proses pelembagaan
nilai-nilai dakwah, titik berangkatnya berasal dari pemahaman tentang konsepsi
dakwah menurut ajaran Islam. Di dalam konsepsi dakwah terkandung nilai-nilai
yang akan disosialisasikan dan ditanamkan kepada para pelaku dakwah.
Nilai-nilai yang telah menginternal dalam diri para pelaku dakwah akan terus
dibawa dan dikembangkan melalui interaksi sosial yang terjadi di organisasi
dakwah dan terbentuk menjadi nilai-nilai dakwah. Nilai-nilai dakwah tersebut
akan terus-menerus dipraktikkan oleh para pelaku dakwah menjadi kebiasaan dan
tata aturan yang pada akhirnya melahirkan institusi.
[1]
Burhanuddin Salam, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan,
(Jakarta: Reneka Cipta, Cet, 1, 1997), hlm. 168.
[2] Ali Abri, (Sewaktu Menjadi Dosen Fak. Syari’ah IAIN SUSKA), Filsafat
Umum Suatu Pengantar, Untuk Kalangan Sendiri, hlm. 33.
[3]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar harapan, Cet, XIII, 2000),
hlm. 234.
[4] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat,
Alih Bahasa oleh Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm.
327.
[6] A. Susanto, Filsafat Ilmu;
Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta:
Bumi Aksara, Cet ke-2, 2011), hlm. 117-118.
[8] Asmoro Achmadi, Filsafat
Umum; Edisi revisi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 16.
[10] The Liang Gie, Suatu Konsepsi Ke Arah Penertiban Bidang
Filsafat, terj. Ali Mudhofir, (Yogyakarta:Karya Kencana, 1977), hal.
144-145
[11] Sukriyadi Sambas, Sembilan Pasal Pokok-pokok
Filsafat Dakwah, (Bandung: KP Hadid, 1999), hlm. 41.
0 komentar:
Posting Komentar